Yahukimo, – Sebuah serangan udara menggunakan drone diduga dilakukan oleh militer Indonesia di Dekai, Kabupaten Yahukimo, pada Selasa (25/11/2025) sekitar pukul 17.50 WIT. Serangan tersebut menghancurkan satu rumah warga dan melukai seorang pelajar SMA kelas III, menurut laporan resmi yang diterima Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB–OPM dari komandan lapangan mereka.
Brigadir Jenderal Elkius Kobak dan Mayor Kopitua Heluka melaporkan bahwa ledakan terjadi di sebuah area pemukiman, menyebabkan rumah warga sipil rata tanah. Seorang remaja bernama Kulmak Sam, pelajar SMA kelas 3, mengalami luka-luka serius akibat terkena serpihan ledakan. Seorang warga lainnya yang berada di sekitar lokasi disebutkan selamat.
Korban langsung dilarikan keluarga ke RSUD Dekai untuk mendapatkan perawatan medis.

Laporan TPNPB: Serangan Melanggar Hukum Humaniter
Juru Bicara TPNPB–OPM, Sebby Sambom, dalam siaran persnya menyebut serangan drone itu sebagai “operasi udara yang membahayakan penduduk sipil”. Ia menegaskan bahwa serangan tersebut telah menimbulkan korban dari masyarakat yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata.
“Serangan ini menghancurkan rumah warga sipil dan melukai anak sekolah. Negara harus bertanggung jawab,” ujar Sambom.
TPNPB-OPM mendesak Presiden Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto untuk menghentikan penggunaan drone dalam operasi militer di wilayah-wilayah konflik di Papua.
Menurut Sambom, militer Indonesia wajib mematuhi hukum humaniter internasional, terutama prinsip pembedaan antara kombatan dan penduduk sipil, serta larangan menyerang objek non-militer.
Meningkatnya Operasi Udara
Laporan ini muncul di tengah meningkatnya operasi udara aparat keamanan Indonesia dalam beberapa bulan terakhir di wilayah Pegunungan Tengah dan sejumlah zona yang menjadi basis 36 Komando Daerah Pertahanan (KODAP)TPNPB.
Serangan udara, termasuk penggunaan drone bersenjata, disebutkan oleh jaringan pembela HAM Papua sebagai pola operasi baru yang meningkatkan risiko korban sipil.
Sambom menambahkan bahwa operasi terbaru ini menunjukkan eskalasi yang berbahaya. “Penggunaan drone dalam konflik darat Papua menempatkan warga sipil pada posisi paling rentan,” katanya.
Hingga berita ini diterbitkan, pemerintah Indonesia dan TNI belum memberikan pernyataan resmi terkait laporan serangan drone maupun dampaknya terhadap warga sipil di Yahukimo.
Upaya konfirmasi ke pihak militer melalui jalur komunikasi yang biasa digunakan media juga belum mendapat respons.
Konflik Berlarut dan Korban Sipil yang Terus Bertambah
Konflik bersenjata antara TPNPB–OPM dan aparat keamanan Indonesia telah berlangsung selama puluhan tahun, dengan sejumlah laporan dari lembaga HAM internasional yang mencatat jatuhnya korban dari masyarakat sipil di berbagai wilayah.
Komnas HAM RI dalam beberapa tahun terakhir juga merilis temuan mengenai tingginya angka pengungsian akibat kontak bersenjata, terutama di Pegunungan Papua.
Insiden terbaru di Yahukimo ini kembali menyoroti problem besar: ketiadaan mekanisme perlindungan warga sipil dalam operasi militer, sementara eskalasi kekerasan terus meningkat.
TPNPB: Serangan Drone Harus Dihentikan
Melalui siaran persnya, Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB–OPM menutup pernyataan dengan menyerukan penghentian operasi udara dan pengusutan atas serangan yang berdampak kepada warga sipil.
“Kami mengimbau aparat militer Indonesia agar mematuhi hukum humaniter internasional selama melakukan operasi dan pertempuran,” kata Sambom.
Siaran pers tersebut ditandatangani oleh jajaran pimpinan TPNPB–OPM: Jenderal Goliat Tabuni, Panglima Tinggi, Letjen Melkisedek Awom, Wakil Panglima, Mayjen Terianus Satto, Kepala Staf Umum, Mayjen Lekagak Telenggen, Komandan Operasi Umum.
Insiden ini kembali menambah daftar panjang warga sipil yang terdampak konflik bersenjata di Tanah Papua — sebuah konflik yang belum juga menemukan jalan keluar politik, sementara masyarakat terus menanggung akibatnya.
