Ritus Anapoha Kaitahua, Cara Masyarakat Adat Negeri Hatumete Jaga Tanah dan Hutan Adat: Tuntut Keadilan Dari Negara

17/03/2025
Masyarakat Adat Negeri Hatumete yang berada di Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) Maluku, yang telah menggelar ritual sasi tanah adat, atau yang dikenal dengan sebutan Anapoha Kaitahua, pada Senin (17/2) lalu. Foto : titastory.id

titastory,Maluku Tengah – Ritual sasi adat masih erat melekat dalam tradisi dan budaya masyarakat adat di sejumlah pulau di Maluku dan Maluku Utara. Biasanya sasi adat dilakukan untuk mengelola sumber daya alam baik di darat maupun di laut. Dalam praktiknya, sasi adat mampu membuat masyarakat adat memanfaatkan sumber daya alam secara optimal, namun tetap hidup selaras dengan alam.

Seperti yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Negeri Hatumete yang berada di Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) Maluku, yang telah menggelar ritual sasi tanah adat, atau yang dikenal dengan sebutan Anapoha Kaitahua, pada Senin (17/2) lalu.

Penanaman Suang di Halaman Balai Negeri Hatumete Oleh Raja, Bernard Lilihata bersama Saniri Negeri dan Tetua Adat (foto :titastory.id)

Ritual sasi tanah adat ini adalah sebagai bentuk perlindungan terhadap tanah ulayat, dalam menghadapi kebijakan pemasangan patok pengalihan kebun dan hutan adat masyarakat adat setempat menjadi Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK), oleh Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH).

Saat ini bersama sembilan negeri adat lainnya di Kecamatan Tehoru, Negeri Hatumete berjuang menolak pemasangan patok HPK, dan mendesak DPRD untuk secepatnya mengesahkan Perda adat untuk melindungi masyarakat adat.

Sasi Tanah Adat Menjelang Fajar

Saat fajar pagi merekah, puluhan tetua adat, tuan tanah dan staf Saniri negeri, dipimpin Raja Hatumete, Bernard Lilihata bertelanjang kaki memasuki kantor Negeri Hatumete untuk memulai ritual sasi tanah adat.

Mereka mengenakan pakaian adat berwarna merah berikat kepala kain berang, symbol keberanian dan kebanggaan suku Upao yang turun dari gunung Manusela dan negeri tua Maraina di kaki Gunung Murkele, sebagai pusat peradaban Nusa Ina (Pulau Ibu).

Raja, Tetua Adat dan Saniri Negeri, Makan Sirih Pinang dalam ritual sasi tanah adat (foto : titastory.id)

Raja dan Kapitan menggunakan baju adat yang agak berbeda dari yang lainnya, bertelanjang dada berhiaskan untaian manik-manik dan kerang. Dikedua lengan terikat bulu burung kasuari, sedangkan mahkota bulu burung kakatua putih berjambul jingga yang biasa disebut Lakahora terpasang diatas kepala. Pakaian adat ini memancarkan kewibawaan dan keagungan seorang raja dan Kapitan dari Pulau Seram.

Berbeda dari biasanya, suasana negeri Hatumete tampak hening tanpa suara keributan yang biasanya terdengar disaat warga mulai beraktifitas. Sesekali hanya terdengar suara kendaraan yang melintas di ruas jalan utama.

Didepan rumah, beberapa orang tua duduk berbicara sambil berbisik-bisik, menantikan ritual adat yang sebentar lagi akan berlangsung.

Ritual sasi adat menggunakan batang pohon (suang). Suang ditebang dihutan sehari sebelumnya menggunakan ritual Pakasala. Ritual Pakasala adalah penebangan pohon yang sebelumnya diawali dengan minta ijin, karena pohon juga memiliki kehidupan, dan manusia hidup berdampingan dan bersahabat dengan alam.

Penanaman Suang di Halaman Balai Negeri Hatumete Oleh Raja, Bernard Lilihata bersama Saniri Negeri dan Tetua Adat (foto :titastory.id)

Ritual ini dihadiri oleh keterwakilan marga yang ada di Negeri Hatumete. Batang pohon kemudian dipikul dengan arak-arakan saat matahari masuk, dan di bawa ke rumah tetua adat. Setelah dibungkus dengan kain berang, suang dibawa ke balai sebagai pusat negeri Hatumete, menunggu besok pelaksanaan ritual.

Sasi tanah adat diawali dengan semua tetua adat duduk bersila diatas tikar melingkari suang (batang pohon) yang diikat kain berang dan dedaunan.
Piring berisi sirih pinang diedarkan oleh para tetua untuk dimakan bersama-sama. Raja Hatumete dan beberapa tetua adat terlihat berbicara diantara mereka menggunakan bahasa adat. Setelah berdoa dan menyampaikan sumpah adat, suang kemudian dipikul oleh beberapa tetua adat dengan formasi berada ditengah, diapit oleh barisan Saniri negeri dikedua sisi kiri dan kanan. Ritual adat berlangsung khidmat dan sacral.

