titastory, Tidore – Persidangan sebelas warga adat Maba Sangaji yang dituduh membawa senjata tajam dan menghalangi aktivitas pertambangan kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore, Maluku Utara, Rabu, (10/9/ 2025). Empat saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru memperkuat bahwa para terdakwa bukan pelaku kriminal.
Empat saksi itu ialah Amin Faroek, perwakilan Kesultanan Tidore; Ansori, karyawan PT Position; Khufra Tarore, anggota Polsek Maba Selatan; serta Yoyon, karyawan PT Presisi, subkontraktor PT Position.
Dalam keterangannya, Amin Faroek awalnya menilai ritual adat Maba Sangaji tak sesuai tradisi Halmahera Timur. Namun, setelah dikonfrontasi, ia membenarkan bahwa saat prosesi adat, 11 warga tidak membawa senjata tajam. “Sebelum ritual, semua sajam disimpan dalam tenda dan dijaga aparat,” kata Desy Buamona, pengacara Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI).

Amin bahkan mengakui wilayah adat Maba Sangaji sejak abad ke-16 memiliki otonomi adat di bawah Sangaji Maba dan para kapita yang bertugas menjaga hutan adat. Ia juga menyinggung soal sikap pemerintah dan perusahaan tambang yang abai terhadap hak masyarakat adat.
Tiga saksi lain juga menyatakan tak melihat terdakwa membawa atau mengacungkan sajam untuk mengancam. Fakta ini, kata Sugiar Aziz, pengacara TAKI, membuktikan dakwaan jaksa kabur. “Keterangan saksi justru menguatkan bahwa klien kami tidak terbukti melakukan pengancaman atau pemerasan,” ujarnya.
Sidang juga menghadirkan bukti dokumentasi serah terima kunci lokasi tambang dari PT Position kepada warga yang disaksikan aparat TNI dan Polri. Menurut tim advokasi, dakwaan dengan Pasal 368 KUHP, Pasal 2 UU Darurat, serta Pasal 162 UU Minerba tidak memenuhi unsur pidana.
Respons AMAN
Peneliti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Yayan Hidayat, menyebut kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi. “Alih-alih berpihak pada masyarakat adat, negara justru mengkriminalisasi warganya sendiri,” katanya kepada Titastory, Kamis, 11 September 2025.
Menurut Yayan, ritual adat di hutan Maba Sangaji adalah simbol perlawanan dan ekspresi kedaulatan. “Hilang wilayah adat berarti hilang kedaulatan masyarakat adat. Hakim harus melihat kasus ini secara struktural,” ujarnya.
Ia menegaskan, perjuangan masyarakat adat mempertahankan hutan, pala, damar, sagu, dan sumber penghidupan mereka adalah upaya melawan ancaman tambang nikel di wilayah adat.