titastory, Jakarta– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 pada Senin, 26 Mei. RUPTL terbaru ini mencantumkan rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 42,6 gigawatt (GW) atau setara 61 persen dari total kapasitas tambahan. Selain itu, terdapat juga target 10,3 GW (15 persen) penyimpanan daya berupa PLTA terpompa dan baterai.
Meski demikian, pembangkit berbasis energi fosil masih mendapat porsi signifikan. RUPTL mencatat rencana pembangunan 10,3 GW dari gas dan 6,2 GW dari PLTU batu bara. Termasuk pula untuk pertama kalinya, 0,5 GW dari energi nuklir masuk dalam daftar rencana pembangunan.
IESR: Target Ambisius, Tapi Masih di Bawah Komitmen JETP
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik meningkatnya porsi EBT dalam RUPTL terbaru. Namun, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengingatkan bahwa target 42,6 GW masih lebih rendah dari komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan 56 GW kapasitas EBT pada 2030.
“Target ini belum cukup untuk menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1,5 derajat Celsius sesuai Paris Agreement. Selain itu, kapasitas eksekusi PLN masih menjadi hambatan utama,” ujar Fabby kepada Tempo, Selasa, 27 Mei 2025.
Fabby menyoroti realisasi proyek pembangkit dalam RUPTL sebelumnya yang rendah. Sampai semester pertama 2025, hanya 1,6 GW dari target 10 GW yang berhasil beroperasi secara komersial (COD).
“Lelang proyek EBT skala besar yang lambat dan alotnya negosiasi power purchase agreement (PPA) menjadi faktor penghambat. Jika tidak segera dibenahi, Indonesia berisiko menghadapi krisis listrik dalam beberapa tahun ke depan,” katanya.

Peringatan atas Masih Besarnya Porsi Fosil dan Nuklir
IESR juga mengkritik masih masuknya 2,8 GW PLTU batu bara dalam RUPTL yang tetap akan beroperasi setelah 2030. Padahal, Perpres 112/2022 menargetkan seluruh PLTU berhenti beroperasi maksimal pada 2050.
Sementara itu, rencana pengembangan PLTN dinilai prematur karena belum ada keputusan resmi presiden, kerangka regulasi yang minim, dan penerimaan publik yang rendah. Ketergantungan pada gas sebesar 10,3 GW juga disebut Fabby sebagai ancaman terhadap ketahanan energi.
“Pasokan gas PLN saat ini saja sudah bermasalah. Jika kebutuhan meningkat dua hingga tiga kali lipat, maka risiko kegagalan pemenuhan akan semakin besar,” jelas Fabby.
Menurutnya, pengembangan EBT yang lebih masif justru merupakan pilihan strategis karena lebih murah, lebih andal, dan tidak rentan terhadap gejolak pasar energi global.
Potensi Investasi Swasta dan Peran PBJT
Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menyebut pengembangan EBT lewat RUPTL 2025–2034 membutuhkan investasi besar, yang sebagian ditopang oleh produsen listrik swasta (Independent Power Producers/IPP) hingga Rp1.341,8 triliun.
Berdasarkan kajian IESR, terdapat potensi 333 GW energi terbarukan yang layak secara finansial. Sekitar 60 persen dari potensi tersebut memiliki nilai pengembalian (EIRR) di atas 10 persen.

“Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) bisa menjadi solusi percepatan. Selain memberi tambahan pendapatan bagi PLN, PBJT bisa mempercepat pembangunan infrastruktur EBT,” jelas Deon.
IESR bersama RE100 dan IEEFA telah menyusun rekomendasi kebijakan PBJT sebagai referensi pemerintah untuk mendukung transisi energi yang lebih cepat dan inklusif, tanpa mengorbankan peran strategis PLN.