TITASTORY.ID, – AKTIVITAS pertambangan ilegal di Kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru dan pertambangan batu cinabar sebagai penghasil mercuri di kawasan Desa Luhu, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) bakal menjadi ancaman jika tidak mendapat penanganan serius dari Pemerintah maupun aparat kepolisian. Pasalnya, sangat berdampak pada kerusakan lingkungan dan mahkluk hidup termasuk manusia.
Para ahli pun telah memprediksikan kemungkinan terburuk, bahkan tak segan segan kejadian di Minamata di Jepang bisa terjadi di Maluku.
Sejumlah ahli dan juga peneliti dari berbagai instansi di Kota Ambon duduk bersama untuk membahas guna menyuarakan ancaman yang akan terjadi di Maluku nantinya.
Prof. Dr. Yusthinus T. Male Guru Besar dalam Bidang Kimia Anorganik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura menjelaskan aktivitas pertambangan tidak ramah lingkungan di dua pulau yang berbeda di Maluku yakni di Pulau Buru dan Seram Bagian Barat tidak bisa dipandang sebelah mata karena akan berdampak dan dirasakan ke depannya.
Dijelaskan, sebagai masyarakat Maluku seharusnya menjadi hal mendasar, karena Maluku secara sesuai bentangan geografis adalah provinsi kepulauan.
Maluku sendiri di dominasi 92 persen laut, sedangkan 7 persen lebih adalah daratan. Di dominasi laut maka sudah pasti 90 persen masyarakat Maluku secara ekonomi bergantung dari hasil laut.
“Termasuk yang terbesar adalah pemasok protein sehingga orang Maluku paling kurang makan ikan tiga kali dalam sehari”
Tak hanya di laut, hasil bumi di darat, potensi kekayaan alam lainnya menurut Male adalah rempah-rempah dan juga hasil tambang.
Di Provinsi Maluku sendiri ada sejumlah izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.Usaha pertambangan tersebut dilakukan secara legal untuk kemajuan Daerah dan juga Negara.
Namun sebaliknya ada juga pertambangan secara massif di lakukan illegal oleh sejumlah oknum penegak hukum hingga masyarakat lokal.
Untuk usaha pertambangan di pulau kecil, menurut guru besar Universitas Pattimura ini perlu adanya penanganan serius karena berkaitan dengan dampak lingkungan dan manusia di dalamnya. Menurutnya jika saja terjadi kesalahan maka akan terjadi kelangkaan pangan dan juga bencana alam seperti banjir, erosi dan pencemaran di laut.
Hal ini lantaran jarak antar satu pulau dengan pulau lainnya di Maluku tak begitu jauh. Artinya jarak diameternya hanya berberapa puluh kilometer. Sehingga kesalahan memanfaatkan bahan tambang berupa logam berat sangat beresiko.
Guru Besar dalam Bidang Kimia Anorganik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, ini menjelaskan logam berat adalah logam yang lebih berat 10 kali dari masa air dan tidak memiliki fungsi untuk menunjang sistem kehidupan tetapi lebih banyak digunakan untuk kebutuhan material untuk kontruksi dan sebagainya. Senyawanya bersifat racun untuk mahluk hidup.
Dijelaskan juga tentang aktifitas penambangan menggunakan bahan kimia berupa cianida dan merkuri masih jadi pilihan utama bagi penambang rakyat di Pulau Buru. Dikatakan melalui zat kimia yang para penambang dengan cepat mengolah material tanah menjadi emas.
Untuk itu proses penambangan harus dilakukan menggunakan bahan merkuri yang berasal dari gunung Luhu, seram Bagian Barat. Mercuri sendiri merupakan bahan dasar olahan batu Cinabar.
Keberadaan mercuri sendiri menurutnya tidak berguna untuk metabolisme, tetapi merupakan logam yang mengadung racun untuk mahkluk hidup lebih khusus manusia.
Dia mengatakan, logam berat berupa emas, nikel atau bahan tambang itu sedia kala telah diciptakan untuk disimpan di dasar bumi.
“Kurang lebih 30 meter di dalam bumi sehingga ketika kita mengkonsumsi hasil dari tumbuhan atau tanaman itu tidak mengadung logam berat”.
“Ketika melakukan proses penambangan, kita menggali dan logam berat kita lepaskan ke lingkungan maka menimbulkan masalah serius untuk kehidupan lingkungan, baik tumbu tumbuhan, hewan di darat di laut bahkan manusia,” jelasnya.
Dikatakan, kontradiksi yang terjadi selama ini adalah bahwa sejak tahun 2011 tanpa sengaja masyarakat menemukan emas di gunung botak, maka di Pulau Buru, banyak masyarakat dari luar berdatangan untuk menambang secara liar dengan teknologi tidak ramah lingkungan.
