titastory, Ternate – Di saat deretan mahasiswa magang digadang-gadang memasuki kawasan industri nikel terbesar di Indonesia, puluhan warga adat Wayamli justru dijemput paksa dan dijebloskan ke sel tahanan.
Ironi itu terjadi saat tiga perguruan tinggi ternama di Maluku Utara—Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), dan Poltekkes Kemenkes Ternate—resmi menandatangani nota kesepahaman dengan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) pada 24 April 2025 lalu.
Penandatanganan kerja sama yang berlangsung mewah di kantor pusat PT IWIP itu disebut sebagai langkah strategis menciptakan SDM unggul dan berdaya saing global. Namun di sisi lain, masyarakat adat, petani, nelayan, dan aktivis lingkungan di lingkar tambang justru menghadapi tekanan, kriminalisasi, dan kehilanganruang hidup.

Kemitraan Kampus dan Korporasi: Masa Depan Cerah atau Bahaya Senyap?
Kerja sama ini, menurut General Manager HRD IWIP, Roslina Sangaji, adalah bentuk kontribusi IWIP bagi masa depan Maluku Utara. Ia menyebut IWIP sebagai “kesempatan emas” untuk generasi muda mengasah keterampilan, terutama di bidang teknik dan kesehatan.
“Kami ingin perusahaan ini membawa manfaat jangka panjang. Untuk itu, kami butuh dukungan dari kampus,” ujarnya.
Dari sisi akademisi, Direktur Poltekkes Ternate, Ridwan Yamko dilansir dari laman berita RRI Ternate menilai kerja sama ini akan membuka peluang magang bagi mahasiswa jurusan Kesehatan Lingkungan, Gizi, TLM, hingga Kebidanan. Sementara dua kampus teknik lainnya akan mendorong transfer teknologi dan praktik langsung industri.
Namun, tak satu pun dari pernyataan itu menyentuh soal krisis lingkungan dan sosial yang kian mengemuka di sekitar wilayah operasional PT IWIP. Padahal, laporan masyarakat, media, hingga investigasi sejumlah organisasi lingkungan menunjukkan bahwa proyek hilirisasi nikel ini telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, krisis air bersih, pencemaran udara, hingga konflik agraria yang tak berujung.

Kriminalisasi Warga, Hilangnya Ruang Hidup
Sayangnya, pada hari-hari yang nyaris bersamaan dengan penandatanganan MoU, 27 warga Desa Wayamli, Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur, justru ditangkap oleh aparat. Mereka sebelumnya melakukan aksi blokade jalan sebagai bentuk protes terhadap aktivitas PT Position, anak perusahaan yang disebut terafiliasi dengan rantai pasok tambang kawasan industri.
Dari 27 warga yang diamankan, 11 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara. Tuduhannya: mengganggu aktivitas industri. Padahal, warga hanya mempertahankan ruang hidup mereka yang semakin terdesak oleh perluasan tambang.
“Kami hanya mempertahankan hutan dan tanah kami, karena itu satu-satunya yang kami punya,” ujar seorang warga Wayamli yang meminta namanya disamarkan.

Selain itu, kejadian serupa juga terjadi di lingkar kawasan PT IWIP di Halmahera Tengah, seperti di Lelilef, Gemaf, dan Weda Tengah, di mana warga kerap mengalami intimidasi ketika memprotes limbah tambang yang mencemari sungai dan pesisir.

Hening Kampus di Tengah Krisis
Belum ada sikap kritis dari kampus-kampus yang menjalin kemitraan ini atas kondisi sosial-ekologis di kawasan tambang. Tak ada ruang diskusi, kajian lingkungan, atau bahkan solidaritas terhadap masyarakat terdampak.
“Di saat mahasiswa diminta belajar soal K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di lokasi industri, masyarakat sekitar justru kehilangan akses terhadap air bersih dan udara segar,” ujar Rifal, aktivis lingkungan di Halmahera.

Hal ini memunculkan pertanyaan etis tentang posisi perguruan tinggi: apakah mereka sekadar menjadi penyedia tenaga kerja murah untuk industri, atau mestinya menjadi institusi kritis yang berpihak pada keberlanjutan hidup rakyat?

Kampus Harus Kembali ke Nurani
Situasi ini memperlihatkan betapa kemitraan antara perguruan tinggi dan industri tambang, jika tidak disertai prinsip keberlanjutan, akuntabilitas, dan keberpihakan pada warga lokal, bisa menjelma menjadi kolaborasi senyap dalam proyek ekstraksi besar-besaran.
“Pendidikan tinggi mestinya menjadi benteng terakhir nalar kritis. Tapi sekarang, seolah kampus kehilangan keberanian untuk berpihak,” tegas Rifal.
Penulis: Sahdan Fabanyo