titaStory, Halmahera Timur – Rapat sosialisasi kehadiran oleh sejumlah perusahaan pertambangan di Balai Desa Minamin, Kecamatan Wasile Selatan berlangsung ricuh, sabtu (29/4/2023) pagi. Warga pada rapat tersebut dengan tegas menolak aktivitas perusahaan di Desa mereka.
Menurut warga kehadiran perusahaan tambang ini akan mengancam ekosistem alam di sana termasuk hutan adat.
Sosialisasi ini dimulai sekitar pukul 10.00WIT dibuka oleh salah satu Kaur Desa lantaran Kepala Desa tidak berada di tempat. Sosialisasi ini kemudian dilanjutkan paparan oleh humas perusahaan PT.FMI.
Novenia Ambeua seorang warga yang terlibat dalam rapat sosialisasi itu mengatakan, pihak perusahaan memaparkan maksud dan tujuan kedatangan mereka untuk melakukan aktivitas eksplorasi.
Dari penjelasan mereka, kata Nove, tahapan eksplorasi rencananya dilakukan di lokasi Desa Minamin. Lokasi eksplorasinya sendiri sesuai IUP berjarak 8 km dari pemukiman penduduk.
“Masyarakat diberikan waktu untuk menanggapi dan di sesi inilah keadaan menjadi panas setelah salah satu warga masyarakat Desa Minamin yang juga Humas PT.MHM Viktor Nakoda merasa tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dan tanggapan warga masyarakat,” kata Novenia.
Dari sejumlah informasi masyarakat, Victor sendiri selama ini telah menjadi mediator agar perusahaan PT MHM membebaskan tanah-tanah milik warga Desa Minamin. Dia juga diduga otak dibalik konflik antar sesama warga ini, akibat tanah-tanah warga yang telah diukur.
“Di Minamin dan kampung-kampung sekitar di sini warganya sementara berkonflik masalah tapal batas tanah gara-gara ada dugaan mavia tanah perusahaan PT MHM secara diam-diam beli tanah dari beberapa warga dan mereka ukur, namun itu semua tanah milik orang lain,” tukasnya.
Dikatakan Dewan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara ini, masyarakat sempat menyinggung atas kehadiran beberapa perusahaan termasuk PT.MHM yang tanpa melakukan sosialisasi ataupun FPIC secara diam-diam sudah melakukan pembebasan lahan masyarakat.
“Masyarakat marah, masakan mereka belum sosialisasi lagi sudah melakukan pembebasan lahan dengan harga Rp3500-Rp4000 per meter,” pungkasnya.
Pembebasan dilakukan, menurut Nove dilakukan oleh Yeti, yang merupakan salah satu pimpinan perusahaan tersebut.
“PT. MHM melalui ibu Yeti, salah satu petinggi MHM membebaskan lahan-lahan warga yang notabene wilayah itu bukan ijin konsesi PT. MHM melainkan PT. WHBP sesuai ijin kementrian ESDM,” tukasnya
Masyarakat pun marah. Mereka melampiaskan kekecewaan dalam rapat tersebut kepada sejumlah perusahaan ini. Mereka memandang ini adalah bentuk pembodohan. Selain itu masyarakat desa Minamin selama ini, kata Nove, merasa telah dirugikan atas ekspansi PT.WBN/ PT. IWIP yang sudah membongkar hutan tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga.
Sehingga bertolak dari semua itu warga menolak juga kehadiran PT. FMI untuk melakukan eksplorasi di wilayah Desa Minamin.
Sementara itu, informasi yang berhasil dihimpun media ini dari media sosial warga, terlihat proses pembayaran lahan telah dilakukan oleh perusahaan tambang PT WBN/PT IWIP kepada warga Desa Waijoy dan Warga Desa Jikomoy pada tanggal 9 mei 2022 lalu.
Sejumlah foto atas nama akun Yosia Dabo memperlihatkan sejumlah uang yang nantinya dibagikan kepada para pemilik lahan di dua Desa. Masyarakat dalam foto-foto ini juga telah siap mengantri di salah satu Gedung Balai Desa.
Informasi yang dihimpun melalui foto-foto pada akun facebook milik Yosia Dabo menyebutkan uang tersebut merupakan biaya pembayaran pembebasan lahan oleh pihak Desa Waijoy Jikomoi seluas kurang lebih 400 Ha. Lahan yang dibebaskan sendiri dijual dengan harga Rp2500/meter. Lahan-lahan tersebut diduga milik O Hongana Manyawa, Turaji dan Hairani karena lokasi mereka berada di belakang kawasan Desa tersebut.