Kondisi ini pun tidak menjadi perhatian serius, bahkan pemerintah seolah menutup mata, dan tidak menertibkan regulasi untuk mengatur pendatang.
Bahkan para pendatang ini dengan leluasa menggunakan teknologi tradisional berupa pen atau panci yang mengakibatkan adanya pendangkalan sungai.
Namun meski demikian teknik ini masih dikatakan masih ramah lingkungan. Proses untuk mendapatkan logam emas pun dilakukan dengan teknik atau teknologi dompeng dengan menyemprot gunung, menyemprot bukit dengan air kemudian disaring menggunakan karpet sehingga terjadi pendangkalan di sungai anahoni dan hutan sagu di kawasan tersebut musnah.
“Karena hasilnya rendah mereka menggunakan merkuri dan terkahir adalah cianida dimana dua bahan ini sangat berbahaya lebih khusus pada mercuri,” imbuhnya.
Jika cianida dibiarkan di alam terbuka dalam seminggu, dijelaskan bahan kimia ini akan terdegradasi menjadi senyawa Lain. Namun semua perusahan yang mengektraksi emas menggunakan cianida tetap dibutuhkan teknologi lain dan para ahli juga sangat hati-hati karena penggunaan bahannya sangat beracun.
Karena sifatnya demikian penambang rakyat memilih tidak menggunakan cianida. Mereka lebih memilih menggunakan mercuri yang bisa dipegang dan bisa dicium.
“Masalahnya mercuri sampai kapan pun tetap beracun dan tidak bisa berubah bentuk menjadi senyawa lain,” tegasnya.
Yang terjadi di Pulau Buru sendiri, khususnya di Kawasan Gunung Botak, menurutnya, semua penambang menggunakan alat tromol, menggunakan dan mercuri.
Kondisi itu telah terjadi sejak akhir tahun 2011. Di tahun 2012 dilakukan penelitian bahkan melalui proses uji laboratorium di Negara Australia, hasilnya diketahui konsentrasi bahan kimia mercuri sudah sampai pada level menghawatirkan.
“Kita sudah publish, kita sudah usulkan namun proses penambangan masih berjalan hingga sekarang, dan sudah 11 tahun dan tidak ada upaya, kecuali adalah penertiban fisik tetapi itu seperti main kucing kucingan layaknya seperti penjual di pasar. Setelah aparat pergi mereka beraktifitas lagi, buka lagi rendaman buka lagi tromol,” sesalnya.
Male pun menegaskan, keadaan ini pun semakin di perparah setelah kewenangan untuk mengeluarkan izin dengan regulasi bahkan logam menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Jika sebelumnya diberlakukan UU otonomi daerah, bupati/walikota masih mengeluarkan izin terkait logam, namun setelah dikeluarkan peraturan menteri ESDM tahun 2009 semua kewenangan di tarik ke pusat sehingga dinas ESDM di Likwidasi.
“Yang terjadi adalah lokusnya ada di Kabupaten, sedangkan Dinas dan anggarannya tidak ada lagi”
Diakui, minimnya anggaran sehingga terkesan adanya pembiaran oleh Pemda setempat, hal ini dilatarbelakangi kewenangan di pemerintah pusat, sehingga menjadi buah simalakama untuk Masayaraka Maluku, terutama aparat keamanan yang anggarannya terbatas untuk menangani pihak yang terlibat. Seperti aktifitas pemasok, penada, pelaku yang jumlahnya belasan ribu.
“Siapa yang bisa menangkap pelaku kriminal yang jumlahnya belasan ribu tersebut. Tentu butuh anggaran sangat besar, karena yang akan ditangkap ini ribuan termasuk tidak ada anggaran untuk membekap, kemudian Dinas ESDM tidak ada lagi di Kabupaten sehingga
terkesan adalah pembiaran,” ucapnya.
Dalam hubungan dengan itu, dikatakan, peredaran mercuri dilarang, muncullah mercuri alamiah di Kawasan Gunung Tembaga, Desa Luhu, Pulau Seram, Kabupaten Seram Bagian Barat, yaitu mercuri yang berasal dari senyawa yang disebut cinabar yaitu sulvida yang diolah menjadi mercuri oksida, kemudian menjadi mercuri murni.
Masuknya mercuri alami inilah, kata Guru Besar Ilmu Kimia Unpatti ini membuat aktifitas penambangan menjadi massif di Pulau Buru tepatnya di Kawasan Gunung Botak. Dia juga mengakui, aktivitas tambang cinabar terbesar itu berada di Pulau Seram.
Keberadaan tambang cinabar di Pulau Seram, menurut Dosen Fakultas MIPA Unpatti ini pun menegaskan tentang catatan sejarah ekplorasi tambang cinabar yang ada di zaman Romawi Kuno yang sudah memasuki usia ribuan tahun dampaknya masih ada hingga sekarang.
