SNDC Indonesia Dinilai Minim Partisipasi, Lemah Substansi, dan Tidak Serius Tangani Krisis Iklim

27/10/2025
Sumber foto: Madani

Jakarta, — Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar Konsultasi Publik Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau Komitmen Kontribusi Nasional Kedua terhadap penanganan krisis iklim, Kamis (23/11/2025) di Jakarta.

Namun, bagi kelompok masyarakat sipil, forum itu justru dinilai tidak memenuhi prinsip partisipasi publik yang adil dan bermakna.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) menyebut proses konsultasi tersebut lebih menyerupai sosialisasi sepihak ketimbang dialog publik. Sebab, akses masyarakat terhadap dokumen SNDC baru dibuka menjelang pelaksanaan forum, bukan sejak awal penyusunan.

“Aspirasi masyarakat tidak mungkin hadir bila masyarakat bahkan tidak diberi akses terhadap dokumennya. Proses partisipasi seharusnya berlangsung sebelum keputusan dibuat, bukan hanya pada saat konsultasi formal,” ujar Koordinator Tim Lobi Koalisi JustCOP, Nadia Hadad, yang juga Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, dalam keterangan tertulis yang diterima Titastory.id, Senin (27/10/2025).

Menurut Nadia, praktik seperti ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap prinsip keterbukaan dan tanggung jawab publik dalam menghadapi krisis iklim. Ia menegaskan, partisipasi bermakna diperlukan agar arah kebijakan iklim tidak hanya berpihak pada elite ekonomi, tetapi juga menjamin keadilan sosial dan ekologis bagi masyarakat luas.

 

Kritik Substansi: Masih Andalkan Energi Fosil

Dari sisi substansi, JustCOP menilai SNDC Indonesia belum menunjukkan langkah ambisius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Dalam dokumen tersebut, pemerintah tetap memasukkan pembangunan pembangkit listrik berbasis batu bara hingga 6,3 gigawatt (GW) untuk sistem on-grid dan 20 GW off-grid, ditambah 10,3 GW pembangkit berbahan bakar gas.

Padahal, skenario tersebut bertentangan dengan janji pengurangan emisi dan transisi energi bersih yang kerap digaungkan pemerintah.

“Dengan rencana ini, target pengurangan emisi Indonesia akan sulit tercapai. SNDC kali ini lebih terlihat sebagai langkah formal dan pencitraan di forum internasional seperti COP30 di Brasil nanti,” ujar Iqbal Damanik, anggota JustCOP sekaligus Climate and Energy Manager Greenpeace Indonesia.

Iqbal juga menyoroti pengecualian sektor hilirisasi nikel dan industri berat seperti baja dari kewajiban dekarbonisasi. Menurutnya, hal itu menunjukkan pemerintah masih menempatkan kepentingan ekonomi di atas komitmen iklim.

“Target penurunan emisi belum diarusutamakan dalam strategi pembangunan. Pemerintah lebih fokus mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen ketimbang memperkuat transisi energi berkeadilan,” katanya.

Kritik Ekonomi: “Dekarbonisasi Tak Harus Mengorbankan Pertumbuhan”

Anggota Koalisi JustCOP lainnya, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menilai pemerintah keliru memahami konsep pembangunan ekonomi rendah karbon.

Menurut Bhima, dekarbonisasi industri dan transisi energi justru bisa menjadi motor pertumbuhan baru jika dikelola dengan kebijakan yang inklusif.

“Sinergi antara dekarbonisasi industri, ekonomi restoratif, dan transisi energi bisa menurunkan emisi sekaligus membuka lapangan kerja, menekan inflasi, dan menciptakan nilai tambah. Tapi pemerintah masih mengandalkan ekonomi ekstraktif,” ujarnya.

Bhima juga menyebut proyeksi penurunan emisi pasca-2030 yang disampaikan pemerintah “nyaris mustahil tercapai” tanpa reformasi struktural.

“Cukup aneh kalau setelah 2030 tiba-tiba emisi karbon langsung turun, padahal arah kebijakan energi dan industri kita masih bertumpu pada fosil,” tegasnya.

Minim Keadilan, Lemah Demokrasi Iklim

Koalisi JustCOP menilai, kelemahan SNDC Indonesia bukan hanya pada angka dan target, tetapi juga pada paradigma. Pendekatan teknokratis yang mengabaikan peran masyarakat terdampak membuat kebijakan iklim kehilangan aspek keadilan.

Dokumen ini, kata mereka, tidak menempatkan komunitas rentan, masyarakat adat, perempuan, dan nelayan sebagai subjek utama dalam proses mitigasi dan adaptasi. “Padahal mereka adalah kelompok paling terdampak oleh krisis iklim,” tulis JustCOP dalam pernyataannya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) adalah jaringan masyarakat sipil nasional yang memperjuangkan tata kelola iklim berbasis hak dan demokratis, dengan menempatkan komunitas terdampak sebagai aktor utama perubahan. Koalisi ini beranggotakan lembaga-lembaga advokasi, riset, dan lingkungan yang aktif mendorong agenda keadilan sosial-ekologis di tingkat nasional dan internasional.

error: Content is protected !!