TitaStory,Namlea– Konflik antara manusia dan buaya terus terjadi di Maluku. Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku, mendata, sejak Maret 2018 sampai Maret 2019, ada 21 kasus buaya muncul di beberapa sungai di Maluku, dari Pulau Buru, Seram, maupun Ambon.
Dari kasus-kasus ini, dua berujung kematian dua orang. Petugas mencatat, kemunculan buaya muara di Maluku, paling tertingi di Indonesia.
BKSDA menduga, kemunculan buaya muara di Maluku, lantaran habitat mereka terdegradasi. Kondisi ini, menciptakan konflik antara buaya dan manusia cukup tinggi.
Tak hanya manusia yang menjadi korban, hewan reptile ini juga menjadi korban pembunuhan manusia di Maluku.
Konflik antara manusia dan buaya ini baru saja terjadi awal tahun ini. Buaya sepanjang 2,5 meter dengan lebar 50 Centi Meter (CM), ditemukan mati di kawasan Pantai Ubung Pal 5 Namlea, Kabupaten Buru, Maluku, Selasa (7/1/2020) pagi.
Binatang melata itu, dibunuh karena kerap meneror warga setempat dan membuat resah para nelayan yang hendak melaut.
Kepala Resort BKSDA Pulau Buru, Abubakar Ipa membenarkan penemuan buaya itu. Dia mengatakan, dari pengakuan warga sekitar, buaya yang berada di sekitar kawasan tersebut berjumlah sekira empat ekor, namun satu yang dibunuh warga setempat.
“Kehadiran buaya meresahkan warga setempat, makanya mereka membunuh buaya itu,” ujar Ipa melalui keterangan tertulis, Selasa (7/1/ 2020).
Dia mengatakan, usai membunuh, warga langsung memusnahkan bangkai buaya tersebut dengan cara dikubur di sekitar pantai Ubung.
Dari hasil observasi petugas terhadap bangkai buaya tersebut di ketahui panjang buaya sekitar 2,5 m dengan lebar perut sekitar 50 cm.
Selain itu dari hasil observasi di lokasi, Abubakar bersama petugas polsek maupun koramil juga menemukan buaya tersebut juga sempat dikuliti dan dipotong tagingnya.
Dari penuturan masyarakat yang berada disekitar lokasi diketahui bahwa buaya berjumlah empat ekor, sudah berada di perairan pantai Ubung sejak beberapa hari yang lalu.
“Satu dibunuh, saat ini masih terlihat sebanyak tiga buaya masih berkeliaran di pantai Ubung,” tandas.
Dia mengatakan, ada pun asal buaya tersebut diperkirakan berasal dari muara sungai yang berada tidak jauh dari lokasi pantai ubung.
Rencana selanjutnya untuk menjaga jangan sampai jatuh korban manusia maupun buaya.
Untuk itu, petugas BKSDA Resort Pulau Buru bersama-sama aparat Desa Ubung, Babinsa dan stakeholder yang lain akan melakukan patroli untuk menggiring buaya tersebut kembali ke habitatnya yang berada di muara sungai.
Sebelumnya konflik antara manusia dan buaya juga terjadi pada, 7 Februari 2019. Dalam kejadian ini terjadi dua kasus warga tewas diduga digigit buaya. Mereka adalah Nyongker Wailissa, warga Negeri Makariki, Maluku Tengah, usia 37 tahun dan Adamik Batalata, warga Desa Atubul Dol, Kepulauan Tanimbar, 48 tahun. Keduanya tewas saat mencari ikan.
Kepala BKSDA Maluku, Muchtar Amin Ahmad mengatakan, pada hari sama, Kamis (7/2/19), ada dua peristiwa konflik buaya dengan manusia di lokasi berbeda. Buaya muara memangsa dua warga hingga tewas.
“Dua orang meninggal dunia diserang buaya. Nyongker Wailissa, ditemukan tewas di Muara Sungai Ruata, Kamis siang. Dia diterkam saat menjala ikan di sungai itu. Kamis dini hari juga, Adamalik Batalata, tewas diterkam buaya di Tanimbar, saat cari ikan,” kata Amin, Selasa (19/3/19).
Atas dua peristiwa ini, BKSDA Maluku terus mengambil langkah agar menghindari adanya korban jiwa, antara lain, terus memantau lapangan, meminta warga selalu waspada di lokasi rawan buaya.
BKSDA Maluku juga akan terus koordinasi dengan instansi terkait untuk penanganan dan kajian terhadap populasi maupun habitat buaya di Maluku.
Maluku, katanya, negeri kepulauan jadi banyak habitat buaya. Pulau Seram, Pulau Buru, Pulau Tanimbar, bisa dikatakan ‘rumah’ buaya,”tutup Amin. (TS-01)
Discussion about this post