TITASTORY.ID,- Kamis, 25 November 2021, merupakan hari terakhir dimana Khaleb Yamarua dan Stepanus Ahwalam, dua pemuda Sabuai, mengakhiri agenda persidangan di Pengadilan Dataran Hunimua, Bula, Kabupaten Seram Bagian, Provinsi Maluku.
Ini merupakan sidang ke-12 mereka dan merupakan agenda putusan persidangan. Sebelumnya kedua pemuda Sabuai ini menjalani sidang perdana di Pengadilan Dataran Hunimoa, Jumat 27 agustus 2021 lalu.
Masyarakat adat dan berbagai kalangan mendesak hakim untuk bisa memutuskan kasus ini dengan hati nurani serta berpihak kepada masyarakat adat karena telah membantu Negara untuk menjaga hutan dari kerusakan maupun penebangan liar.
Khaleb dan Stefanus menjalani pemeriksaan setelah dilaporkan merusak alat berat milik Imanuel Quadarusman alias Yongki, Komisaris Utama, CV Sumber Berkat Makmur (SBM). Kini Yongki menjadi terpidana atas kasus pembalakan liar di hutan Ahwale, Sabuai.
Nicko Ahwalam, Ketua Saniri Negeri Sabuai mengatakan, Negara seharusnya memberikan penghargaan kepada kedua pemuda tersebut karena telah menyelamatkan lingkungan yakni hutan adat di petuanan Sabuai.
Baginya, apa yang dilakukan oleh Khaleb dan Stefanus bagian dari mempertahankan ruang hidup masyarakat Negeri Sabuai. masyarakat Sabuai yang berusaha mempertahankan hutan malah berhadapan dengan hukum. Sekitar 26 warga diamankan, 2 orang kini menjadi tersangka dan menjalani persidangan di Pengadilan Dataran Hunimua, Bula, Seram Bagian Timur.
Nicko merunut peristiwa penangkapan 26 masyarakat adat Sabuai oleh aparat polsek Werinama, senin (17/2/2020) tahun lalu. Dimana mereka yang diamankan berdasarkan laporan komisari CV Sumber Berkat Makmur (SBM), dengan tudingan aksi pemalangan dan perusakan peralatan milik perusahan.
Mereka masing yang diamankan yakni, Albert Nisdoam, Nehemia Nisdoam, Yehas Patotnem, Yesriel Patotnem, Saul Patotnem, Santos Patotnem, Hendrik Patotnem (siswa), Frans Yamarua, Roni Yamarua, Noce Yamarua, Ais Ahwalam, Nico Ahwalam, Anus Ahwalam, Yopi Ahwalam, Alfian Ahwalam.
Kemudian, Nus Ahwalam, Amo Titasam, Jemmy Titasam, Yeheskel Titasam, Nahor Titasam (siswa), Moretz Titasam, Benny Sopacua, chak Lesiela. Dua orang, Stefanus Ahwalam dan Khaleb Yamarua. Keduanya dijadikan tersangka oleh polisi.
“Saat itu, kami 26 orang termasuk Khaleb dan Stefanus hanya mempertahankan hutan adat kami yang dititipkan leluhur kepada kami. Hutan itu juga telah rusak oleh alat-alat berat milik Yongki,”kata Nicko tokoh adat Negeri Sabuai, rabu (24/11/2021).
Ia mengatakan puluhan masyarakat adat Sabuai melakukan protes penyerobotan hutan adat dan pembalakan liar kayu yang dilakukan oleh perusahan CV SBM di Gunung Ahwale.
Ia menceritakan, setelah tiba di Gunung Siwe, warga adat Sabuai berjumpa dengan lima operator yang memuat kayu. Mereka pun menghentikan tiga alat berat perusahan.
“Kami marah saat itu karena melihat hutan adat kami dan juga tempat sacral kami dirusak oleh alat berat perusahan. Dan kami protes dengan melempari kaca alat berat,”akuinya.
Tindakan itu menurut Nicko merupakan puncak kekecewaan lantaran beberapa kali melarang agar pohon-pohon tidak lagi ditebang sampai adanya sasi adat, namun perusahan tetap tidak peduli.