Dia juga beberkan soal tambang cinabar yang ditutup di Filipina tahun 1980 yang dampaknya masih ada hingga sekarang.
Untuk dua kawasan tambang yaitu tambang cinabar di Gunung Tembaga, Pulau Seram dan tambang emas di Pulau Buru, meski resmi telah ditutup namun Ia mengatakan aktifitas masih tetap berjalan hingga sekarang. Hingga kini menurutnya belum ada ketegasan atau perencanaan untuk penataan, tetapi yang terjadi adalah tiap hari ratusan hingga ribuan karung berisikan batu cinabar turun dari gunung Luhu dan diolah dalam bentuk kolam.
“Kolam yang terbuka itu pun setelah hujan penuh, ujung-ujungnya meluap dan mengalir ke laut”.
Demikian katanya, pula proses pengolahan emas di Gunung Botak, Sungai Anahoni adalah penyalur limbah ke laut.
Untuk kawasan laut, dia menegaskan akan menjadi sasaran empuk masuknya limbah dari aktifitas penambangan.
Baginya tentu saja biota laut yang paling rentan adalah ikan karang, sementara ikan karang adalah makanan yang sering kali dikomsumsi oleh manusia baik di rumah maupun di restoran.
“Kita ketahui yang paling rentan adalah ikan karang yang menetap dan tidak ke mana mana, sementara kita, baik di restoran dan rumah lebih banyak mengkonsumsi ikan karang,” ucapnya.
Ia mengkhawatirkan jika tidak ada ekosistem mengrove di sekitar pesisir pantai Namlea Buru dan di Piru Seram Barat. Karena baginya, logam berat akan langsung masuk ke bawah lumpur. Namun, kondisi muara sungai di dua lokasi ini memiliki manggrove. Mangrove sendiri memiliki tiga ciri, yaitu kandungan organiknya tinggi, oksigen kurang dan kurang cahaya.
Hal inilah menurutnya mengakibatkan microba anerobic yang tidak menggunakan oksigen dapat merubah senyawa kimia untuk hidup dan senyawa inilah yang menghilangkan zat merkuri.
“Jadi mercuri yang tersimpan di bawa lumpur tidak larut dalam air, dan ikan tidak bisa memakannya karena itu logam berat. Nah karena oleh microba anerobic yang kemudian diubah menjadi senyawa metillasi atau senyawa metil lalu dia larut dalam air, yang dimakan oleh Zoofplanton, Phitoplanton, ikan kecil, lalu selanjutnya proses makan memakan yang dinamakan rantai makanan, dan akhirnya dikomsumsi oleh manusia,” jelasnya.
Diketahui bahwa areal mangrove sendiri adalah tempat aktifitas semua biota termasuk ikan di mulai dari memijah, bertelur, hingga hidup di ekosistem mangrove.
Bahkan, di ekosistem itu pula, merupakan tempat pertemuan hewan yang sudah dimetilasi dan hewan yang berkembang biak. Dan untuk kawasan Teluk Piru, dan Teluk Kayeli sangatlah menghawatirkan karena banyak terdapat anakan mangrove yang menghasilkan senyawa metil.
Dari hasil penelitian 2012, kata Male, kawasan Teluk Kayeli, dalam kurun waktu dalam 6 bulan ditemukan sebanyak 10 persen mercury yang telah mengendap di dalam lumpur dan itu sudah siap dicerna, artinya cepat sekali proses metilasinya.
Ahli Unpatti ini pun khawatir dengan peristiwa yang terjadi di Minamata, Jepang bisa saja terjadi di Pulau Buru. Bahwa pabrik Ciso yang memproduksi plastik poliner dan menggunakan bahan kimia mercury dalam jumlah sedikit seperti bubuk penyedap,namun akumulasinya 20 tahun berdampak bagi ekosisstem termasuk manusia di sana.
“Hinga kini, untuk diperingati dengan adanya Institut Minamata di Jepang”
“Bahwa mercuri itu tetap beracun dan sekarang sudah dilarang karena merusak lingkungan. Tahun 2014 saya kumpulan ikan di Buru dan kawasan pasar dan dibawa ke Australia semuanya sudah terkena 7 kali dari standar,” ungkapnya.
Pada tahun 2018, dijelaskan, setelah ditutup dan tahun 2020 dilakukan penelitian kadar mercuri-nya turun dan itu cukup baik atau dan masuk pada level aman.
Tetapi sejak awal 2020 karena status quonya tidak berubah, ada keinginan dan harapan untuk dilegalkan agar bisa menambang secara resmi, namun itu tidak pernah terjadi. Kondisi tersebut membuat aktivitas tambang tetap berjalan secara liar.
