titastory.id,- Belakangan hukum dan keadilan seperti bertolak belakang. Hukum negara seperti berjumawa meninggalkan keadilan, terutama pada kelompok kelompok kecil, lihat saja kerasnya hukum pada ekspresi politik dari para simpatisan Republik Maluku Selatan (RMS) yang selalu ditangkap dan diadili dengan delik makar, yang sebenaranya sangat jauh dari substansi makar itu sendiri.
Lantas bagaimana dengan sikap negara melalui hukumnya terhadap para aktivis maupun simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Tentu kita semua tidak lupa dengan apa yang terjadi pada 4 desember 2018 yang lalu, saat perayaan HUT GAM ke 42, dimana hampir di setiap kabupaten kota di lakukan upacara serta pengibaran bendera bulan bintang, bahkan turut dihadiri unsur pemerintah melalui para kepala daerah maupun para legislatif, namun dibiarkan oleh Negara.
Bendera bulan bintang beserta lambang tersebut telah disahkan DPRD dalam Perda Nomor 13 tahun 2013. Namun ini dibiarkan, tanpa ada sedikitpun sentuhan hukum dengan delik Makar seperti yang sering ditunjukan pemerintah terhadap rakyat di Maluku melalui ekspersi politik dari Republik Maluku Selatan.
Sebenarnya para penguasa negeri ini Secara tidak sadar, bahwa dengan adanya proses pembiaran di aceh yang bisa juga dikenakan pasal seperti yang di sangkakan terhadap para aktivis RMS, maka sebenarnya ini menjadi sebuah catatan penting, bahwa sangat nyata telah terjadi diskriminatif hukum terhadap warga negara, dalam hal ini para aktivis dan simpatisan Republik Maluku Selatan (RMS) dan kalau ini di kategorikan Makar, maka pemerintah mempunyai andil besar atas gerakan Makar yang terjadi di aceh.
Sepertinya 25 april merupakan momok yang menakutkan bagi NKRI!
Apa sebenarnya yang terjadi dengan 25 april ini, setahu saya 25 april adalah tanggal bersejarah bangsa Maluku, tentu ini menjadi sebuah catatan kritis semua, ada apa dengan 25 april, sehingga menjadi moment yang menakutkan bagi bangsa ini, sehingga ratusan prajurit diturunkan hanya demi pengamanan hari tersebut.
Seperti yang terjadi hari ini 25 april 2020, sehari sebelumnya kami sudah dapat informasi bahwa sudah ada himbauan himbauan untuk menaikan bendera merah putih.
Terdengar sangat lucu bagi saya, apakah tanda sebuah kesetiaan terhadap NKRI dibuktikan hanya dengan pengibaran bendera merah putih? Hati-hati sebab himbauan ini bisa diinterpretasikan merah putih bersama RMS, seharusnya himbauan-himbauan seperti ini diikuti dengan langkah preventif untuk mau mendengar apa yang di sampaikan para aktivis dan simpatisan RMS, bukan malah dengan penerapan langkah represif dengan melakukan penangkapan terhadap para simpatisan yang melakukan ekspresi politik mereka.
Dan perlu kita simak bersama, begitu jauh beda, perlakuan negara terhadap RMS di bandingkan dengan GAM.
Kejadian yang kesekian kalinya menimpa para simpatisan RMS, Terakhir 5 orang aktivis simpatisan RMS ditangkap di daerah Maluku Tengah, ini bisa dikatakan jumawa dan sikap tendensius hukum yang di terapakan negara terhadap rakyat maluku.
Dan hari ini berdasarkan informasi yang kami dapat, telah terjadi penagkapan 13 aktivis RMS oleh aparat keamanan di beberapa wilayah di Maluku.
- Simon Viktor Taihuttu
- Abner Litamahuputty,
- Janes Pattiasina
(Polda Maluku)
- Alexander Ilelapotoa
- Klivor Latumutuany
- Oktovianus Latumutuany
- Orlando Latumutuany
- Satandly Latumutuany
(Polres Tehoru)
- Dominggus Saiya
(Polsek Latuhalat)
- Derek Taihuttu
- Kostantinus Siahaya
- Elsama Sinay
- Muhammad Sangaji
(Polsek Pelau, Pulau Haruku)
Kejadian-kejadian ini, sangat di harapkan, aparat penegak hukum Jangan hanya menegakan hukum yang subjektif kebenarannya, tanpa melihat causalitasnya.
Diskriminasi penerapan hukum terlalu nampak diterapkan oleh negara, dan ini harus disikapi dengan bijak oleh aparat penegak hukum, tanpa mengesampingkan persoalan kemanusiaan, dimana berdasarkan data yang kita miliki, para simpatisan RMS yang ditangkap pada 29 juni 2019 kemarin ada yang sudah berumur 50 bahkan 80 tahun.
