titastory, Jakarta– Popularitas rokok elektronik di Indonesia terus meningkat, terutama di kalangan orang muda dengan angka prevalensi yang melonjak tajam dalam satu dekade terakhir.
Produk yang awalnya dipasarkan sebagai alternatif “lebih aman” kini menunjukkan risiko kesehatan serius. Di saat Vietnam bersiap melarang peredaran rokok elektronik secara total pada 2025, Indonesia justru menghadapi ancaman yang lebih rumit, yaitu keterlibatan sejumlah ‘oknum’ akademisi dan lembaga riset dalam memperkuat narasi yang menyesatkan dari industri.
Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) mengungkapkan bahwa klaim narasi “rokok elektronik 95 persen lebih aman yang kerap digunakan sebagai alat promosi ternyata tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.
Klaim ini berasal dari artikel yang ditulis oleh David Nutt dkk. di Jurnal European Addiction Research dengan menggunakan metode Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA) terhadap 12 produk tembakau dengan 14 kriteria bahaya menurut penilaian peneliti, dan bukan hasil uji komposisi produk di laboratorium.
Faktanya, ternyata panel ahli yang terlibat pun memiliki konflik kepentingan dengan industri rokok,” tegas Ketua RUKKI, Mouhamad Bigwanto dalam pertemuan terbatas akademisi dan peneliti terkait pencegahan klaim tidak akurat tentang Rokok Elektronik, Rabu (18/12).
Alasan mengenai klaim menyesatkan tentang rokok elektronik lebih aman ini juga sudah dibahas oleh beberapa jurnal ilmiah terkemuka, salah satunya adalah The Lancet.
Indonesia sebenarnya telah mengambil langkah awal dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang melarang promosi rokok elektronik melalui diskon, hadiah, atau media sosial.
Namun, peraturan ini belum mencakup aspek krusial lain, yaitu pengawasan terhadap upaya industri untuk memanfaatkan lembaga akademik dan riset dalam menyebarkan narasi menyesatkan. Industri rokok menggunakan berbagai cara untuk menghindari regulasi yang ada, termasuk membangun hubungan strategis dengan akademisi dan peneliti.
“Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat citra mereka, tetapi juga memberikan legitimasi palsu pada produk yang seharusnya diawasi lebih ketat,” jelas Bigwanto.
Salah satu contoh yang menonjol adalah kolaborasi beberapa peneliti dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) dengan Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHar), lembaga ini mendapatkan dana dari Philip Morris International lewat lembaga internasional bernama Foundation for a Smoke-Free World (FSFW) yang sekarang berubah nama menjadi Global Action to End Smoking.
“Kasus lain yang mencuat adalah keterlibatan ASN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang juga menjabat ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO) dalam forum publik mendukung narasi 95 persen lebih aman yang menyesatkan,” tegasnya.
Menurutnya, ketika universitas atau lembaga riset memanfaatkan dana dari industri rokok untuk mendukung promosi produk, integritas ilmu pengetahuan tergadaikan. Hal ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga menempatkan masyarakat dalam risiko besar.
Narasi lebih aman yang digencarkan industri membawa dampak serius. Studi menunjukkan bahwa pengguna rokok elektronik mengalami kerusakan alveoli paru-paru yang serupa dengan perokok konvensional. Kadar nikotin dalam darah mereka pun setara dengan konsumsi lima batang rokok per hari menandakan kecanduan yang tetap tinggi.
Bigwanto menggarisbawahi bahwa tanpa pengendalian yang tegas, narasi palsu yang disebarkan industri rokok elektronik akan terus memperluas jangkauan penggunaannya yang saat ini sudah merambah usia anak dan remaja.
Dampaknya tidak hanya akan terlihat pada semakin tingginya prevalensi pengguna rokok elektronik, tetapi juga pada lonjakan penyakit terkait perilaku merokok yang membebani sistem kesehatan nasional.
“Biaya pengobatan yang meningkat drastis akibat penyakit ini akan menjadi bom waktu yang semakin sulit diatasi,” ungkapnya.
Perlu Adanya Regulasi
Pemerintah perlu memperkuat regulasi dengan melarang semua bentuk kerja sama antara industri rokok dan lembaga akademik. Regulasi juga perlu diperluas untuk mencakup integrasi rokok elektronik dalam aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan memperketat pengawasan promosi yang menyasar orang muda melalui media sosial.
Selain itu, edukasi publik harus ditingkatkan, dengan menyampaikan hasil penelitian independen menggunakan media populer yang mudah dipahami masyarakat. RUKKI juga menyerukan pembentukan koalisi peneliti dan akademisi berintegritas yang bersedia menolak pendanaan dari industri rokok dan mendorong universitas untuk menerapkan kebijakan internal yang lebih tegas.
Modul pendidikan mengenai bahaya rokok elektronik perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah untuk menciptakan kesadaran sejak dini. Di tingkat internasional, Indonesia dapat belajar dari langkah progresif negara seperti Vietnam untuk menunjukkan komitmen nyata dalam melindungi kesehatan masyarakat.
Vietnam telah mengambil langkah progresif dengan merencanakan pelarangan total rokok elektronik, menunjukkan komitmen mereka untuk melindungi generasi mendatang.
“Indonesia seharusnya berani mengambil sikap serupa dan menempatkan kesehatan masyarakat sebagai prioritas tertinggi. Ini bukan hanya tentang kebijakan, tetapi tentang masa depan bangsa,” ucap Bigwanto menutup pembicaraan. (TS-01)
Discussion about this post