Usai melempari kaca alat berat milik SBM, warga kembali menuju perusahaan di tepian kali Tunsa. Di sana, hal yang sama dilakukan warga. Mereka melakukan pemalangan.
Menurut ketua Saniri Sabuai ini, warga Negeri Sabuai tidak pernah memberikan izin perusahan untuk mengeksploitasi di hutan itu. mereka hanya member tiga lahan, yakni di hutan Wasaba, Mayaram, dan Ihatolus.
“Mengapa perusahan dengan berani menerobos dan menggunduli hutan yang tidak diizinkan masyarakat pemilik petuanan. Siapa yang mengizinkan?, tanya Nicko.
Terhadap kasus tersebut, bagi Nicko ada sebab dan akibat mengapa masayarakat melempari dan merusak alat berat milik CV SBM.
“Sudah jelas, komisarisnya sudah ditetapkan sebagai terasangka, berarti pengadilan mengakui dia bersalah karena telah melakukan tindakan penebangan liar dan perambahan hutan, apalagi yang dipertimbangkan hakim terhadap dua Pemuda Sabuai ini,”cetusnya.
Terhadap Khaleb dan Stefanus ia berharap adanya keadilan yang didapatkan dari para majelis hakim pengadilan dataran Hunimua, Bula, Kabupaten Seram Bagian Barat.
“Selain Tuhan dan Hakim, ke mana lagi kami mencari Keadilan,”harapnya.
Pandangan Ahli
Erwin Ubwarin, Dosen Ilmu Pidana Fakultas Hukum Universitas Pattimura memberikan pendapat kepada penegak hukum agar harus memperhatikan alasan sampai adannya penghadangan dan pengrusakan kendaraan CV SBM di hutan Sabuai. aksi itu katanya tak lain karena perusahan telah melakukan pembalakan hutan secara liar.
Warga yang berusaha menjaga hutan dan lingkungan hidup, seharusnya tak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Hal itu sesuai dengan UU perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal 66.
Pada pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatakan Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata, pada pejelasan Pasal 66 undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Perlindungan ini katanya dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.
Dengan dasar Pasal 66, kata dosen Pidana Fakultas Hukum Unpatti ini seharusnya pihak Kejaksaan harus melakukan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana Oleh Jaksa Penuntut Umum.
Sebagai bukti Kejaksaan Anti SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Mereka berdua menjalankan apa yang diamatkan dalam Pasal 66, maka jika dilihat dalam Pasal 50 KUHP menyebutkan “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang, tidak dipidana”, karena mereka berdua menjalankan Pasal 66 UU Lingkungan hidup mereka tidak boleh di jatuhi pidana,”cetusnya.
Dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor : 36/KMA/II/2013, menerapkan ketentuan Anti SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Jika mereka berdua dijatuhi hukuman atas tindakan melindungi hutan, maka akan semakin jauh keadilan, Hakim harus memenuhi keadilan substantif bagi masyarakat pencari keadilan,”harapnya.
Yustin Tuny, Kuasa Hukum kedua terdakwa, Khaleb dan Stefanus mengatakan hingga saat ini agenda persidangan kepada kliennya telah dilakukan selama 12 kali. Disitu Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menghadirkan 6 orang saksi terdiri dari tiga saksi fakta maupun saksi meringankan oleh penasehat hukum terdakwa.
“Dalam fakta persidangan itu kami jelaskan tentang pelemparan mobil perusahan yang terjadi. Itu atas dasar sebab akibat, di mana pihak perusahaan sebelumnya sudah ditegur oleh masyarakat namun tidak menghormati larangan tersebut,”cetusnya.
Bahkan kata Yustin, masyararakat telah melakukan pemalangan berupa sasi adat sebanyak 2 kali namun tidak dihormati.
“Fakta persidangan lainnya yakni penebangan hutan secara liar, keluar dari kesepakatan perjanjian, terjadinya longsor, pemalsuan ijin untuk usaha yakni izin perkebunan pala, serta laporan Ilegal Loging ke Krimsus Polda Maluku tapi tidak diproses,”urainya.
