titastory, Seram Selatan – Masyarakat adat Negeri Saunolu, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah, menggelar ritus adat “Sorong Bahu” sebagai bentuk perlawanan atas ancaman terhadap hutan adat mereka. Ritus yang berlangsung pada Jumat, 14 Februari 2025, ini menjadi simbol tuntutan agar Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan DPRD segera mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Ritual adat tersebut melibatkan Raja Hatumete serta dua petuanan Saunolu, yakni Saptamarga dan Dusun Mangga Dua. Prosesi dimulai dengan makan sirih pinang (apapua) oleh Saniri Negeri Saunolu, diikuti Raja Saunolu, Ketua Latupatih, dan Ketua Majelis Jemaat, Pendeta Mardo Luhulima. Simbolisasi perlawanan juga ditunjukkan dengan pembubuhan cap tangan dan bentangan spanduk di ruas jalan utama Desa Saunolu.

Menurut Riki N. Maoky, Raja Negeri Saunolu, ritus ini merupakan ekspresi keterpanggilan masyarakat adat terhadap ancaman yang semakin menggerus ruang hidup mereka.
“Ini bukan sekadar ritual, tapi juga bentuk perjuangan masyarakat adat untuk memastikan hak-hak mereka tidak punah di tanah sendiri,” ujar Maoky.
Desakan Pengesahan Ranperda Masyarakat Adat
Sementara itu, Raja Hatumete, Bernard Lilihata, dalam acara adat ini menegaskan bahwa pengesahan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat sangat penting untuk menjaga eksistensi masyarakat adat di Maluku Tengah.
“Bupati, gubernur, dan DPRD harus mengutamakan kepentingan rakyat. Tatanan adat kita sedang tidak baik-baik saja, dan ini harus segera mendapat perhatian,” kata Ketua Latupati Tehoru ini.
Desakan ini kata Lilihata, bukanlah hal baru. Sejak Maret 2023, ketika Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Maluku memasang patok batas untuk mengelompokkan hutan adat masyarakat Seram Selatan sebagai Hutan Produksi Konversi (HPK), masyarakat adat telah melakukan berbagai upaya perlawanan. Sejumlah kampanye, termasuk mobilisasi raja-raja di Kecamatan Tehoru-Telutih serta orasi ilmiah, telah digelar dalam dua tahun terakhir.
Lilihata mengungkapkan bahwa pada 2023, ia bersama sepuluh raja dari Kecamatan Tehoru sempat melakukan audiensi dengan Gubernur Maluku saat itu, Murad Ismail.
“Antua (Murad) tegas menolak pemasangan patok tanpa izin masyarakat adat dan meminta agar patok tersebut segera dicabut,” ujar Lilihata menirukan pernyataan Murad Ismail.
Namun, meskipun mendapat dukungan dari gubernur saat itu, pemasangan pal batas tetap berlangsung tanpa sosialisasi yang memadai kepada masyarakat. “Kami menolak ini karena dilakukan secara sepihak. Tidak ada mediasi atau diskusi terlebih dahulu,” tegas Lilihata.

DPRD Maluku Tengah: Ranperda Masih Inisiatif
Ketua DPRD Maluku Tengah, Hery Men Carl Haurissa, menyatakan bahwa Ranperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat masih dalam tahap inisiasi. “Perda ini sangat penting, terutama melihat isu lingkungan dan agraria yang semakin menjadi perhatian nasional. Namun, pembahasannya masih membutuhkan proses panjang,” kata Haurissa.
Ia juga membuka ruang dialog dengan raja-raja dari Seram Selatan untuk membahas lebih lanjut rancangan peraturan tersebut.
“Kami siap menerima dan menampung aspirasi masyarakat adat. Namun, perlu upaya bersama agar Ranperda ini dapat terealisasi,” ujarnya.
Masyarakat adat Negeri Saunolu berharap agar pemerintah daerah tidak berlarut-larut dalam pengesahan Ranperda ini. “Kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ini soal keberlanjutan hidup masyarakat adat dan warisan leluhur,” pungkas Maoky.
Ritus “Sorong Bahu” menjadi pengingat bahwa perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka bukan hanya tentang tanah, tetapi juga tentang identitas dan masa depan generasi Alifuru.
Penulis: Sofyan Hatapayo Editor : Christ Belseran