titastory, Pulau Seram – Di kaki Gunung Bianaya, selatan Pulau Seram, berdiri sebuah sekolah adat yang istimewa: Lumah Ajare. Sekolah ini bukan sekadar tempat belajar, melainkan juga pusat pelestarian tradisi dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun oleh masyarakat adat Dusun Mangga Dua, Negeri Sounulu, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah.
Kepala Sekolah Adat Lumah Ajare, Johan Waliana, menjelaskan bahwa pendidikan di sekolah adat ini tidak hanya berpusat pada buku, tetapi juga pada alam, tanah, dan tradisi leluhur. “Di sekolah adat, kami mengajarkan bahwa alam adalah saudara kita,” tuturnya.
Menurut Johan, sejak dini anak-anak dibimbing untuk memahami dan merasakan bahwa alam adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kedekatan dengan alam ini tertanam dalam aktivitas sehari-hari, sehingga membentuk hubungan emosional yang kuat antara anak-anak dan lingkungan sekitarnya.
“Melalui kesempatan ini, saya mewakili sekolah adat sekaligus masyarakat adat ingin menyampaikan pesan untuk kita semua: mari jaga alam ini. Kita tidak bisa hidup tanpa alam. Kita bergantung kepada alam, sehingga wajib untuk menjaga alam ini, bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang,” pesan Johan penuh harap.
Mendidik Generasi Penjaga Alam
Sekolah adat Lumah Ajare, yang berdiri pada tahun 2023, memiliki visi besar sebagai pusat pembelajaran, pelestarian, dan pengembangan pendidikan adat bagi generasi Nusa Ina. Visi ini berlandaskan nilai-nilai luhur dan pemberdayaan masyarakat adat.
Sekolah ini juga mengemban misi penting, di antaranya; Membentuk generasi Nusa Ina yang beradat, beradab, berilmu, dan berakhlak, Menjadikan wilayah adat sebagai sumber pengetahuan, Menciptakan pemimpin muda adat yang kompeten serta Memberdayakan masyarakat adat melalui pengetahuan adat yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.
Pelajaran di Lumah Ajare tidak hanya berisi teori, tetapi juga praktik langsung di alam. Para guru adat mengajarkan harmoni dengan lingkungan, menanamkan nilai-nilai adat, dan mengajak anak-anak memahami peran mereka sebagai penjaga masa depan bumi.
Alam Sebagai Guru, Tradisi Sebagai Arah
“Alam adalah guru terbaik,” kata Johan. Di hutan dan kebun pala sekitar Dusun Mangga Dua, anak-anak belajar bagaimana hidup selaras dengan alam. Mereka memahami bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga cara untuk mempertahankan kehidupan.
Kehadiran Lumah Ajare menjadi lebih dari sekadar tempat belajar. Sekolah adat ini adalah simbol perlawanan terhadap arus modernisasi yang kerap menggerus nilai-nilai tradisi. Di sini, masyarakat adat berupaya mempertahankan jati diri mereka, memastikan warisan leluhur tidak hilang dan tetap menjadi pedoman hidup generasi mendatang.
Di Antara Gunung dan Adat: Sebuah Kehidupan yang Harmonis
Dusun Manggadua adalah gambaran sempurna dari kehidupan yang menyatu dengan alam. Kampung kecil ini berdiri teguh di kaki Gunung Manusela, tiga kilometer dari garis pantai. Warganya adalah petani yang menggantungkan hidup pada hasil tanam seperti kasbi, keladi, kelapa, dan cengkih. Namun, lebih dari itu, mereka adalah penjaga tradisi yang menghormati adat dan alam.
“Hutan itu katong pung kaka,” kata Natan Lilihatta, kepala adat Namahua Dusun Manggadua. “Pohon-pohon adalah saudara kami. Mereka memberi oksigen, makanan, dan kehidupan. Tanpa mereka, kita tidak akan ada.”
Setiap lelaki di kampung ini mengenakan berang, kain merah di kepala yang melambangkan kesiapsiagaan untuk melindungi tanah adat, keluarga, dan tradisi. Perempuan, yang disebut Saloi, menjalankan peran penting dalam mengolah hasil bumi, menjadikan tanah dan hutan sebagai sumber kehidupan yang tidak pernah habis.
Di bawah naungan Gunung Manusela, anak-anak keturunan Maraina tersenyum ceria. Mereka hidup dengan sederhana, namun semangat mereka untuk belajar dan menjaga jati diri adat tetap menyala.
Penulis: Edison Waas Editor : Christ Belseran