Uang tersebut, dari informasi, disebutkan berjumlah Rp25 Miliar, namun saat ini baru dikucurkan sekitar 6,8 miliar yang baru diserahkan kepada kedua desa ini.
Padahal secara nyata-nyata kedua O Hongana Manyawa, Turaji dan Hairani telah bersikeras untuk menyerahkan tanah mereka. pernyataan ini dibuktikan dengan pernyataan langsung, kepada cucunya Musa saat berkunjung ke rumahnya yang berada di belakang perkampungan Desa Loleba.
Pernyataan O Hongana Manyawa
Dalam pernyataan itu kedua orang Tobelo Dalam ini menegaskan tidak akan pernah menyerahkan bahkan menjual hutan mereka karena merupakan peninggalan leluhur mereka untuk dijaga, bukan untuk dirusaki.
“To ngohi, ahi datomo,madutu nohi tailako, ma kiaka, nako to ngohi ua ahi datomo? Ho ga dina ahi tau mangi. Tohi gonoa ya pake ahi datomo, ho na oko na hetongo, ho ga ami raki ahi ayo tofotofo mato uha ko nia pake. Mohi behehongo.
Inilah ungkapan Hairani (Martana) seorang perempuan Tobelo Dalam (O Hongana Manyawa) saat ditanyakan soal hutan tempat mereka tinggal saat ini. Dalam percakapan antara Hairani bersama Musa, cucunya di O Tau, rumah tempat tinggal mereka, September 2022.
Percakapan antara Hairani dan Musa ini, Ia bilang tempat dan hutan yang saat ini mereka diami, mereka adalah pemiliknya. Dimana, disana ada bekas rumah dan tanaman yang ditanam.
“Saya punya, saya pemiliknya. Coba Perhatikan saja kalau bukan saya yang tanam, sedangkan di sana ada bekas tempat rumah saya. Saya tidak izinkan mereka mengambilnya. Jadi silahkan kamu pergi dan jelaskan ke mereka bahwa harta, mama asuh saya jangan kalian ambil. Ini pesan beliau,” kata Hairani saat dalam percakapan dengan Yoram.
Bersama Turaji suaminya, saat ini mereka tinggal di belakang perkampungan desa Loleba. Mereka terpaksa bergeser ke hutan tersebut, lantaran lokasi sebelumnya yang mereka tinggal yakni Moleo Ma Bohuku (Tofu), tidak lagi dianggap nyaman karena air sungai dan hutan telah rusak.
Sebagai penjaga hutan, atau O Hongana Manyawa Hairani bersama suaminya Turaji terus mempertahankan tanah yang telah dititipkan oleh leluhur mereka ribuan tahun lalu. Meski begitu, mereka tak dapat berbuat banyak. Mereka lebih menghindar dan mencari lokasi baru yang dianggap nyaman.
Aksi Tolak tambang
Sebelumnya, aksi untuk menolak perusahaan dilakukan oleh masyarakat adat Hoana (Desa) Minamin, Kecamatan Wasile, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Masyarakat adat keturunan Tobelo ini melakukan penolakan terhadap aktifitas pertambangan PT Mega Haltim Mineral (MHM), di kawasan hutan adat mereka.
Penolakan ini merupakan upaya masyarakat Hoana Minamin untuk menjaga kelesatarian hutan adat yang telah dititipkan oleh para leluhur mereka.
Bentuk penolakan warga ini terjadi lantaran pihak perusahan tidak menghargai dan mengabaikan masyarakat yang mendiami Desa Manamin.
Yulis Madam, warga Desa Manamin, kepada titastory.id mengatakan kehadiran perusahaan di Kawasan Desa Manamin merupakan upaya untuk melakukan ekplorasi tambang nikel. Ironisnya kehadiran pihak perusahan tidak mendapat persetujuan dari pemilik ulayat yang sudah tentu adalah masyarakat adat.
Dia mengatakan, masyarakat pemilik ulayat sempat beradu mulut dengan sejumlah karyawan yang sedang melakukan observasi dalam perencanaan untuk melakukan penambangan biji nikel. Bahkan katanya saat memasang jerat, Ia sempat dilerai.
