titastory, Jakarta – Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, melakukan kunjungan ke Indonesia pada 4-7 Maret 2025 untuk mengevaluasi situasi hak asasi manusia (HAM) di tengah meningkatnya praktik otoritarianisme. Kunjungan ini merupakan bagian dari kampanye global Amnesty melawan tren pembatasan kebebasan sipil yang semakin marak, termasuk di Indonesia.
Pada Jumat (7/3), Callamard mengakhiri rangkaian kunjungannya dengan menemui pejabat Kejaksaan Agung untuk membahas upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan pencegahan kriminalisasi terhadap pembela HAM. Sehari sebelumnya, ia juga bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung dan sejumlah hakim agung untuk menyoroti pentingnya independensi peradilan di tengah ancaman intervensi politik.
“Saya datang ke Indonesia dalam rangka kampanye global melawan otoritarianisme, sebuah tren yang semakin menguat di berbagai negara. Langkah-langkah represif yang dilakukan Donald Trump di Amerika Serikat bersama sekutunya telah menjadi ancaman bagi hak asasi manusia dan tata kelola global,” kata Callamard dalam konferensi pers di kantor Amnesty International Indonesia, Jakarta.
Callamard menyatakan bahwa pola represi yang meningkat secara global juga terjadi di Indonesia, dengan maraknya kriminalisasi aktivis, represi terhadap demonstrasi damai, dan semakin kuatnya militerisasi ruang sipil. “Indonesia bukan pengecualian dalam tren ini. Pelanggaran HAM yang terjadi sejak 1965 masih belum mendapatkan keadilan,” tegasnya.

Seruan Pengadilan HAM Ad Hoc dan Penghormatan bagi Korban
Amnesty International menyerukan penghentian impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia. Callamard menyoroti sejumlah kasus yang belum terselesaikan, termasuk pembunuhan Bernardus Realino Norma Irmawan (Wawan) dalam demonstrasi mahasiswa 1998. “Kami mendesak pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk mengusut kasus ini dan memberikan keadilan bagi korban serta keluarganya,” katanya.
Callamard juga memberikan penghormatan kepada para keluarga korban yang terus memperjuangkan keadilan, termasuk para peserta Aksi Kamisan yang setiap minggu turun ke jalan menuntut pertanggungjawaban negara.
Kekerasan di Papua dan Kriminalisasi Pembela HAM
Selain menyoroti pelanggaran HAM di tingkat nasional, Callamard menekankan kondisi di Papua yang masih jauh dari keadilan. Amnesty International mendokumentasikan kasus penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum, serta penahanan sewenang-wenang, tetapi hingga kini belum ada tindakan hukum yang memadai.
“Tahun lalu kami mendokumentasikan penyiksaan yang menewaskan seorang korban, di mana 13 aparat diduga terlibat. Namun hingga kini, belum ada satu pun yang dibawa ke pengadilan. Impunitas ini harus dihentikan,”ujar Callamard.
Dia juga menyoroti penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat dalam berbagai aksi protes damai, termasuk demonstrasi Indonesia Gelap bulan lalu serta aksi-aksi protes perubahan iklim yang dilindungi oleh regulasi Anti-SLAPP tetapi tetap dikriminalisasi.

70 Tahun Konferensi Asia Afrika: Indonesia Perlu Pimpin Solidaritas Anti-Otoritarianisme
Dalam kunjungannya, Callamard juga menyinggung momentum 70 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan diperingati bulan April 2025. Ia menyerukan Indonesia untuk kembali memainkan peran kepemimpinan dalam gerakan anti-penindasan global.
“Pada 1955, negara-negara Asia dan Afrika datang ke Bandung untuk menolak kolonialisme dan menegakkan hak asasi manusia. Namun 70 tahun kemudian, kita justru menghadapi era kemunduran dengan agresi militer, genosida, dan represi yang lebih brutal,” ungkapnya.
Amnesty International mendesak Indonesia untuk mengambil sikap tegas melawan bangkitnya otoritarianisme global, termasuk menolak kebijakan represif yang digerakkan oleh Presiden AS, Donald Trump.
Optimisme pada Gerakan Masyarakat Sipil
Di tengah kekhawatiran terhadap meningkatnya represi, Callamard tetap optimistis dengan keberanian masyarakat sipil Indonesia. “Saya melihat aktivis perempuan, feminis, mahasiswa, hingga jurnalis yang tak kenal lelah memperjuangkan HAM. Ini adalah harapan bagi Indonesia,” katanya.

Selama di Jakarta, Callamard juga bertemu dengan Gubernur Jakarta dan menyambut baik komitmen gubernur untuk tidak mengesahkan regulasi yang melegalkan poligami dalam pemerintahan.
“Saya menyerukan kepada semua pemimpin dunia untuk menolak poligami sebagai bentuk ketidaksetaraan gender yang tidak boleh dibiarkan,” tutup Callamard.