Di situ yang terjadi adalah ancontrol, penambang tidak lagi membawa tromol ke lokasi tambang atau tepi sungai, tetapi tromol itu berada di kawasan hutan, belakang rumah, kawasan persawahan.
“Tidak ada data soal itu. Di Seram juga sepert itu”. Kondisi ini pun menjadi pemicu terjadinya bio akumulasi yaitu akumulasi bahan kimia di dalam tubuh mahkluk hidup seperti ikan, kemudian akan terjadi biomaknefikasi atau adanya pelipatgandaan.
“Contohnya satu ekor ikan Momar akan dimakan satu ikan cakalang, ikan cakalang akan dimakan pemangsanya, dan akan tiba pada predaktor paling atas dalam sistem rantai makanan,” ungkap Malle.
“Kami dari lembaga penelitian sudah ada tindakan surat untuk wakil rakyat kunjungi Minamata, Jepang, namun tidak digubris. Saya mau tegaskan kelebihan dari sains atau ilmu dasar adalah kemamupaun prediktif, kalau ilmu aplikasi sudah kejadian baru dilihat. Tapi kita sudah prediksi sebelumnya,” ucapnya.
Bahkan menurutnya, dalam upaya untuk melihat permasalahan yang terjadi butuh anggaran yang cukup besar, karena dari sisi teknologi Indonesia masih berada jauh di bawah Negara maju.
Dia beberkan sampel yang diperiksa pada tahun 2012 di laboratorium terbaik di Indonesia tidak menemukan sampel metill, namun ketika dibawa ke Australia ditemukan ada 40 zat metil.
“Nah jika demikian bisa dibayangkan tidak jika metil-metil ini sudah ada dalam kurun waktu 11 tahun,” ulasnya. Perlu menjadi catatan, katanya, mercury hidup di dalam sedimen dan kemudian dimetilasi jadi senyawa metil dan hidup di bawah suhu 35 derajat celsius.
Selain itu, awal tahun 2022 saat berada di Pulau Buru, peneliti Unpatti ini mengatakan, kadar mercuri di rambut penduduk sudah cukup tinggi, bahkan sudah masuk ke tubuh manusia. Sementara batas WHO 1 paling rendah 4, sedangkan rata rata itu sudah ada pada level bahkan sudah di atas 10.
“Ini datanya, saya sampaikan, saya bertangungjawab untuk meyampaikan, dan jika tidak ada langkah antisipasi dan mitigasi, belive for not, saya sudah sampaikan. Tahun 2015 di kawasan Buru seluruh kerang sudah tercemar mercuri,” ulas Guru Besar Bidang Kimia ini.
Jika tahun 2005 ada penolakan Ikan Tuna dari Indoensia, maka dipastikan dalam kondisi seperti ini, Male mempertanyakan sikap pemerintah daerah. Selain itu tidak adanya sikap khwatir jika ada penolakan ikan tuna ada Maluku.
“Saat saya berbicara, makan disaat ini juga ribuan orang sedang menambang di gunung botak dan menambang di gunung Tembaga, Desa Luhu. Nah, untuk membuktikan ada tidaknya zat kimia dan dampaknya untuk waktu terkini maka dirinya mengakui tidak bisa menjawab karena ini butuh kepedulian dan dana yang besar, karena untuk membutuhkan itu perlu ada hasil laboratorium dan itu ada di Negara Australia.
“Kita sementara menunggu dalam kegelapan, kita tunggu saja sampai lampu menyala, dan kita akan melihat apa yang terjadi, ini ungkapan jika semua orang lagi tertidur maka tunggulah sampai terbagun maka saya pastikan tidak akan bisa berbuat apa apa lagi.” ujarnya.
Namun demikian, kata Male, saat ini setidaknya butuh crisis center untuk penanganan sedini mungkin, namun karena semua hanya menunggu bukti maka yang terjadi adalah diperhadapkan dengan fenomena gunung es.
Guru besar Fakultas MIPA Unpatti ini mengatakan Ia pun tidak menginginkan bayi yang baru lahir mengalami cacat mental maupun fisik, karena mercuri mempengaruhi otak.
Terakhir Ia bilang di Minamata ditemukan anak-anak yang cacat, dan telah menjadi bukti.
“Kasihan kalau punya anak yang cacat, mau dibuang sayang, mau dipelihara tidak ada gunanya. Jadi jangan anggap remeh. Pemerintah harus melihat hal ini. Silahakan mau dipakai atau tidak pakai, tetapi sebagai ilmuan kami sudah sampaikan,” tutupnya.
Senada dengan itu, Daniel. D.Pelasula, Ahli Ekosistem dari Badan Riset dan Invasi Nasional (BRIN) menerangkan, dari hasil penelitin Malle tentunya bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan riset-riset lanjutan.
