titaStory.id, Halmahera Timur – Markas Kepolisian Resort (Polres) Halmahera Timur membantah pemberitaan media titastory.id berjudul “Oknum Polisi di Wasile Selatan Diduga Intimidasi Warga Desa Minamin: Paksa Harus Jual Tanah ke PT MHM, pada Rabu (31/5/2023) lalu.
Kepala Seksi (Kasi) Humas Polres Halmahera Timur, kepada media ini membantah bahwa ada intimidasi yang dilakukan oleh oknum kepolisian kepada warga Desa Minamin.
Dijelaskan, Kapolres melalui Propam Polres Halmahera Timur telah diperintahkan untuk langsung turun melakukan penyelidikan di Desa Minamin.
“Intinya kita klarifikasi bahwa berita yang dimuat itu tidak betul, Kapolres juga telah mengirim Propam Polres untuk penyelidikan di lapangan, dan tidak dapat info soal ada intimidasi kepada masyarakat,” kata Kasi Humas Polres Halmahera Timur, Iptu Masqun Abdukish, Jumat (2/5/2023).
Meski demikian, Kata Kasi Humas, Propam tetap melakukan pemeriksaan terhadap kedua oknum polisi Polsek Wasile Selatan itu.
Sementara itu, Kapolres Halmahera Timur, AKBP Setyo Agus Hermawan, menjelaskan dugaan yang dialamatkan kepada kedua oknum polisi bermula dari pengaduan dari perusahaan PT MHM kepada sejumlah warga Desa Minamin.
Dari laporan pihak Perusahaan, kata Kapolres, mereka mengadukan warga karena menghalang-halangi aktivitas perusahaan mereka. Selain itu, warga, kata Kapolres juga membahayakan pihak pekerja perusahaan karena membawa benda tajam.
“Jadi perusahaan melapor karena mereka (warga) mengganggu aktivitas kerja. Selain itu juga, menurut pihak perusahaan, ada yang membawa parang, sehingga dapat membahayakan mereka juga di situ,” kata Kapolres.
Lanjutnya, sebagai aparat penegak hukum, kata Kapolres harus menindaklanjuti laporan dari setiap warga negara yang melakukan pengaduan.
“Jadi tidak ada intimidasi atau kriminalisasi di situ, tapi kita hanya bertugas menindaklanjuti laporan dari para pelapor, dan bukan berarti saat itu juga harus para terlapor harus ditangkap dan diadili, kan tidak tapia da Namanya proses mediasi juga di sana,” tuturnya.
Soal pemberitaan dugaan intimidasi oleh anggota Polsek Wasile Selatan, kata Kapolres menjelaskan sudah di lakukan pemeriksaan terhadap anggota. selaim itu beberapa masyarakat yang saat itu berada di sekitar Gedung gereja juga telah di periksa.
Alhasil, dari hasil penyelidikan kata kapolres, bahwa informasi yang disebutkan oleh warga melalui media tidak benar adanya. Dikatakan, pasalnya pertemuan pihak yang dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan mengundang berbagai pihak, baik itu dari kepolisian, TNI serta masyarakat yang berlangsung di kantor Desa terkait dengan Eksplorasi dan pengunaan jalan koridor.
Pertemuan tersebut katanya sudah mencapai kesepakatan bersama. Tambahnya, pihak polsek juga sudah melakukan pemeriksaan.
“Kegiatan mediasi dihadiri Camat, polsek dan kesepakatannya sudah jelas pada saat itu”, tidak ada surat persetujuan masyarakat atau tindakan paksa dan ancaman dari kepolisian yang ada kertas dengan tulisan banyak jumlahnya tanaman masyarakat yang akan diganti rugi oleh pihak perusahaan,” Tuturnya
“Kedua anggota yakni Bhabinkamtibmas dan juga anggota intel polsek juga mengakui bahwa saat itu mereka tidak ada di Minamin, karena mereka ada di Desa tetangganya, nah yang datang itu bukan mereka tapi pihak perusahaan,” lanjut Kapolres menambahkan.
Untuk warga sendiri mereka mengakui juga tidak mengetahui ada ancaman kepada mereka. Selain itu, pihak yang datang juga tidak diketahui identitas mereka.
“Jadi sebenarnya informasi dari sumber untuk diberitakan ini tidak benar, dan tidak juga ditemukan adanya intimidasi di sana,” jelasnya.
“Tugas kami menjaga, melindungi dan mengayomi dan kami berpegang pada aturan dan undang-undang, kami tidak memihak ke pihak perusahaan atau oknum-oknum tertentu tegasnya,” tutupnya.
Dugaan Intimidasi
Sebelumnya diberitakan warga masyarakat Desa Minamin, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, mengaku mendapat tekanan cukup berat dari berbagai pihak. Selain pihak perusahaan PT MHM yang melakukan tindakan kriminalisasi, namun pihak aparat kepolisian juga diduga melakukan tindakan intimidasi kepada mereka.
Kepada media ini, warga mengaku, didatangi oleh beberapa oknum polisi dengan tujuan untuk memediasi masalah lahan dengan perusahaan. Namun, cara yang dilakukan rupanya tidak berhasil. Sebagian warga tidak ingin menyerahkan tanah mereka untuk dijual kepada perusahaan.
Seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya mengaku diintimidasi oleh dua orang aparat kepolisian yang berasal dari Polsek Wasile Selatan.
Dugaan intimidasi yang dilakukan oleh kedua oknum polisi ini berawal, saat mereka mendatangi warga yang saat itu bekerja di Gedung gereja. Saat itu, mereka secara cekatan memberikan pilihan kepada warga agar segera mengambil keputusan secara pasti untuk menjual lahan mereka kepada pihak perusahaan.
