titastory, Ambon – Dua pemuda adat Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Ardi Tuahan dan Sahin Mahulauw, dijadwalkan menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (31/7/2025). Keduanya didakwa atas dugaan perusakan dan pembakaran fasilitas milik perusahaan tambang PT Waragonda Minerals Pratama, yang beroperasi di wilayah adat mereka.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena dianggap mencerminkan ketimpangan hukum antara warga adat dan korporasi. Di satu sisi, aksi protes warga atas pengrusakan palang sasi adat—simbol sakral larangan adat di tanah leluhur—tidak mendapat perlindungan hukum. Di sisi lain, laporan perusahaan segera ditindaklanjuti dan berujung penetapan dua pemuda adat sebagai tersangka.

“Agenda hari ini adalah pembacaan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum terhadap kedua klien kami,” kata Fadly Pane, kuasa hukum terdakwa, saat dikonfirmasi titastory.id.
Dugaan Kejanggalan dalam Penetapan Tersangka
Fadly Pane bersama Dendy Yulianto dari LBH Walang Keadilan Maluku menyampaikan adanya kejanggalan dalam proses hukum yang dijalani klien mereka, terutama Ardi Tuahan. Mereka menilai, penetapan tersangka tidak memenuhi standar pembuktian awal sebagaimana diatur dalam KUHAP.
“Ardi tiba di lokasi setelah kejadian pembakaran terjadi. Jika hanya berdasar pada rekaman CCTV atas kehadirannya, itu belum bisa jadi bukti kuat keterlibatannya,” ujar Fadly. Ia menambahkan, justru Ardi sebagai Kepala Pemuda saat itu berupaya meredam kemarahan massa dan mengajak penyelesaian secara damai.
Menurut Fadly, tuduhan terhadap Ardi yang diduga menghasut massa terlalu dipaksakan. Padahal, sesuai Pasal 17 KUHAP, penangkapan harus dilakukan berdasarkan dua alat bukti yang sah. “Tapi bukti-bukti yang dipakai masih kabur, tidak menunjukkan keterlibatan langsung Ardi dalam pembakaran,” ujarnya.
Sementara itu, Sahin Mahulauw dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan bersama terhadap barang, Pasal 187 KUHP tentang pembakaran, dan Pasal 55 KUHP tentang turut serta dalam tindak pidana.
Kuasa hukum menyayangkan, dari total 18 saksi yang telah dipanggil untuk dimintai keterangan, tak satu pun hadir. Namun proses hukum terus berjalan dan kedua pemuda itu tetap didakwa.
Kompetensi Relatif PN Ambon Dipertanyakan
Aspek lain yang disoroti tim kuasa hukum adalah soal kompetensi relatif pengadilan. Mereka menilai Pengadilan Negeri Masohi, bukan PN Ambon, seharusnya menjadi pihak yang berwenang mengadili perkara ini karena lokasi kejadian berada di Negeri Haya.
“Pasal 84 KUHAP menyatakan pengadilan yang berwenang mengadili adalah yang berada di wilayah hukum tempat tindak pidana terjadi. Jadi pengalihan ke Ambon ini patut dipertanyakan,” tegas Dendy Yulianto.
Meski ada kemungkinan pengecualian terkait tempat penahanan terdakwa dan keberadaan saksi, kuasa hukum menilai pemindahan lokasi sidang dapat merugikan akses keadilan bagi terdakwa.
Kriminalisasi Masyarakat Adat?
Kasus ini memicu simpati dari berbagai kalangan yang menilai bahwa kriminalisasi terhadap pejuang adat kian marak. Dalam banyak kasus di berbagai daerah, masyarakat adat yang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman investasi ekstraktif justru berhadapan dengan aparat penegak hukum, bukan mendapat perlindungan.
Padahal, Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 menyatakan negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat serta hak-haknya. Namun dalam praktiknya, hukum kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas—tepat seperti yang dialami Ardi dan Sahin.
Persidangan hari ini menjadi pembuka dari rangkaian panjang pembuktian di meja hijau, sekaligus ujian bagi negara dalam menempatkan masyarakat adat dalam posisi yang layak secara hukum.
Penulis: Edison Waas