Dan jika ada bukti adanya terkontaminasi ekosistem dengan zat mercury maka perlu dilakukan kajian terhadap biota laut khususnya yang ada di kawasan mangrove serta dampak pada rantai makanan, terkahir yaitu pada manusia.
Di Buru, khususnya di kawasan Teluk Kayeli dalam pergerakan air laut, Dia bilang, tentunya dipengaruhi oleh pola arus dan masukanya sedimen dari proses penambangan emas akan terjadi endapan yang bisa juga karena pola arus dimaksud. Berikutnya adalah, pada ekosistem lamun atau sigres, yang merupakan tempat untuk mencari makanan dan bertelur biota laut.
“Jadi kalau mercuri itu dia lolos dari mangrove, dia akan masuk ke lamun. Jika dia lolos dari lamun maka dia akan masuk ke terumbu karang,” tukasnya.
Dari proses yang terjadi, besar kemungkinan akan terjadi mutasi, sehingga perlu ada langkah dilakukan riset, dan ini perlu penanganan serius.
“Budaya kita adalah ada bukti, ada bencana baru bergerak, ini kan sudah terlambat,” ucapnya.
Dia menduga, jika treitman hanya untuk mendapatkan uang, soal yang akan terjadi itu hal berikutnya merupakan hal konyol yang tidak memikirkan masa dapan generasi penerus.
Diterangkan, riwayat biota laut baik di manggrove, lamun dan terumbu karang itu terbatas, karena itu adalah ekositemnya, yang artinya mereka tidak ke mana mana dan jika memang sudah terkontaminasi mercury baik yang berasal dari penangangan di Gunung Botak dan di Gunung Luhu maka sudah pasati akan tiba pada proses rantai makanan dan pasti akan tiba pada manusia.
“Tidak ada pilihan untuk biota, selain menerima dan sumber dari akar masalah ini adalah manusia dengan proses tambang tidak ramah lingkungan, kita jangan melihat uangnya,” tegas Pelasula.
Maluku adalah provinsi kepulauan. Terdiri dari ribuan pulau-pulau kecil, jika tidak diantsipasi pada kawasan daratan maka akan berdampak di laut yang di dalamnya ada eksosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.
Dr. Amos Killay, ahli Biologi Unpatti Ambon menerangkan, jika mercuri sudah ada dalam bentuk metilasi menjadi senyawa metil dan dikonsumsi oleh ikan maka sudah barang tentu akan berdampak pada manusia. Ketika ikan-ikan yang sudah bersarang mercuri itu dikonsumsi manusia.
Jika itu terjadi, Ia mengatakan maka yang dirasakan adalah manusia itu tidak akan sehat karena fungsi proteinnya sudah terganggu. Dia menerangkan fungsi protein yang dimaksudkan adalah enzim, reseptor. Yang diganggu adalah unsur sulvdanya. Jika metil masuk dia akan langsung merusak. Kita sehat karena diatur oleh fungsi protein.
“Jadi kalau rusak maka fungsi tidak jalan, dan itu menggangu proses metabolisme tubuh manusia, dan metabolime alami gangguan maka sudah pasti menggangu kesehatan,” ucapnya.
Dengan demikian Ia menjelaskan di tubuh manusia jika ada mercury maka akan berdampak manusia, bahkan janin dalam kandungan pun tidak luput.
Sementara itu, Dr. Ir. Welem Waileruny, Akademisi Perikanan dan Ilmu Kelaitan Unpatti menerangkan dari aspek ekonomi. Menurutnya jika ikan asal Maluku sudah terkontaminasi dengan mercuri maka dipertanyakan nilai kelayakan ekspornya.
“Ini butuh kajian bersama dan pemerintah tidak bisa menutup mata soal ini”
Ketua DPW Setia Pancasila Maluku ini pun meminta agar pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Maluku bersama Polda Maluku lebih jeli melihat persoalan ini, karena ini akan menjadi masalah serius kedepannya.
Jika hasil penelitian tahun 2012, ia mengatakan, semua jenis ikan di pasar tradisional Namlea tercemar mercuri, maka tidak menutup kemungkinan ikan jenis ikan (pelagis) juga sudah terkontaminasi. Karena sistem rantai makanan dan tentunya puncaknya ada para sang predator berupa ikan Hiu dan sebagainya.
“Nah, jika ini terjadi apakah ikan Tuna juga akan aman? sebelum itu terjadi dan ekonomi sektor perikanan kita hancur-hancuran karena mendapat penolakan dari sektor ekspor, maka marilah kita kerja borong tuntas akan dari masalah ini,” ucapnya.
