-
Pada tulisan bagian pertama saya menulis tentang proses Pesta Demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) yang ternodai diduga dilakukan oleh penyelengara Pemiu yakni Bawaslu. Sebagai kasus contoh, kasus yang terjadi di kecamatan Aru tengah kabupaten kepulauan Aru sementara dilaporkan. Seorang calon anggota legislatif (Caleg) ditemukan melakukan kampanye dengan menggunakan praktik politik uang (money politic) dalam proses kampanye sehingga salah seorang Caleg yang merasa dirugikan melaporkan praktik yang dilakukan kepada Bawaslu kepulauan Aru untuk ditindaklanjuti. Pihak terlapor harus menunggu proses pleno rekapitulasi oleh KPU selesai. Namun aksi protes tetap dilakukan sebagai bentuk pengawasan masyarakat atas kinerja kedua lembaga tersebut.
-
Kasus ini berawal dari praktik politik uang yang bebas dilakukan dan marak dibicarakan oleh masyarakat seakan bukan sebuah kejahatan demokrasi sehingga para mahasiswa dan Pemuda yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Aru (SAPA) berencana melakukan aksi menuntut kedua lembaga penyelenggara Pemilu, Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
-
Akhirnya apa yang diduga pun terjadi. Laporan dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terlapor dihentikan oleh Bawaslu dalam hal ini Divisi Pencegahan dan Penanganan Pelanggaran Pemilu, dengan catatan tidak memenuhi unsur pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 523 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017.
Ketika dugaan perbuatan melawan hukum yang telah menjadi larangan dalam Pemilu sebagaimana termuat pada pasal 280 ayat (1) huruf j UU Nomor 07 tahun 2017 tentang: menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye Pemilu, dengan tambahan catatan “secara langsung maupun tidak langsung”. Yang telah dilaporkan dengan batas waktu sesuai pasal 8 PERBAWASLU 7 tahun 2022 dengan bukti-bukti yang cukup tidak ditindaklanjuti, maka jelas bahwa kondisi pemilu bukanlah proses dari, oleh, dan untuk rakyat atau demokrasi tapi hanya menciptakan proses kontestasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk pejabat. Sebab praktik kampanye dengan politik uang telah mendapat ruang yang bebas dilakukan oleh para aktor politik dan menjadi bahan cerita yang marak dibicarakan oleh masyarakat Aru sebagai kondisi laten dalam momen Pemilu, dianggap wajar.
Padahal ketika politik uang marak dibicarakan informasi awal telah diperoleh sehingga memaksa BAWASLU kepulauan Aru untuk berperan aktif, bukan malah acuh. Karena jalannya Pemilu yang demokratis dan berkeadilan bergantung pada kinerja BAWASLU sebagaimana tugas dan wewenang agar berlaku jujur dan bersikap adil dalam menjalankan tugas, tidak ada kompromi ketika BAWASLU menjalankan tugas sebagai pengawas pelaksanaan Pemilu demi menjaga marwah sebagai badan pengawas. Tapi kalau BAWASLU sudah memakai temuan pelanggaran sebagai tawaran supaya mendapatkan keuntungan, dengan sendirinya rusaknya demokrasi Indonesia salah satunya disebabkan oleh kinerja BAWASLU dengan hasil dari proses Pemilu yang diselenggarakan.
Seharusnya, yang harus dipahami dari proses Pemilu yang seperti ini, bukan hanya para Caleg yang maju dengan modal idealisme untuk mewakili kepentingan rakyat ataupun para pendukung saja yang dirugikan tetapi juga negara ikut dirugikan karena telah mempersiapkan hajatan 5 (lima) tahunan sekali untuk rakyat dapat menentukan haknya secara politik sebagai perwujudan kedaulatan dengan biaya yang besar telah digunakan dalam penyelenggaran Pemilu tetapi pada akhirnya tidak ada hasil yang dapat memberi manfaat.
Dan kalau Pemilu sudah berlangsung dengan proses yang sarat akan kecurangan, manipulasi, dan proses yang melanggar aturan lalu apa yang bisa diharapkan oleh rakyat dari proses Pemilu yang demikian? Pemimpin yang korup? Wakil rakyat yang berbisnis dengan menggunakan jabatan? Atau birokrasi yang bertujuan untuk menindas rakyat? Sistem telah dibentuk supaya yang bisa ikut serta dalam kontestasi Pemilu hanya orang yang punya modal, bukan orang yang punya gagasan ideal. Tidak heran jika jabatan sebagai pejabat publik, pemimpin politik, dan kedudukan sebagai penguasa adalah kesempatan untuk menimbun harta, melindungi bisnis, dan membentuk sistem oligarki kekuasaan.
Untuk itu jangan tanyakan bagaimana tata kelola pemerintahan nantinya kalau sistem Pemilu sudah berlangsung dengan melegalkan kecurangan yang diputuskan dalam sebuah musyawarah (pleno). Kalau rakyat merasa tidak puas, bisa mengadu. Sayangnya tempat pengaduan adalah bagian dari sistem yang ikut terlibat sebagai perusak demokrasi Indonesia sehingga demokratisasi hanyalah mimpi di siang bolong bagi rakyat Indonesia, tidak harus ada dan memang tidak akan pernah lahir.