Sebelumnya, kata Yustin Penuntut Umum Kejaksaan Negeri SBT menuntut Khaleb Yamarua dan Stevanus Ahwalam dengan pidana penjara selama 10 bulan penjara .
“Keduanya dituntut masing-masing 10 bulan penjara pada hari kamis (28/10/2021),” ucap pengacara kedua terdakwa, Yustin Tunny.
Atas berbagai fakta persidangan tersebut, Ia memberikan kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat Sabuai dan kedua terdakwa adalah bagian dari sebab akibat.
“Kalau hukum positif dihargai, maka harusnya juga menghargai juga Negara, Pemerintah, dna Perusahaan menghargai hukum adat, sehingga masyarakat adat bisa mendapatkan keadilan” katanya.
Pendamping Hukum masyarakat Sabuai ini berharap majelis hakim mempertimbangkan persoalan ini karena terjadi sebab akibat dan sesuai fakta persidangan. Agar masyarakat hukum adat kedepan tidak merasa terancam dengan perlindungan hutan dan lingkungan mereka. Selain itu masyarakat juga bisa menghormati hukum.
“Saya berharap masyarakat hukum adat Negeri Sabuai bisa mendapatkan keadilan pada putusan majelis hakim kamis 25 november 2021 besok,”harapnya.
Kampanye Dukungan
Solidaritas masyarakat untuk mendukung pembebasan dua pemuda Sabuai, Khaleb Yamarua dan Stefanus Ahwalam. kali ini dukungan Save Sabuai mengalir dari kalangan komunitas organisasi massa dan konten kreator di Maluku.
Para konten kreator mulai mengkampayekan save sabuai sebagai dukungan mereka terhadap dua pemuda Sabuai Khaleb Yamarua dan Stefanus Ahwalam, yang saat ini menjalani persidangan di Pengadilan Dataran Hunimua, Bula, Seram Bagian Timur.
Apriliska Lattu Titahena koordinator kampanye Save Sabuai mengatakan Hastag yang disebarkan ke media sosial terkait dengan menjelang putusan dua pemuda sabuai yang saat ini menjalani persidangan di pengadilan Negeri Dataran Hunimua.
“ini dilakukan untuk mendukung kawan-kawan yang besok (kamis-red) diperhadapkan dengan putusan pengadilan Negeri Dataran Hunimua dengan tuntutan 10 bulan penjara,”kata Apriliska Lattu Titahena, koordinator tim conten creator save Sabuai.
Terhadap aksi kampanye yang digalakan melalui media sosial, bisa memberikan pesan kepada Pemerintah dan Negara, juga masyarakat umum bahwa diperlukan dukungan terhadap dua aktivis lingkungan asal Sabuai ini.
“Katong (kita) mengharapkan keberpihakan Negara terhadap dua pemuda Sabuai yang menjadi aktivis lingkungan yang sudah membantu Negara membongkar kejahatan lingkungan yang di lakukan oleh kooporasi,”cetusnya.
Untuk kampanye sendiri, koordinator tim konten kreator save sabuai ini mengharapkan agar pesan kampanye melalui media sosial bisa tersampaikan dan menyetuh berbagai pihak khususnya para majelis hakim yang nantinya memutuskan perkara kedua pemuda Sabuai ini.
“Kita sementara posting yang baru lagi terkait dengan Save Sabuai yaitu hutan adat mereka yang sakral sehingga harus diselamatkan. Juga laporan yang dilayangkan kepada Krimsus Polda Maluku namun diabaikan sehingga menjadi ketidakpuasan masyarakat,”jelasnya.
Selain dukungan dari para konten kreator di Maluku, dukungan terhadap Khaleb dan Stefanus juga mengalir dari berbagai lembaga dan organisasi massa dan juga Organisasi kepemudaan.