Dikatakan dosen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan (PSP) Fakultas Perikanan Unpatti ini, terhadap masalah yang akan terjadi nantinya akan butuh pemulihan, dan pemulihan ini butuh intevensi pemerintah, untuk itu dirinya bersama gabungan ahli lainnya butuh dukungan baik dari sisi kebijakan maupun anggaran pemulihan dan riset lanjut.
Disamping itu dirinya juga berharap keseriusan Pemerintah dan aparat kepolisian untuk menutup aktifitas ilegal penambangan baik di Gunung Botak atau pun di Gunung Luhu.
“Perlu kebijakan tegas pemerintah, ketegasan untuk hentikan aktifitas tahun 2018 -2019 pernah ditutup karena ini ilegal. Tetapi kok masih saja ada aktifitas, karena regulasinya ada di pemerintah pusat maka kewenagan itu ada Polda Maluku, ayo tutup saja jangan ada pembiaran, bahkan kepada Gubernur Maluku mestinya melihat masa depan genrasi penerus daerah ini, karena hasil riset tahun 2012 terlihat dengan jelas, sehingga demikian apa lagi dengan kondisi terkini yang secara masif terus dilakukan,” tegas Welem.
Ekspor Tuna Maluku Terhambat?
Menyusul adanya pemberitaan salah satu media lokal di Ambon, yang menyatakan Tuna Asal Maluku “Penuh” Merkuri, Pasar Internasional ramai-ramai Menolak, ditanggapi pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku.
Pemberitaan ini heboh setelah adanya pernyataan resmi dari Prof. Dr. Yusthinus T. Male, S.Si., M.Si saat dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Kimia Anorganik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, di Aula Lantai II Gedung Rektorat Unpatti, Rabu (7/12). Pernyataannya pun viral dan menjadi komsumsi publik masyarakat Maluku.
Prof. Dr. Yusthinus Thobiaa Male, S.Si, M.Si, ahli Kimia Universitas Pattimura Ambon (Unpatti) dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Kimia Anorganik yang berjudul “Penataan Wilayah Pertambangan Rakyat Untuk Meminimalisir Dampak Negatif Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI), Studi Kasus Gunung Botak, Pulau Buru, Provinsi Maluku.
Dalam sambutannya Male mengatakan, pertambangan rakyat telah diakomodasi sebagai aktivitas yang legal dan dinilai dapat menjadi alternatif usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah dan tingkat kesejahteraan masyarakat setempat. Namun demikian, dalam praktiknya, aktivitas pertambangan rakyat justru lebih banyak memberikan dampak negatif pada lingkungan, kehidupan sosial, dan penurunan daya dukung lingkungan.
“Saat ini juga kita masih dihadapkan pada fenomena yang sama dan saling berhubungan, yaitu tingginya permintaan merkuri di Pulau Buru dan ketatnya pengawasan peredaran merkuri oleh aparat pemerintah menyebabkan para penambang mencari sumber merkuri di alam dan mereka menemukannya di Gunung Tembaga, daerah Iha-Luhu, Kabupaten Seram Bagian Barat”
Lanjut dikatakan hal yang patut disadari bersama bahwa pada tahun 2017, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan kebijakan nasional untuk mengurangi penggunaan merkuri sejalan dengan konvensi Minamata, tetapi data menunjukkan bahwa pada tahun 2016, Indonesia menjadi pengekspor merkuri nomor 1 di dunia dengan total 680,44 ton, dan ini sebagian besar berasal dari Gunung Tembaga, Pulau Seram. Spiegel dkk. (2018) menyatakan bahwa setiap tahun, 700 Ton sinabar dikirim dari Pulau Seram ke Pulau Jawa. Jika kemurnian material sinabar 50%, maka setiap tahun Pulau Seram mengekspor 350 Ton merkuri (Hg).
Material dari Gunung Tembaga memiliki kandungan merkuri yang cukup tinggi, dan akan terbawa aliran sungai sampai ke laut dan berpotensi mengkontaminasi ekosistem perairan. Hasil analisis kadar merkuri pada sedimen perairan laut di Pesisir Teluk Piru menunjukkan kadar merkuri yang cukup tinggi. Hal ini tentu saja membutuhkan perhatian lebih lanjut karena ekosistem Teluk Piru mirip dengan ekosistem Teluk Kaiely di Pulau Buru, yaitu kepadatan tumbuhan mangrove yang cukup tinggi sehingga sangat berpotensi untuk terjadinya metabolisme sinabar menjadi metil merkun yang sangat beracun oleh aktifitas mikroba.
Prof. Male mengajak semua masyarakat terkhususnya orang Maluku untuk memikirkan konsekuensi dari keterlambatan penataan Wilayah Usaha Pertambangan di wilayah Maluku.
“Penetapan Pulau Buru sebagai lumbung pangan nasional dan upaya kita untuk menjadikan Maluku sebagai lumbung ikan nasional diperhadapkan dengan masifnya penggunaan merkuri yang setiap saat mengkontaminasi lahan pertanian dan meracuni biota laut.