Kejahatan Bertopeng Demokrasi
Tidak ada dalam literatur manapun yang menyatakan bahwa Pemilu hanya bisa diikuti oleh para pemodal. Namun setelah ditelusuri ternyata memang benar adanya, orang miskin dilarang calon. Yang bisa mencalonkan diri hanyalah mereka yang punya modal supaya bisa menjadikan Pemilu sebagai ajang berjudi secara masal. Temuan praktik politik uang malah hilang ditelan waktu setelah informasi tangkap tangan oleh pengawas lapangan ikut tersebar, entah siapa yang salah? Yang perlu ditegaskan, sistem kerja yang buruk akan memberikan hasil yang buruk pula. Seperti kinerja BAWASLU kepulauan Aru yang kehilangan marwah oleh karena tergadai dengan uang merah-merah dan biru-biru dan bukan tidak mungkin tetapi seterusnya masyarakat hanya menjadi pion untuk perebutan kekuasaan bukan sebagai pemilik kedaulatan.
BAWASLU yang mendapat amanat dalam UU No. 7 tahun 2017 sebagai badan yang mengawasi Pemilu agar berjalan secara demokratis dan berkeadilan, bukan sebaliknya. Sebab asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBERJURDIL) hanya akan menjadi slogan ketika BAWASLU tidak akan berlaku sesuai amanat Undang-Undang. Kondisi ini makin di perparah setelah bentuk pengawasan masyarakat yang dilakukan lewat aksi menuntut kinerja BAWASLU kepulauan Aru oleh massa aksi yang tergabung dari komunitas SAPA, Organisasi Mamajar, dan pendukung salah satu Caleg yang turut merasa dirugikan dari praktik politik uang yang meminta agar ada penjelasan dari ketua BAWASLU tetapi ketua BAWASLU kepulauan Aru selalu menghindar dari tuntutan masyarakat, seakan ketua BAWASLU tidak ingin bertemu dengan masyarakat yang menuntut.
Sayangnya ketika dilakukan pemalangan dengan sasi adat (larangan) malah dinodai seakan menghina nilai dan tradisi adat tersebut. Ketua Bawaslu dengan kewenangannya memerintahkan salah seorang anggota mantan Pengawas Kecamatan (Panwascam) untuk menyiapkan salah seorang yang dituakan untuk membuka sasi yang dipasang oleh masyarakat, padahal menjadi larangan dalam tatanan adat masyarakat Aru ketika sasi (larangan) yang dipasang oleh seorang perempuan dibuka oleh seorang laki-laki. Bagi saya ini sama dengan mempermalukan nilai adat dari perempuan yang memasang sasi adat dihadapan umum. Dengan begitu juga maka ketua Bawaslu sedang menciptakan konflik antara sesama masyarakat dan tidak menghargai adat-istiadat yang hidup di kepulauan Aru.
Sikap cuek terhadap tuntutan masyarakat menunjukan bahwa Ketua Bawaslu tidak ingin diawasi oleh masyarakat sehingga sistem kerja Bawaslu hanya mengikuti keinginannya sendiri. Jika terjadi demikian, bagaimana mungkin akan tercipta pengawasan secara partisipatif kalau ada upaya masyarakat yang didasari keinginan untuk menciptakan Pemilu yang demokratis dan berkeadilan tetap terhalang oleh keinginan para aktor yang menjadikan lembaga penyelenggara Pemilu sebagai penjamin kepentingan.
Dari kondisi ini diduga kuat bahwa kejahatan demokrasi yang terjadi dalam proses Pemilu adalah sebuah sistem yang sudah didesain secara terstruktur, sistematis, dan masif oleh para pemilik kepentingan.
Sebagai contoh, dalam proses perekrutan, jajaran penyelenggara di tingkat bawah harus mengikuti kebutuhan para pimpinan sehingga orang-orang yang terpilih secara formalitas di seleksi, tetapi secara realita adalah titipan. Sehingga jika masyarakat yang berjuang untuk proses Pemilu yang demokratis dan berkeadilan, maka akan berhadapan dengan pandangan bahwa politik uang terjadi dimana-mana. Tentu saja untuk merubah kondisi ini sudah sangat sulit karena sistem telah dibentuk dari atas ke bawah (top-down) agar memperkuat kejahatan.
Dan memang benar akan terasa sulit, sebab ketua Bawaslu saja bisa menghindar dari pengawasan masyarakat, apalagi pertanyaan soal kinerja pengawasan dalam Pemilu? Dengan sendirinya proses mempersiapkan jajaran penyelenggara hanyalah tindaklanjut dari proses Pemilu yang telah disepakati bersama kalangan yang berkepentingan menduduki jabatan dan kekuasaan.
Penulis adalah Aktivis HAM dan Pegiat Lingkungan
Discussion about this post