TITASTORY,ID, – Jaksa KPK, Meyer Simanjuntak kepada Titastory.Id, Kamis, (05/01/2023) yang diwawancarai usai sidang dakwaan KPK penyuapan dan gratifikasi dengan terdakwa Richrad Louhenapessy dan Andrew Erin Hehanussa yang digelar di Pengadilan Negeri Ambon dan melalui zoom mengungkapkan sejumlah saksi dalam hal ini ASN lingkup Pemerintah Kota Ambon yang dihadirkan di ruang sidang jika terbukti melakukan transaksional berkaitan dengan dakwaan gratifikasi KPK bisa saja akan berubah statusnya sebagai tersangka atau terdakwa.
Ketegasan ini disampaikan Meyer Simanjuntak lantaran adanya pertimbangan hakim di salah daerah di Indonesia yang dalam dakwaannya melakukan gratifikasi namun oleh hakim justru berpendapat hal itu merupakan suap.
” Nah bisa saja oknum – oknum ASN Pemkot Ambon yang dihadirkan sebagai saksi bisa berubah , sehingga kita tunggu putusan Majelis Hakim karena di salah satu daerah di Indonesia dakwaannya adalah gratifikasi namun hakim berpendapat justru penyuapan, jadi kita tunggu perkembangan selanjutnya ” ungkapnya.
Meyer Simanjuntak menerangkan dalam posisi dakwaan gratifikasi sesuai UU maka pihak yang diberatkan adalah penerima gratifikasi. Berbeda dengan dakwaan penyuapan yang pada posisi hukumnya antara pemberi dan penerima suap posisi hukumnya sama.
” Jadi pada intinya untuk point dakwaan gratifikasi penerima gratifikasinyalah yang ada pada posisi diberatkan, sementara untuk pemberi gratifikasi masih sebagai saksi sebagaimana perintah UU,” tegasnya.
Sementara itu dilansir dari situs Unit Pengendalian Gratifikasi BPI Universitas Airlangga, yang diterbitkan pada tanggal 28 Agustus tahun 2019 menjelaskan berdasarkan penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001.
Gratitifikasi dapat diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Menurut penjelasan Unit Pengendalian Gratifikasi BPI Universitas Airlangga terdapat pengecualian sesuai Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) di mana ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di mana pada pasal ini dalam formulasinya berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sementara pada Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK.
Instrumen dampak atau akibat hukum pada Pasal 12 UU No. 20/2001 menerangkan tentang ddenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Point berikutnya adalah jika pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri tentunya akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001 dengan Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar
Untuk diketahui dalam dakwaan gratifikasi sejumlah pegawai lingkup Pemerintahan Kota Ambon yang dihadirkan sebagai saksi, dan terungkap nama nama yang diduga memberikan uang masing masing adalah Plt Direktur PDAM Kota Ambon, Alfonsus Tetelepta sebesar Rp260 juta, Kepala Dinas PUPR Kota Ambon Endrico Matitaputty sebesar Rp150 juta, Mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Ambon Fahmy Salatalohy sebesar Rp240 juta. Mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Ambon Roberth Silooy sebesar Rp 50,2 juta, Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Ambon Izaac Said sebesar Rp 116 juta dan Kadis Perhubungan Ambon Robby Sapulette sebesar Rp 8 juta.
Selain ASN lingkup Pemerintah kota Ambon ada juga pemberian dari pihak lain dengan besaran yang masing – masing adalah Mantan Bupati KKT Petrus Fatlolon Rp 100 Juta, Victor Alexander Loupatty Rp 342,5 Juta. Sementara pemberian dari Kontraktor dan Pengusaha adalah Direktur Utama PT Azriel Perjasa Sugeng Siswanto Rp 55 JutaBenny Tanihatu sebesar USD 2.500, Direktur CV Waru Mujiono Andreas sebesar Rp 50 juta , Pemilik Toko Buku NN Sieto Nini sebesar Rp 50 juta, Tan Pabula Wiraswasta Perhotelan di Kota Ambon Rp 85 juta, Direktur CV Glen Primanugrah yakni Thomas Souissa Rp 70 juta, Direktur CV Angin Timur Anthony Liando Rp 740 juta, PT Gebe Industri Nikel Maria Chandra Pucal Rp 250 juta, Yusac Harianto Rp50 juta, Pemilik AFIF Mandiri Rakib Soamole Rp165 juta, Pemilik Apotek Agape Madika Edwin Liem Rp 20 juta. Direktur Utama PT Karya Lease Abadi Fahri Anwar Solikhin Rp 4,9 Miliar., Penyedia Jasa Kontruksi Yanes Thenny Rp 50 juta dan Novy Warella sebanyak Rp 435,6 Juta.
Terkait nama – nama yang disebutkan yang memberikan uang, Ricahrd Louhenapessy saat menjawab pertanyaan Jaksa KPK membenarkan adanya transaksi pada rekening BNI miliknya. Saat ditanya apakah dirinya menyesal karena tidak melaporkan adanya pemberian uang, Ricahrd Louhenapessy pun menyampaikan menyesal karena apa yang didapatnya itu tidak dilaporkan ke lembaga pemerintah terkait termasuk KPK.
” Saya menyesal karena tidak melaporkan pak Jaksa, ” jawab Mantan Walikota Ambon dua periode ini.
Sementara itu dakwaan kepada, Andrew Erin Hehanussa sebagai perantara sebanyak Rp 1.466.250.000,00 dengan rincian, Kadis PUPR Ambon, Endriko Matitaputty Rp 100 juta,Mantan Kadis Perindag Ambon Pieter Jan Leuwol Rp 100 Juta. Victor Alexander Loupatty Rp 131.250.000, Direktur PT Sinar Semesta Jaya Telly Nio Rp 1.055.000.000, Afif Mandiri Rp20 juta Direktur PT Ganesha Indah Marthin Thomas Rp 10 Juta.
Saat ditanya Majelis Hakim terkait dengan fakta persidangan soal aktivitas alur masuk keluar uang melalui nomor rekeningnya Hehanussa dengan tegas menyatakan tetap pada keterangannya. Bahkan dia mengakui tidak menyesal dengan apa yang dilakukannya karena dia tidak menerima atau mendapatkan keuntungan untuk pribadinya.
” Saya tetap pada keterangan saya, dan saya tidak menyesal karena saya tidak mendapatkan manfaatnya, karena di rekening milik saya tidak ada uang yang jumlahnya tidak sampai Rp1 juta.” ungkapnya tegas via zoom.
Tak hanya transfer untuk terdakwa, muncul juga setoran atau transferan melalui perantara Karen Walker Dias sebanyak Rp 822.460.000 dengan rincian; Direktur PT Azriel Perkasa Sugeng Siswanto Rp 250 juta. Pemilik PT Hoatyk Victor Alexander Loupatty Rp 25 juta selaku. Kontraktor Benny Tanihattu Rp 321.460.000,00. Pemilik Direktur PT Kasih Anugerah Abadi, Tan Ferry Rp 50 juta Kontraktor Hentje Waisapy Rp 165 juta.
(TS 02*)
Discussion about this post