Apakah ada sisi kemanusiaan yang ditunjukan oleh negara, seperti yang sedang diupayakan oleh Menkumham, guna membebaskan napi koruptor yang berumur 60 tahun keatas? tidak sama sekali dipikirkan hal seperti ini, apakah mereka yang diklaim separatis selama ini bukanlah manusia ?
Berangkat dari kasus-kasus yang terjadi saya menilai perlu adanya, koreksi terhadap realitas proses hukum yang begitu sangat tajam dan mudah menetapkan deliknya. Boleh jadi hanya disikapi sebatas respons dan simpatik.
Sebenarnya sudah tak henti-hentinya digelorakan agar wajah penegakan hukum tidak seharusnya melukai rasa keadilan masyarakat (keadilan substantif), serta persoalan kemanusiaan.
Namun realitas hari ini sungguh lain, banyak elite kekuasaan dan petinggi penegak hukum bersikap defensif, tidak berani berpihak pada rakyat dengan asas keadilan itu sendiri. Seolah-olah rakyat kecil hanyalah sekedar objek penegakan hukum.
Penerapan Hukum seharusnya tidak selalu digunakan untuk memproses rakyat kecil yang melakukan kriminal kecil dengan berbalut menuntut adanya sebuah keadilan negara.namun jika terjadi pada kalangan elite, justru akan dimandulkan dengan berbagai penafsiran serta argumentasi.
Perlu saya sampaikan bahwa Realitas yang terjadi di Maluku terkait penangkapan para simpatisan RMS hari ini, menunjukkan penerapan hukum di tanah air ini ada diskriminasi dan cenderung “tajam ke bawah, tumpul ke atas”.
Penyampaian pendapat maupun luapan ekspresi politik di depan umum di jamin konstitusi,selama tidak mengganggu ketertiban umum.
Tuduhan makar yang dialamatkan pada para simpatisan RMS, rasanya perlu ditinjau lagi, jika melihat dari substansi dari pengertian makar itu sendiri, muncul pertanyaan, apakah dengan selembar kain yang dikondisikan sebagai sebuah bendera mampu menggulingkan pemerintahan? mampukah selembar kain itu mengambil alih sebagian wilayah Negara ?
Apakah pemerintah sadar, penyebab terjadinya gerakan gerakan seperti itu, yang menurut saya itu hanyalah bagian dari ekspresi politik dimana rakyat merasa tidak adanya sebuah keadilan yang merata dari negara.dan itu adalah sebuah realita yang sulit terbantahakan kondisi maluku selama ini.
Perlu saya ingatkan, bahwa ketidakadilan adalah sumber dari perpecahan, dan merupakan akar dari disintegrasi bangsa, ini yang harus disadari negara dalam hal ini pemerintah.sehingga tidak selalu mengambil langkah represif dalam menyelesaikan persoalan persoalan seperti yang terjadi di maluku hari ini.
Seharusnya pemerintah mau membuka diri, dengan memberikan ruang melalui komunikasi politik yang manusiawi bagi mereka semua,sebab menurut kami,ini merupakan akumulasi perlakuan tidak adilnya sebuah negara terhadap satu daerah.
Untuk itu atas kejadian penagkapan akitivis atau simpatisan RMS di Maluku, beberapa waktu lalu dan 13 orang hari ini, kami meminta dan mendesak pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo serta Kapolri jenderal Idham Aziz, untuk bisa melihat persoalan ini sebagai persoalan bersama yang terindikasi ada dikarenakan sikap dan perlakuan pemerintah sendiri.
Sebaiknya saat ini negara focus untuk menangani persoalan virus covid-19 yang mampu melenyapkan ribuan bahkan jutaan nyawa rakyat indonesia, serta focus untuk bagaimana tempat tempat ibadah bisa difungsikan kembali, ketimbang melakukan langkah langkah represif terhadap ekspresi politik aktivis maupun simpatisan RMS yang tidak berpotensi memakan korban.
Segera bebaskan mereka, pikirkan aspek kemanusiaan seperti yang sedang pemerintah pikirkan bagi para bandit bandit koruptor dan hilangkan stigma bahwa mereka pelaku makar,mereka hanya adalah warga negara yang menuntut sebuah keadilan dengan beragam ekspresi atas pribadi mereka dan bangsanya (rakyat Maluku).
Jika ini yang selalu terjadi di Maluku, maka yang saya takutkan, akan tiba fase dimana munculnya sebuah gerakan besar atas nama keadilan untuk Maluku. Dan saat itu terjadi maka yang harus bertanggung jawab adalah negara.
Penulis Adalah Koordinator Paparisa Perjuangan Maluku95 Jakarta (PPM95Djakarta)
Discussion about this post