Hal ini tentu saja akan menjadi bumerang bagi kita, karena banyak negara memperlakukan syarat keamanan pangan yang sangat ketat, khususnya kandungan logam berat. Kita tentu tidak ingin produk ekspor dari Maluku ditolak karena mengandung merkuri yang tinggi,” ucapnya saat sambutan pengukuhan sebagai guru besar dalam Bidang Kimia Anorganik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, di Aula Lantai II Gedung Rektorat Unpatti, Rabu (7/12) lalu.
Prof. Male berharap kepada Pemerintah Daerah Maluku untuk segera menetapkan dan memetakan Wilayah Usaha Pertambangan khususnya Wilayah Pertambangan Rakyat sehingga kelompok-kelompok masyarakat secara sadar dan tertib hukum melakukan praktek-praktek pertambangan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Lalu apa tanggapan Pemprov Maluku?
Dalam keterangan pers kepada sejumlah wartawan, senin (12/12/2022), Plt. Kepala DKP Provinsi Maluku, Dr. Ir. Erawan Asikin menegaskan, hingga saat ini tidak ada penolakan terhadap ekspor produk perikanan Maluku di beberapa negara tujuan seperti, Amerika Serikat, Jepang dan Vietnam yang selama ini menjadi tujuan ekspor perikanan Maluku.
Terkait persoalan ini, pihaknya, kata Erawan, telah berkoordinasi dengan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil (BKIPM), Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, yang berperan penting dalam mencegah masuk tersebarnya hama penyakit ikan, pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan.
“BKIPM telah berkoordinasi hingga ke United States’ Food and Drug Administration (FDA), merupakan lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat yang mengatur regulasi terkait produk yang dipasarkan di negara tersebut.
Dari hasil konfirmasi BKIPM ke FDA, telah disampaikan bahwa dari 2021 hingga 2022 tidak ada penolakan satupun produk perikanan Maluku. Begitu juga dengan negara tujuan ekpsor Jepang. Untuk Eropa belum ada yang diekpsor,” terang Erawan.
Erawan menjelaskan, untuk pengiriman ekspor hasil perikanan dan kelautan, para ekportir termasuk di Maluku harus memiliki sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Syarat yang harus di penuhi diantaranya, hasil perikanan harus melalui pengujian mutu oleh BKIPM.
“Setelah dinyatakan lolos, barulah BKIPM akan mengeluarkan sertifikat Health Certificate (HC) yang artinya layak untuk ekspor,” jelas Erawan.
Kendati demikian, eksportir juga, mempunyai alat uji di masing masing Unit Pengolahan Ikan (UPI) mereka, untuk pengujian mutu ikan.
Disamping itu, mereka (eksportir) juga harus memiliki sertifikasi yang didapat dari customer-customer di luar negeri. Misalnya, MSC certification (Marine Stewardship Council). MSC certification adalah salah satu sertifikasi eco-labelling yang sangat popular di pasar Internasional, terutama di USA dan negera-negara Uni Eropa dan memiliki kriteria penilaian yang sangat kompleks.
Keterangan pers ini juga menghadiri beberapa ekportir yakni, PT. Harta Samudera dan PT Maluku Prima Makmur (MPM) dan mereka mengakui bahwa sejauh ini aktivitas ekspor yang dilakukan sejak tahun 2021 dan 2022 tidak ada penolakan dari negera tujuan ekspor yakni, Amerika, Jepang dan Vietnam.
Penyisiran PETI
Untuk kesekian kalinya aparat Polda Maluku melakukan penyisiran di Kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Penyisiran di lakukan karena adanya laporan aktivitas pertambangan liar yang dilakukan oleh Penambang Emas Tanpa Izin (PETI).
Selain itu, perintah Kapolda Maluku karena adanya penggunaan bahan kimia berbahaya dari aktivitas PETI. Penggunaan bahan kimia akan merusak lingkungan dan sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat.
Dari rilis yang diterima media ini dari Humas Polda Maluku, bahwa penyisiran terjadi disaat para penambang tengah asik melakukan penambangan secara illegal di Kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku. LL (42) dan M (48) diringkus Tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku.
Kedua ditangkap saat PETI melakukan kegiatan terlarang di dalam kawasan eks PT Sinergi Sahabat Setia (SSS) yang berada di jalur H, Desa Wamsait, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru.
Kedua orang tersebut merupakan Penambang Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Buru yang telah lama menjadi incaran aparat kepolisian.
LL dan M telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pertambangan dan mineral. Keduanya kini sudah diamankan di rumah tahanan Polda Maluku di Kota Ambon.