Berada didepan, Raja Hatumete dan tuan tanah, Demianus Lilihata memegang piring berisi sirih, pinang dan kapur.
Ritual berlanjut dengan berjalan kaki mengusung Suang menyusuri jalanan mengelilingi negeri Hatumete. Di beberapa titik, rombongan berhenti dan terlihat raja menyampaikan beberapa petuah, sebelum tiba kembali di kantor negeri untuk menanam suang.

Kain Berang Simbol Jaga Tanah Adat

Raja Negeri Hatumete, Bernard Lilihata yang juga adalah ketua Latupati Kecamatan Tehoru menuturkan, ritual sasi tanah adat dengan penanaman suang, akan di wariskan kepada anak cucu untuk meneruskan tugas menjaga dan melindungi tanah adat.
Itu berarti sasi tanah adat harus dihormati sebagai bentuk larangan bagi mereka yang berniat mengganggu hak-hak masyarakat adat.

“Suang yang ditanam akan menjadi warisan bagi anak cucu untuk meneruskan tugas menjaga tanah adat. Jaga dari orang-orang asing yang masuk dan datang tanpa permisi, sekaligus jaga dari orang-orang yang mau merusak hutan dan tidak menghormati tatanan adat.,”ungkapnya.

Lilihata mengisahkan, kain berang yang dipakai dalam keseharian aktifitas masyarakat adat, awalnya terbuat dari kulit kayu yang digunakan sebagai cawat.

Kulit kayu berubah warna menjadi merah, setelah dicelupkan kedalam darah oleh para leluhur. Darah tersebut adalah milik orang-orang yang dibunuh karena masuk secara sembarangan ke petuanan tanah adat.

“Jadi jaga tanah adat ini sudah dilakukan sejak turun temurun oleh para leluhur, yang kemudian pesannya diteruskan kepada kami melalui symbol kain berang. Jadi anak adat yang pake kain berang, wajib hukumnya untuk jaga tanah adat,”tegasnya.

Selain kain berang, masyarakat adat Seram Selatan juga menggunakan kain hitam dan putih dalam ritual adat.
Kain putih melambangkan keluhuran hidup dari masyarakat adat, yang hidup selaras dengan alam. Sedangkan kain hitam, sebagai symbol perjuangan orang tatua dan para leluhur yang telah bekerja serta berjuang keras untuk mempertahankan hidup.

“Ada ancaman sanksi yang tersirat, bahwa mereka yang memiliki niat buruk dan mau mengganggu tatanan adat dan peradaban di Seram Selatan sebagai pusat Nusa Ina, tidak akan keluar secara baik-baik,”tukasnya.

Tolak HPK Tuntut Keadilan Dari Negara

Tuan Tanah Negeri Hatumete, Demianus Lilihata mengatakan, pemasangan pal HPK sebagai salah satu bentuk penghinaan terhadap masyarakat adat, karena dilakukan secara diam-diam.

Ritual adat sasi tanah dilakukan untuk mengingatkan anak cucu, bahwa Negeri Hatumete pernah melakukan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat.

“Patok kayu ini akan diwariskan kepada anak cucu, sebagai tanda bahwa ada penolakan dari negeri Hatumete terhadap kebijakan pemerintah yang menyengsarakan warga,”ujarnya.

Raja dan Tua Adat Negeri Hatumete nyatakan menolak HPK. (Foto. titastory.id)

Otniel Lilahata, Wakil tuan tanah mengemukakan, pal HPK yang dipasang oleh BPKH, tidak akan berlaku di Negeri Hatumete.
Mereka sebelumnya telah menyerahkan sebagian besar hutan adat untuk dijadikan sebagai Kawasan taman nasional Manusela. Kondisi tanah adat yang semakin sempit, sudah cukup menyengsarakan dan menghambat eksistensi masyarakat adat.

Pemasangan pal HPK di atas kebun rakyat dan lokasi ritual adat, kata bapa Otniel, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa diterima oleh masyarakat adat Hatumete.

Ritual adat sasi tanah dilakukan untuk mengingatkan anak cucu, bahwa Negeri Hatumete pernah melakukan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat.Foto (titastory.id)

“Hari ini katong (Kami) pasang sasi, bukan katong punya mau, tapi ini merupakan pesan dari leluhur. Kalau ada yang berani masuk ambil katong punya hak dan mengganggu pulau ini, dia akan talingkar (terbelit),”tandasnya.

Bernard Lilihata kembali menegaskan, apa yang dilakukan masyarakat adat bukanlah sebuah pemberontakan, namun hanya menuntut keadilan dari negara.

“Katong diajarkan oleh leluhur untuk seng (tidak) sabarang (sembarangan) ambil orang punya barang. Katong seng pernah diajarkan masuk sabarang di orang punya petuanan. Jadi jangan pernah datang dan ambil katong punya milik, ”tukasnya.

Masyarakat adat Negeri Hatumete bersama 9 negeri lainnya sepakat menyatakan akan berdiri tegak dan kokoh menjadi penjaga tanah dan peradaban leluhur mereka, dari pihak-pihak yang ingin merusak tatanan adat.

 

Penulis : Edison Waas
Editor  : Dianthi Martha
error: Content is protected !!