“Saya sempat bertanya apa dasar dan alasan sehingga bisa melakukan aktifitas observasi dan survei sekaligus pengambilan sampel,” ungkap Yulis.
Yulis bersama ratusan masyarakat Minamin pernah melakukan aksi untuk menolak segala aktivitas tambang nickel yang dalam perencanaan menambang biji nickel di kawasan Hoana Minamin, oktober 2022 lalu.
Bahkan pada selasa 19 januari 2023, Ia mengatakan tim survei melakukan pengambilan sampel tanah di wilayah Hoana Minamin. Saat itu mereka berpapasan saat Ia pulang memasang dedeso (jerat). Di situ, mereka melakukan negosiasi dan sempat berdialog. Ia kemudian mendesak pihak perusahan dengan sejumlah pertanyaan.
“Siapa yang menyuruh untuk masuk di Kawasan Hutan, ini wilayah adat Hoana Minamin, apakah ada izin dari pemerintah desa atau ada musyawarah masyarakat dengan pihak perusahan,” tanya Yulis.
Setelah peristiwa itu, Yulis pun kembali menuju kediaman kepala desa dan menyampaikan perihal tersebut.
“Jawaban yang didapat dari Kepala Desa Minamin, Hendrik Notan adalah bahwa tidak ada izin,” katanya.
Diketahui bahwa PT MHM yang bergerak dalam bidang pertambangan nikel ini sudah tiga kali berkeinginan memasuki hutan di wilayah Hoana Minamin. Upaya itu sudah dilakukan sejak tahun 2019 hingga tahun 2023.
Tidak hanya itu, dalam prosesnya tidak ada penjelasan atau sosialisasi dari pihak perusahan yang menurut warga setempat adalah sidang AMDAL.
Terhadap hal itu, masyarakat menegaskan menolak aktifitas perusahan karena langkah yang diambil tidak sesuai prosedur atau mekanisme.
“Kami memastikan pihak perusahan sudah mengambil langkah yang tidak sesuai prisedur, sehingga patut untuk dihentikan,” tegas Yulis.
Tak hanya itu, para pemuda dan tokoh masyarakat Desa Minamin pun berbondong-bondong menuju ke salah satu rumah yang dikontrak pihak perusahan. Di sana mereka melakukan protes.
Roy Doongor, pemuda Desa Minamin mengatakan pertemuan yang dilakukan antara masyarakat dengan perwakilan perusahan pada tanggal 23 Januari 2023, terungkap kehadiran perusahan tersebut melalui izin salah satu warga. Oknum warga tersebut, kata Roy, memberikan jaminan dari kepada perusahaan. Penjelasan itu pun sontak membuat mereka kaget.
“Kita berikan peringatan kepada perwakilan perusahaan MHM bahwa warga Hoana Minamin tidak lagi percaya terhadap oknum yang disebutkan,” cetusnya. Mereka, kata Roy, menduga ada praktik mafia tanah yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dengan menjadi penghubung dengan pihak perusahaan. Sementara pemilik ulayat bahkan masyarakat adat Minamin bahkan tidak serta merta dilibatkan.
Atas kejadian itu, masyarakat pun meminta agar pihak perusahan untuk melakukan pertemuan dengan aparatur Desa maupun masyarakat Desa Minamin. Selain itu masyarakat juga meminta agar perusahaan tidak lagi meminta izin melalui orang lain.
Sejumlah poin tuntutan yang diutarakan masyarakat kepada pihak perusahaan MHM, salah satunya mereka mendesak agar perusahaan segera mengangkat kaki dari petuanan Desa mereka. Jika tuntutan dari masyarakat ini tidak diindahkan dan diabaikan maka mereka mengancam akan melakukan aksi besar-besaran.
“Kami meminta untuk pihak perusahan untuk menghargai masyarakat adat, jika hal itu tidak dilakukan maka sudah pasti akan ada aksi besar besaran,” tutupnya.
Sebelumnya, aksi penolakan aktivitas pertambangan nikel juga dilakukan oleh ratusan masyarakat adat Suku Togutil Habeba, Hoana Wangaeke Minamin Saolat dengan melakukan aksi pemalangan aktivitas pertambangan PT Weda Bay Nikel dan PT IWIP di kawasan Hutan adat Moleo Ma Bohuku (Tofu), Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku.
Aksi blokade dilakukan oleh masyarakat adat keturunan suku Togutil Habeba yang berada di dua Desa yakni Desa Saolat dan Desa Minamin sejak senin (26/9/2022) tahun lalu.