“Ada intel dan Babhinkamtibmas atas nama Dartin Abdurahman datang dan intimidasi warga dengan mengatakan pilih ikut ibu Nove atau terima perusahaan dengan harga yang ditawarkan sesuai Perda,” kata sumber menceritakan peristiwa kedatangan dua oknum polisi ini.
Selain itu, kedua oknum polisi ini juga menyodorkan surat persetujuan untuk menerima perusahaan untuk nantinya ditandatangi oleh warga pemilik lahan. Mereka juga, kata warga mengancam warga jika tidak mengijinkan perusahaan masuk, maka akan dibawa ke Polda Maluku Utara, di Sofifi.
“Mereka mengancam warga kalau tidak ikut mengijinkan perusahaan masuk berarti akan dibawa dan dilaporkan ke Polda, kasusnya akan ditingkatkan naik ke Polda,” ungkap sumber.
Mendengar ancaman serta intimidasi oleh kedua oknum polisi ini, beberapa warga pun geram dan marah. Mereka pun secara tegas menolak untuk menandatangani surat persetujuan tersebut.
Namun, sayangnya, tak sedikit dari warga yang menyerahkan tanah mereka untuk perusahaan setelah menandatangi surat persetujuan yang dibawa oleh para oknum polisi ini. Menurut sumber, warga yang terlanjur menandatangi surat persetujuan pembebasan lahan ini karena diduga telah mendapat intimidasi dari para oknum aparat kepolisian yanhg berasal dari Mapolsek Waseile Selatan.
Novenia Ambeua, menyikapi intimidasi yang terjadi akibat warga dengan tegas menyerahkan tanah dan hutan mereka kepada perusahaan tambang PT MHM untuk melakukan aktivitas pertambangan. Perempuan adat asal Desa Minamin ini meminta berabagai pihak untuk mengawal kasus kriminalisasi yang terjadi kepada dirinya maupun warga lainnya yang menolak kehadiran perusahaan tambang ini.
Yang saat ini dilakukan oleh masyarakat adat Desa Minamin menurut Novenia, adalah berjuang mati-matian untuk mempertahkan tanah leluhur mereka.
“Selaku komunitas masyarakat adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin yang bertanggung jawab atas insiden tersebut adalah PT. Wana Kencana Sejati II (WKS) yang mengambil alih secara sepihak wilayah adat dan kemudian menyerahkan ke PT. Mega Haltim Mineral untuk dikelola,”
Pemerintah Daerah menurut Novenia juga turut serta mengijinkan perusahaan-perusahaan ini masuk tanpa pemberitahuan dan ijin dari masyarakat adat yang mendiami dan sebagai pemilik wilayah adat ini.
Baginya, tidak ada keterbukaan informasi publik dan keterlibatan masyarakat adat dalam proses keluarnya ijin-ijin usaha pertambangan maupun ijin-ijin lingkungan yang dikantongi perusahaan-perusahaan nikel yang beroperasi di wilayah hutan adat komonitas masyarakat adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin.
“Kami menduga ada peran ganda yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian ini, bisa saja kami menduga mereka sebagai makelar tanah dalam menjalankan profesi kerja mereka sebagai pihak keamanan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam angkat bicara soal dugaan intimidasi dan kriminalisasi oleh pihak perusahaan MHM dan Polisi kepada masyarakat adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin.
Menurut Alam, terkait dengan upaya pemanggilan guna pengambilan keterangan masyakat adat di Tobelo Boeng oleh Polsek Wasile Selatan merupakan ciri khusus dari tindakan kriminalisasi yang secara umum sering dipraktikkan oleh penegak hukum atas permintaan oihak ketiga (PT MHM dan WKS) kepada masyarakat adat.
Kriminalisasi masyarakat adat, menurutnya, merujuk pada situasi di mana masyarakat adat atau anggota komunitas adat diberlakukan sebagai penjahat atau ditindak pidana secara tidak adil oleh sistem hukum negara. Namun, penting untuk menegaskan bahwa perlakuan semacam itu melanggar hak asasi manusia dan prinsip-prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Pada praktiknya, kata Alam, dapat diketahui disela pemanggilan ini ada upaya mediasi yang diinisiasi oleh anggota kepolisian Polsek Wasile Selatan. Pelapor sendiri adalah pihak perusahaan (PT MHM) dan diterima baik oleh kepolisian. Dari sini dapat diduga adanya relasi kepentingan keduanya.
Alasan yang disampaikan melalui surat panggilan tersebut, menurut Ketua PPMAN ini, pihak kepolisian secara nyata melindungi kepentingan eksploitasi sumber daya alam milik masyarakat adat dengan alasan perijinan yang sudah dimiliki oleh perusahaan.
Undang-undang Minerba yang digunakan kata Alam adalah salah satu bukti dimana negara gagal memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat adat. Disini penting dan mendesak untuk menguji keabsahan dari seluruh proses terbitnya ijin yang di kantongi oleh perusahaan tersebut.
“Alasan obyektif ini harusnya jadi pedoman utama bagi kepolisian sebelum memulai penyelidikan atas dasar laporan perusahaan, tidak boleh gegabah dan tidak cermat dalam menentukan langkah hukum lebih lanjut,” tukasnya.
Atas kasus tersebut, PPMAN kata Alam, meminta kepada kepolisian untuk menghentikan proses pemanggilan masyarakat adat. “Polisi harus mendasari seluruh pelaksanaan tanggungjawabnya dengan berpedoman pada perkap hak asasi manusia dan perkap penyelidikan perkara pidana,” tutup Alam. (TS-01)
Discussion about this post