titastory.id,- Sebagai bintang yang bersinar dan produktif di belantika musik tanah air, Glenn Fredly yang punya nama lengkap Glenn Fredly Deviano Latuihamallo, tentu bersentuhan dengan banyak orang. Sudah pasti tiap orang dalam jangkauan aktivitasnya punya cerita masing-masing.
Saya tak ingin mengulas bagaimana perjalanan karir dan karya-karyanya dì bidang musik, karena pasti banyak yang menulis soal itu.Karyanya pun dengan mudah kita nikmati.
Saya mau menulis dari sisi yang agak berbeda. Paling tidak dari hasil persentuhan dan kenangan saya dengan Glenn. Setiap orang pasti punya cerita berbeda.
Satu sore tahun 2014, saya ada janji dengan salah satu penyair dari Maluku, Bung Rudi Fofid di Jakarta. Rudi kemudian mengarahkan agar saya menyusulnya di Potato Head, Pacific Place, katanya “kebetulan ada Glenn jadi katong (kita) bisa sekalian diskusi kecil”.
Saya tiba, sudah ada Bung Rudi, Glenn, Ramly dan Angga Sasongko (Sutradara). Pertemuan itu ternyata berujung pada kesepakatan untuk saya terlibat dalam penyelesaian projek film Cahaya dari Timur (CDT) dengan posisi sebagai co-produser. Glenn sendiri adalah produser film itu.
Saat itu Glenn bilang pentingnya film dalam membangun citra baru Maluku yang pernah terpuruk karena konflik. Lewat film katong juga dapat memperlihatkan di tengah konfik juga ada banyak cerita inspiratif.
Singkat cerita film CDT pun bisa rampung tahapan produksinya, hingga tayang di bioskop, bahkan kemudian jadi film terbaik FFI 2014.
Sesekali kami bertemu. Kebanyakan tanpa sengaja di pusat perbelanjaan di Jakarta, Namun ketemu Glenn lagi dalam kesempatan yang agak serius, ketika pada satu malam, di awal September 2017, ada pesan dari Pangdam Pattimura, Mayjen Doni Monardo, untuk besok paginya saya bisa menyusul ke Hotel Swisbell Ambon.
Pagi itu, saat saya tiba dì ruangan pertemuan, sudah ada Glenn, Lala Timothy dan Jay Subiyato, produser dan suradara film Banda The Dark Forgotten Trail (BTDFT).
Pagi itu juga saya baru tahu kalau ada konflik antara masyarakat Wandan dengan pihak film BTDFT yang mesti diselesaikan. Dan dalam kesempatan itu Glenn turut menunjukan kapasitas, Bukan hanya sebagai penyanyi seperti yang kita tahu, tapi seorang intelektual, dalam memberikan pengertian dengan lugas agar bagaimana satu ‘pertikaian’ di industri film dapat diselesikan dengan cara yang bermartabat.
Forum ‘perundingan’ yang tadinya alot, serta dipenuhi massa diantaranya ada juga yang penuh emosi itu, bisa diselesaikan dengan baik. Ada titik temu. Akhirnya masyarakat Wandan dengan sineas film BTDFT bisa berdamai dan berangkulan.
Berikutnya terkait dengan upaya pembebasan tahan politik RMS asal Maluku, kebetulan kami punya konsern yang sama. Sebelum akhirnya saya berkesempatan turut bertemu dengan Mensesneg Pratikno dan Menseskab Pramono Anum tahun 2018, untuk turut membicarakan pengajuan Grasi kepada aktivis asal Maluku itu.
Glenn menulis opini menarik di The Jakarta Post dengan judul: “Amnesty for prisoners of conscience is urgent”. Glenn juga mengajak agar tulisannya dibaca khalayak, dengan menulis di media sosialnya: “Kemarin, saya menuliskan sebuah opini yang dimuat di The Jakarta Post, berjudul ‘Pemberian Amnesti kepada para tahanan nurani sangat mendesak’.
Dalam tulisan ini, saya mengutip laporan Amnesty International @amnesty @amnestyindonesia yang menyebutkan bahwa setidaknya ada 20 orang yang dipenjara karena mengekspresikan pandangan agama atau politik secara damai. Salah satu diantaranya bernama Johan Teterissa.”
Lebih lanjut Glenn menulis: “Johan merupakan seorang guru Sekolah Dasar di Maluku.
Pada 2007 ia ditangkap oleh polisi, dan mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya selama masa penahanan dan interogasi. Kejahatannya? Mengibarkan bendera.
Johan merupakan pemimpin dari 22 aktivis yang mempertunjukkan tari tradisional cakalele di depan mantan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono di ibukota provinsi Maluku, Ambon, sebelum kesemuanya ditangkap setelah mengibarkan bendera Benang Raja”.
Di akhir catatan, Glenn menutupnya dengan: “Saya menyatakan bahwa jika Indonesia menghargai kebebasan berekspresi, para aktivis ini seharusnya tidak menghabiskan waktu seharipun di penjara hanya karena aktivitas damai mereka. Baca opini selengkapnya di The Jakarta Post atau website Amnesty International Indonesia”.
Iya, saya kutip kembali catatan Glenn di atas untuk menunjukan sisi lain dari dirinya, yang bukan hanya seniman biasa, tapi punya kepedulian pada kemanusiaan. Termasuk pada isu HAM yang bahkan oleh sebagian orang di tempat asalnya masih dianggap tabu bila memperjuangkannya. Padahal perlakuan politik yang sama, yang ia perjuangankan itu masih saja terjadi hingga hari ini.
Bertemu terakhir dengan Glenn tahun 2019 kemarin. Kebetulan ada satu projek film tentang Maluku, Hulan, akan dibuat. Bersama Kepala BNPB Letjen Doni Monardo kami ketemu di Senayan City. Berbicara sebentar menjajaki peluang soundtrack Hulan diisi suara emas Glenn. Kita kemudian merencanakan ada pertemuan lanjutan.
Karena kesibukan masing-masing, apalagi Glenn yang memang produktif, di tambah adanya wabah Covid-19 membuat pertemuan berikutnya tak kunjung terjadi. Hingga sore, 8 April, usai membaca postingan di WhastAap Grup dari Bung Abraham Tulalessy (Upu Abraham “Republik” Tulalessy Henry), kalau hari itu adalah hari mengenang berpulangnya aktivis HAM Maluku Yanes Balubun. Tetiba di ujung telepon dalam isak tangis. Sahabat saya Aura Kasih memastikan kabar kalau bintang itu telah pergi meninggalkan kita semua.
Sesaat kemudian jagat maya ramai dengan berita perginya nyong Ambon yang bukan hanya seniman biasa itu. Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo lewat WhatsApp jalur pribadi ke saya, bilang: “Sangat berduka San, atas perginya musisi dan pejuang kemanusiaan.”
Salamat jalan ‘Bung Besar’, karya dan bahkan perjalanan hidupmu yang singkat, sudah dan akan terus menginspirasi anak bangsa. Terutama dalam menaikan moral dan harga diri ‘pride’ para mutiara-mutiara timur lainnya, yang akan terus lahir dan hadir menyusiri jalan cemerlang yang sudah Bung rintis. Tulisan ini sekaligus adalah persaksian, kalau Bung adalah orang baik. RIP Glenn Fredly, Cahaya dari Timur.
Penulis adalah Founder/CEO IndoEast Network
Discussion about this post