Oleh: Edison Waas
Perkelahian dua wartawan yang terjadi di halaman Balai Kota Ambon pada Selasa, 20 Mei 2025, bukan hanya peristiwa memalukan, tetapi juga sebuah alarm bagi profesi jurnalis. Bentrokan fisik antara Jefri Lopatti dan Steve Palijama, yang disaksikan langsung oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masyarakat, menandai runtuhnya etika profesi di ruang yang seharusnya menjadi arena kerja jurnalistik yang bermartabat.
Insiden tersebut terjadi sesaat setelah sesi wawancara dengan Wali Kota Ambon, Bodewin Wattimena, mengenai bencana jalan putus akibat hujan deras di Kampung Kilang, Leitimur Selatan. Belum diketahui secara pasti pemicu utamanya, namun keterangan dari sejumlah saksi menyebutkan bahwa konflik dipicu oleh kecemburuan profesional, saat salah satu wartawan tak terima rekannya lebih dulu mendapatkan akses wawancara dengan wali kota.
Profesionalisme yang Retak
Apa pun pemicunya, kejadian ini menunjukkan adanya degradasi serius terhadap profesionalisme jurnalis. Wartawan adalah profesi yang dibangun di atas prinsip kerja kolektif, etika, dan integritas. Mengedepankan ego dan kekuasaan akses bukanlah ciri seorang pewarta sejati. Ketika konflik personal dibawa ke ranah publik, apalagi hingga adu jotos, maka martabat profesi ikut tercoreng.
Peristiwa ini juga membuka kembali diskusi lama soal independensi dan integritas wartawan, terutama di daerah. Tidak sedikit wartawan yang kerap berada dalam konflik kepentingan karena kedekatan dengan pejabat publik atau karena menjadi pelaku usaha yang mendapat fasilitas dari pemerintah.
Wartawan Bukan Pengusaha Pemerintah
Merujuk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 1, disebutkan bahwa “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Independensi adalah dasar utama profesi ini. Seorang wartawan yang merangkap sebagai pelaku usaha yang mendapatkan proyek atau fasilitas dari pemerintah sangat rawan mengaburkan garis batas antara kepentingan publik dan keuntungan pribadi.
Hal ini juga diperkuat dalam Pasal 6 huruf c dan d UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa pers nasional berkewajiban “mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar”serta “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.”Bagaimana mungkin wartawan bisa melakukan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan bila ia sendiri berada di bawah bayang-bayang kekuasaan itu?
Konflik kepentingan inilah yang sering membuat jurnalis kehilangan daya kritisnya. Mereka tidak lagi menjalankan tugas sebagai pengawas kekuasaan, melainkan justru menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Lebih parah, sebagian dari mereka memanfaatkan status wartawan untuk mengamankan kepentingan pribadi atau kelompok, termasuk dalam urusan izin usaha, pemasangan reklame, hingga distribusi proyek.
Peristiwa perkelahian di Balai Kota Ambon adalah momen reflektif bagi seluruh insan pers, khususnya di daerah. Kantor wali kota bukan ring tinju, dan jurnalis bukan gladiator. Jurnalis adalah pekerja profesi yang tugas utamanya adalah menyampaikan informasi kepada publik dengan cara-cara yang bermartabat. Kekerasan fisik, persaingan tidak sehat, dan ego sektoral hanya akan menjauhkan publik dari kepercayaan terhadap media.
Kembalikan Martabat Jurnalis
Kepercayaan publik terhadap media tak dibangun dalam sehari, tetapi bisa runtuh seketika karena ulah segelintir oknum. Wartawan harus kembali pada nilai dasar: independen, jujur, kritis, dan memihak pada kepentingan publik. Profesi ini bukan alat untuk mengejar proyek, apalagi kekuasaan, melainkan panggilan untuk menjaga nurani bangsa.
Penulis keseharian adalah jurnalis dan koordinator liputan di Redaksi media titastory.id