Kasubdit IV/Tipidter Ditreskrimsus Polda Maluku, Kompol Andi Zulkifi, mengatakan, motif yang dilakukan kedua tersangka adalah untuk mencari keuntungan dan memperkaya diri.
Tersangka LL melakukan aktifitas pengolahan material mineral logam emas dengan metode bak rendaman di lokasi bekas perusahaan SSS tersebut. Dalam melaksanakan aktivitasnya, LL mengambil material logam emas dari stok file bekas pada PT. Prima Indo Persada (PIP). Material emas diambil atas seijin M. Material yang diangkut sebanyak 3500 karung.
“Material diangkut dengan cara dompeng atau disedot menggunakan mesin pompa, selanjutnya saudara M juga sebagai penjamin keamanan dan bertanggung jawab atas kegiatan tersebut,” kata Zulkifi kepada wartawan di Ambon, Rabu (30/11/2022).
Kegiatan PETI yang dilakukan dua tersangka terungkap saat tim penyidik mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada Kamis (10/11/2022) sekira pukul 14.30 WIT.
Dari hasil pengecekan, tim menemukan dari tersangka LL sejumlah barang yang diduga untuk melakukan kegiatan pertambangan emas. Barang-barang bukti tersebut telah dilakukan penyitaan.
“Barang-barang yang telah disita yaitu bahan–bahan berbahaya berupa 1 bak rendaman yang berisikan material pasir mengandung emas kurang lebih 3.500 karung dengan luas bak rendaman 10×15 meter di bekas perusahaan PT SSS. Tim menemukan Cianida (cn) kurang lebih 25 kg yang dikemas dalam karung warna hijau. 50 karung kapur yang dikemas dalam karung semen conch.
Dua unit mesin pompa (alkon) merk matari dan tsurumi. 1unit mesin jiandong. Satu unit mesin kato, dan sejumlah barang bukti lainnya,” jelasnya.
Dari hasil temuan, tim kemudian melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Keterangan kedua tersangka juga mengakui mereka telah melakukan aktifitas atau usaha pertambangan emas tanpa izin. Usaha terlarang yang dilakukan keduanya sudah berlangsung sejak bulan Oktober 2022 sampai saat ini.
“Penyidik juga telah berkoordinasi dengan ahli dari dinas ESDM provinsi Maluku, dan ahli menyatakan bahwa segala kegiatan yang dilakukan oleh kedua tersangka merupakan perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 158 juncto pasal 161 undang-undang RI nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-undang RI nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara sebagaimana diubah dalam Undang-undang RI nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja dengan ancaman hukuman pidana paling lama 5 tahun dengan denda paling banyak Rp 100.000.000.000 (seratus milyar rupiah), Juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana,” ungkapnya.
Zulkifi mengungkapkan, hingga saat ini tim penyidik Subdit IV Ditreskrimsus Polda Maluku masih terus melakukan penyidikan.
“Dalam perkara ini apabila ada ditemukan tersangka lain yang terlibat secara bersama – sama akan dilakukan tindakan hukum yang sama,” pungkasnya.
Di tempat yang sama, Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol M. Rum Ohoirat mengaku, Kapolda Maluku sangat memberikan perhatian serius terhadap persoalan PETI.
“Komitmen kami Polda Maluku sebagaimana yang diperintahkan oleh Bapak Kapolda Maluku terkait dengan Gunung Botak itu tidak boleh lagi ada aktivitas apapun di sana,” ungkap Rum.
Kapolda, kata Rum, juga telah memerintahkan Kapolres Pulau Buru maupun dari Ditreskrimsus Polda Maluku untuk setiap saat melakukan pengawasan dan penyelidikan.
“Apabila ditemukan ada upaya yang dilakukan untuk penambangan tanpa izin lagi sudah barang tentu kami akan melakukan penangkapan. Salah satunya yang saat ini kami gelar. Selain ini sudah banyak yang kami tangkap sebelumnya lagi baik dari Polres, Polsek, maupun Krimsus,” katanya.
Menurut Kapolda, tambah juru bicara Polda Maluku ini, pertambangan emas illegal sangat berbahaya terhadap pencemaran lingkungan.
“Bapak Kapolda sangat merasa khawatir dengan penggunaan bahan kimia berbahaya dari aktivitas PETI. Penggunaan bahan kimia akan merusak lingkungan dan sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat di sana,” katanya.
Olehnya itu, Rum mengaku Kapolda telah memerintahkan jajaran untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada para PETI yang masih melakukan aktivitas ilegal.
“Bukan saja kepada PETI, Kapolda juga memerintahkan untuk memberi hukuman yang berat kepada penyandang dana maupun pelaku lapangannya, karena perbuatan mereka sudah merusak lingkungan dan kesehatan,” katanya.
(TIM)
Discussion about this post