titastory.id,ambon –Lusi Peilouw, Ibu dari DTP, seorang siswa korban perundungan di SMA Negeri 1 Ambon melayangkan surat terbuka lantaran tidak terima atas perundungan fisik yang diterima anaknya.
Surat terbuka itu ditujukan kepada pihak sekolah atas kejadian yang menimpa anaknya pada Sabtu, (16/11). Dirinya juga tidak terima, anaknya yang dititipkan untuk menuntut ilmu justru menjadi korban perundungan.
Menurut Lusi, SMA Negeri 1 Ambon bukan lagi tempat yang aman untuk anaknya, DPT hingga dikeroyok di dalam lingkungan sekolah saat akan menuju ke kelasnya.
DPT dihajar oleh segerombolan siswa berlagak preman. Sayangnya guru di sekolah tidak tahu ada aksi tak terpuji itu.
“Hari itu anak saya tiba di sekolah sebelum bel berbunyi, langsung menuju kelas. Begitu masuk, datang sekelompok siswa menyusulnya, lalu tanpa basa-basi langsung mengeroyok dan menganiaya (bullying atau perundungan secara fisik),” jelas Peilouw, Senin, (18/11).
Dia menjelaskan, peristiwa itu terjadi antara pukul 07.10 – 07.15 WIT, Artinya, guru-guru sudah berada di sekolah, dan harusnya sudah bersiap untuk memulai pembelajaran.
Sedangkan para pelaku perundungan itu, sudah berkumpul lebih dulu baru ke ruang kelas XII-F13. Dia menyayangkan, tidak ada seorang guru pun yang peka dan menangkap gelagat premanisme dari anak-anak itu. Begitu pun ketika kegiatan belajar mengajar, para guru tanpa tahu bahwa satu dari siswa yang hadir saat itu baru saja dirundung.
“Anak saya yang tubuhnya tidak pernah kena rotan, harus mengikuti proses belajar hari itu dengan menahan sakit kepala dan sakit di badannya akibat dikeroyok preman-preman itu. Kasihan sekali saya membayangkan anak saya duduk dalam kelas dengan menahan sakit, perasaan takut dan malu,” ungkapnya.
Setelah jam belajar selesai, “ jelasnya pula,” barulah ketua kelas dan ketua OSISmenyampaikan hal yang telah terjadi itu kepada guru yang mengajar. Selanjutnya Ketua kelas pergi mencari Wali Kelas untuk mengadukan hal tersebut. Langkah penanganan di kesiswaan baru dimulai pada saat itu.
“Saya sangat menyesalkan hal ini, dan menggugat nurani Bapak sebagai pendidik, menuntut tanggung jawab bapak sebagai pimpinan sekolah.
“Anak saya dihajar, dikeroyok di dalam ruang kelasnya, di depan teman-teman sekelasnya, dengan tídak ada seorang pun yang berani melerai, ataupun keluar memanggil guru. Katanya, mereka semua panik dan takut. Tidak berani. Setelah anak saya sudah mendapat banyak pukulan, baru ada siswa yang mencoba melerai,” ceritanya.
Dirinya menerangkan, sekitar pukul 10.00 WIT, usai mendapat informasi dari guru kesiswaan, dirinya pun datang ke sekolah. Setelah selesai pembicaraan dengan guru di bidang kesiswaan dan ingin keluar dari sekolah, langkah mereka sempat tertahan karena anaknya, DTP masih ketakutan. Rupanya, anak-anak yang memukulinya itu sedang ramai berdiri di jalan di seberang sekolah.
“Saya hanya bisa memberanikan anak saya. Dengan bantuan dari ibu Souhuwat, kami keluar dari sekolah dengan sepeda motor, hendak menuju ke markas Polresta P. Ambon PP Lease di Perigi Lima. Apa yang terjadi,” tuturnya.
Ironisnya, ada dua orang anak berboncengan dengan sepeda motor yang membuntuti ibu dan anak ini.
Begitu tiba di area depan Cafe Voila, di kawasan Jalan Jendereal A Yani, dua siswa ini mendekatkan motor mereka ke korban dan ibunya sampai berdempetan hingga keduanya nyaris terjatuh.
“Ada anak preman yang dibonceng memukul kepala anak saya. Untung saja anak saya mengenakan helm. Ini bentuk teror dari preman,” ungkapnya.
Karena sikap sekolah yang terkesan lambat, masalah ini pun dilaporkan ke pihak berwajib. Diungkapkan, belum sampai membuat laporan, baru menceritakan kasus yang terjadi, Polisi pada SPKT secara langsung mengambil langkah responsif dengan segera mendatangi sekolah.
Sayangnya, sekolah terkesan tidak responsif. Seharusnya, kedatangan polisi disambut dengan langkah cepat untuk memanggil siswa yang terlibat atau membuat langkah penanganan lainnya.
Menurut Lusi, seharusnya pihak sekolah bertanggung jawab dan menunjukkan keberpihakan pada korban perundungan. Ini akan menjadi penawar bagi ketakutan yang dialami, dan menjadi langkah pemulihan awal atas gangguan psikologis yang dialami.
“Bukankah sekarang kita dimudahkan dengan teknologi komunikasi untuk mempermudah koordinasi kerja termasuk untuk perlindungan terhadap anak di sekolah?,” cetusnya.
Dalam surat terbuka itu dirinya juga menyampaikan bahwa, SMA Negeri 1 Ambon adalah sekolah favorit di Maluku. Dengan reputasi yang baik dan bergengsi, dulunya menjadi kebanggaan, sehingga dirinya mempercayakan anaknya untuk belajar di situ. Sekarang justru menjadi sekolah yang menyeramkan.
“Sekolah yang dulunya hanya diisi oleh siswa-siswa terseleksi secara prestasi akademik dan non akademik dengan perilaku baik, sekarang berisi anak-anak bermoral preman?,” ungkapnya kesal.
Kondisi korban, kata dia, tak hanya mengalami sakit di bagian kepala. Kondisi itu membuat deman hingga trauma secara psikis. Bahkan korban meminta untuk tidak melewati depan sekolah usai pulang melakukan pemeriksaan medis.
“Mami tolong jang lewat skolah jua,“ tulis Peilow mengulangi perkataan anaknya.
“Saya menguatkan dia, “seng apa-apa, dong (mereka) pasti seng (tidak) ada lai,” Mendekati area sekolah anak saya peluk saya erat-erat sambil membenamkan wajahnya ke punggung saya dan setengah berteriak…”Tuhan Yesus tolong…” beberapa kali sepanjang kami lintasi depan sekolah,” lanjutnya.
“Hingga saya menuliskan surat ini, anak saya tidak mau mendengar kami berbicara tentang peristiwa tragis itu. Dia meminta untuk bertemu dengan psikolog agar menolong melepaskan dia dari ketakutan dan trauma yang menghantuinya,” tulis Lusi. (TS-03)
Discussion about this post