Ambon, — Wacana revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinilai berpotensi melemahkan perlindungan HAM dan mengancam kebebasan pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon menilai revisi tersebut tidak hanya bertentangan dengan standar internasional, tetapi juga berisiko mempersempit ruang kerja jurnalis sebagai pembela HAM.
Kesimpulan itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Revisi Undang-Undang HAM dan Implikasinya terhadap Jurnalis dan Pembela HAM” yang digelar AJI Kota Ambon di Kantor Sekretariat Komnas HAM Provinsi Maluku, Sabtu (13/12/2025).
Ketua AJI Kota Ambon, Khairiyah Fitri, menyoroti tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis yang menunjukkan kerentanan profesi ini dalam menjalankan fungsi kontrol sosial. Data AJI mencatat, terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2024, dan 60 kasus hingga September 2025.

“Selain UU Pers, UU HAM adalah payung hukum penting bagi jurnalis. Jika kewenangan Komnas HAM dipangkas, perlindungan jurnalis di lapangan akan semakin lemah,” ujar Khairiyah.
Ia menilai rencana penghapusan tugas Komnas HAM dalam pengkajian, penelitian, pemantauan, dan mediasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 109 draf revisi, berpotensi menghilangkan mekanisme perlindungan yang selama ini menjadi sandaran jurnalis ketika menghadapi intimidasi.
Kepala Sekretariat Komnas HAM Provinsi Maluku, Edi Sutikno, menegaskan bahwa revisi UU HAM harus dibaca dalam konteks meningkatnya ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Menurut dia, pelemahan Komnas HAM akan berdampak langsung pada menurunnya perlindungan HAM secara keseluruhan, termasuk bagi pers.
Pandangan lebih kritis disampaikan Ketua Komnas HAM RI, Anis Hidayah, yang mengikuti diskusi secara daring. Ia mengingatkan bahwa UU HAM lahir pada masa awal reformasi dengan semangat memberikan kewenangan penuh kepada Komnas HAM.
“Ini bukan soal Komnas HAM semata, tetapi soal perlindungan hak asasi manusia. Jika tidak ada urgensi yang jelas, UU HAM tidak perlu direvisi,” kata Anis.

Anis mengungkapkan bahwa draf awal revisi UU HAM yang muncul pada 24 Oktober 2025 sempat menghilangkan sekitar 80 persen kewenangan Komnas HAM. Meski sebagian kewenangan itu kemudian dikembalikan melalui proses lobi, ia menilai arah revisi tetap problematik dan berisiko menggerus independensi lembaga.
Diskusi tersebut juga menyoroti bahwa pelemahan Komnas HAM bertentangan dengan Prinsip Paris, standar internasional bagi lembaga HAM nasional. Komnas HAM RI saat ini memiliki status akreditasi “A” dari Global Alliance of National Human Rights Institutions (GANHRI), yang mensyaratkan independensi dari pemerintah serta mandat dan kewenangan yang luas.
“Jika kewenangan Komnas HAM dipangkas atau dilebur ke dalam struktur eksekutif, status akreditasi internasional Indonesia bisa terancam,” ujar salah satu pemantik diskusi.
Selain itu, peserta diskusi menekankan bahwa jurnalis selama ini juga dilindungi oleh Peraturan Standar Norma dan Pengaturan (PSNP) Komnas HAM Nomor 2 Tahun 2015 tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta PSNP Nomor 6 Tahun 2021 tentang hak atas lingkungan hidup. Kedua regulasi ini kerap menjadi rujukan penting, terutama bagi jurnalis lingkungan yang meliput konflik agraria dan proyek-proyek strategis nasional (PSN)
Diskusi mencatat bahwa PSN sering menjadi sumber pelanggaran HAM ekonomi, sosial, dan budaya. Jurnalis yang meliput konflik agraria, penggusuran paksa, ancaman terhadap masyarakat adat, hingga kriminalisasi warga penolak proyek kerap menjadi sasaran intimidasi dan kekerasan, sebagaimana terlihat dalam kasus Rempang Eco-City dan Wadas.
Melalui forum ini, AJI Kota Ambon bersama peserta diskusi mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan wacana revisi UU HAM, serta memastikan Komnas HAM tetap independen dan berwenang penuh. Mereka menilai pelemahan Komnas HAM bukan hanya ancaman bagi lembaga, tetapi juga bagi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.