Aksi ini dimulai dengan ritual adat oleh tetua adat dari kedua desa di pesimpangan jalan pertambangan PT WBN dan PT IWIP, Tofu.
Aksi pemalangan ini dilakukan dengan ritual atauprosesi adat “Bugo”. Ritual Bugo ini merupakan puncak dari aksi ritual adat masyarakat adat dari kedua Desa. Meski demikian mereka mengancam akan terus menduduki ruas jalan perusahaan ini sampai adanya jawaban pasti dari dari Perusahaan maupun Pemerintah Daerah terhadap tuntutan mereka.
Ketua adat Desa Minamin, Paulus Papua usai menggelar ritual adat Bugo menyampaikan tujuan melakukan upacara ritual adat ini untuk mempertahankan tanah adat dari leluhur mereka juga untuk mengembalikan kedaulatan untuk pengelolaan hutan adat ini.
“Selama ini tanpa sepengetahuan kami koorporasi pertambangan sudah mengambil alih kerja sama dengan birokrasi, tanpa izin bahkan tidak melibatkan proses tahapan ini dengan masyarakat adat, sehingga kami datang ke tempat ini untuk melakukan ritual adat,” ujarnya.
Dia menjelaskan keberadaan suku mereka yang tanahnya dan hutannya sudah dirampas oleh koorporasi pertambangan nikel yang beroperasi di hutan adat mereka.
“Wilayah tanah ulayat Para-para dan Minamin telah dirampas oleh PT Weda Bay Nikel dan PT IWIP, dan kehadiran kami di tengah hutan ini di tengah tanah ini yang sudah dilakukan ini adalah untuk memblokade seluruh aktivitas operasi pertambangan yaitu pembukaan jalan dan pengeboran dan eskplorasi,” tegasnya.
Yustinus Papuling, Ketua Adat Desa Saolat (Para-para) mengatakan sebagai masyarakat adat komunitas Hoana Wangaike Minamen Saolat, mereka sudah cukup berusaha agar tuntutan mereka didengar oleh Pemerintah Daerah bahkan semua pihak terkait, di tingkat daerah Kabupaten hingga tingkat Provinsi itu sudah disampaikan namun selalu diabaikan.
“Lewat kesempatan ini saya memohon kepada petinggi Negara yaitu bapak Presiden Joko Widodo untuk bisa memperhatikan nasib, bisa memperhatikan kehidupan dari masyarakat adat yang mendiami Halmahera terutama Halmahera Timur. Karena seperti yang terlihat, yang saat ini diduduki adalah tanah ulayat dari masyarakat adat Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat ini itu sudah diambil alih oleh koorporasi pertambangan yang diizinkan oleh birokrasi yang ada di wilayah ini,” pintanya.
Lanjut Yustinus, harapan terbesar masyarakat adat Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat terletak di Pundak bapak Jokowi. Untuk itu Jokowi selaku Presiden Republik Indonesia bisa mendengar dan bisa mengambil suatu keputusan yang berpihak dan menguntungkan bagi masyarakat adat.
“Kami berharap wilayah yang kami duduki dan blokade ini merupakan wilayah hutan adat suku Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat dan suku Togutil yang berada di dalam hutan. Saat ini lokasi ini sudah dikeluarkan izin untuk operasi pertambangan. Kami mohon selamatkanlah suku nomaden ini,” harapnya.
Untuk diketahui, Hari ini (sabtu-red) merupakan hari kelima dari aksi pemalangan dan boikot aktivitas pekerjaan jalan raya tambang dan juga aktivitas eksplorasi dari dua perusahaan tambang nikel PT IWIP dan PT WBN di Halmahera Timur, Maluku Utara.
“Kami akan duduki lokasi ini sampai adanya kepastian dari kedua perusahaan PT WBN dan PT IWIP, soal penyerobotan tanah ulayat leluhur kami,” tegas Nove.
Dalam aksinya masyarakat adat melayangkan beberapa tuntutan kepada kedua perusahaan ini. Mereka melarang aktivitas pembuatan jalan maupu aktivitas pertambangan di wilayah adat mereka.
Aksi ini, masyarakat juga memberikan sanksi adat/denda adat kepada kedua perusahaan karena telah menyerobot lahan dan merampas ruang hidup masyarakat kedua desa maupun masayarakat suku togutil atau tobelo dalam. (TS-01)
Discussion about this post