Jalannya sidang dua warga adat Sabuai ini, selalu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Misalkan, pada sidang-sidang sebelumnya, dukungan datang dalam bentuk aksi demo dari Gabungan Pemuda Pejuang Tanah Adat (PPTA) Seram Bagian Timur. Mereka terdiri dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Cabang Seram Bagian Timur (GMNI-SBT), Persekutuan Pemuda Etnis Nusantara (Pena-SBT), Aliansi Mahasiswa Adat Wellyhata Sabuai (AMAWS), Pusat Perjuangan Pembebasan Nasional Kota Ambon dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
Dalam aksinya, pendemo meminta agar kedua masyarakat adat ini dibebaskan dari segala dakwaan, tuntutan JPU dan Putusan Hakim, karena tindakan yang dilakukan adalah sebagai bentuk melindungi hutan adat mereka.
Dukungan ini sebagai bentuk kepedulian serta keprihatinan mereka terhadap dua pemuda yang diduga dikriminalisasi oleh Negara melalui perusahan CV SBM.
Khaleb dan Stefanus dijerat Jaksa Penuntut Umum dengan pasal 170 KUHP dan 406 KHUP tentang Pengrusakan Barang dan Kekerasan Bersama Terhadap Barang dengan ancaman pidana 8 tahun Penjara.
Dalam dakwaanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari SBT, menyatakan, pengrusakan terjadi Senin 17 Februari 2020 sekitar pukul 08.00 Wit di hutan Siwe, Desa Sabuai.
Khaleb dan Stefanus bersama warga lainnya disebutkan dengan sengaja merusak kaca mobil loader merk Komatsu dan dua mobil truk logging merek Nissan milik Direktur CV SBM, Imanuel Quedarusman.
Peristiwa tersebut terjadi saat mobil logging yang dikendarai Ibrahim Lausepa mengangkut kayu log batangan dari blok menuju tempat penampungan kayu (logpon).
Saat berada di dekat Kali Tunsa, warga bersama kedua terdakwa yang datang langsung meminta supir untuk menghentikan kendaraan.
Salah satu warga, Julianus Ahwalam sempat mengambil kunci mobil dan diserahkan kepada Stefanus. Sedangkan Khaleb menggunakan batu melempari kaca mobil bagian depan hingga pecah, disusul dengan Stefanus yang memecahkan kaca spion kendaraan. JPU menuturkan, warga kemudian melanjutkan perjalanan menuju tempat penampungan kayu, yang berjarak sekitar 50 meter.
Satu unit mobil loader warna kuning dikendalikan Ujang Jamin dan mobil logging warna orange merk Nissan dikendarai Adeba dan La Siprit yang sedang beroperasi mengangkut kayu, langsung berhenti saat melihat kedatangan warga.
Kunci kendaraan kembali diambil oleh warga dan kaca kendaraan juga dilempar dengan batu hingga pecah. Akibat tindakan ini, menurut JPU, Imanuel Quedarusman telah mengalami kerugian hingga Rp 300 juta.
Kedua masyarakat adat ini dikenakan pasal 170 ayat (1) subsidair pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP dan Pasal 406 ayat (1) KUHP, karena bersama-sama melakukan kekerasan dan penghancuran barang berupa kaca mobil truck logging sehingga tidak dapat digunakan lagi dan menimbulkan kerugian.
Sekedar tahu, kasus ini sangat menarik perhatian publik. Hal ini terlihat dari sejumlah aksi demo yang di gelar sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat adat Sabuai yang selalu menjaga hutan mereka.
Aksi pengrusakan juga dilakukan warga setelah laporan mereka tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Peringatan agar tidak meneruskan pengrusakan juga tidak di gubris CV SBM, sehingga warga terpaksa mengambil langkah ekstrim.
Sementara itu, Imanuel Quadarusman yang terbukti melakukan illegal logging di hutan adat Sabuai, telah menjalani sidang. JPU memberikan tuntutan ringan atas pengrusakan hutan yang dilakukan CV SBM, 1,2 tahun penjara, dan di vonis 2 tahun penjara oleh hakim.
Mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak, JPU kemudian melakukan banding, dan Direktur CV SBM ini divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Ambon. (TS-01)
Discussion about this post