Kuasa Hukum: Hakim Beropini, Fakta Persidangan Diabaikan
Ambon, – Pendamping hukum dua pemuda Negeri Haya, Husein Mahulauw dan Ardi Tuahan, menilai putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ambon dalam perkara dugaan pembakaran fasilitas tambang PT Waragonda Mineral Pratama sarat opini dan tidak berdasar pada fakta persidangan.
Kedua pemuda adat itu yang dikenal sebagai pejuang lingkungan sebelumnya dijatuhi hukuman berat: Husein Mahulauw divonis delapan tahun penjara, sementara Ardi Tuahan dihukum tiga tahun enam bulan atas tuduhan penghasutan.

Putusan Hakim Dinilai Beropini, Tak Berdasar Fakta Persidangan
Kuasa hukum terdakwa, Dendi Yulianto, menilai pertimbangan hakim penuh asumsi dan mengabaikan bukti serta kesaksian yang kontradiktif antara saksi pelapor dan saksi meringankan.
“Kami sangat kecewa. Putusan ini sarat opini dan asumsi yang tidak sesuai fakta di persidangan,” tegas Dendi Yulianto seusai sidang, Selasa (14/10/2025).

Ia menjelaskan, dalam perkara Ardi Tuahan, hakim membacakan keterangan saksi bernama Pandu Kilian (dikenal juga sebagai Panjul), meski saksi tersebut tidak pernah hadir di pengadilan. Padahal, menurut Pasal 162 Ayat (1) KUHAP, pembacaan keterangan saksi hanya dapat dilakukan dalam kondisi tertentu seperti saksi meninggal dunia, berhalangan sah, atau tidak dapat dihadirkan karena alasan jarak atau kepentingan negara.
“Faktanya, saksi ini dipanggil empat kali oleh jaksa namun tidak pernah datang. Tapi jaksa tetap membacakan keterangannya. Kami menolak itu karena bertentangan dengan hukum acara,” jelasnya.
Menurut Dendi, banyak saksi lain yang justru menyampaikan keterangan tidak konsisten dan penuh keraguan. “Sebagian saksi mengatakan tidak melihat langsung Ardi melakukan penghasutan atau mengucapkan kata ‘bakar’. Jadi bagaimana mungkin itu bisa jadi dasar hukuman?” katanya.

Kontradiksi Saksi dalam Perkara Husein Mahulauw
Dalam perkara Husein Mahulauw, Dendi juga menyoroti sejumlah kejanggalan dalam kesaksian saksi-saksi yang digunakan sebagai dasar putusan.
Sementara dua saksi yang dianggap memberatkan — Miljan Key dan Tawakal Somalua — memberikan keterangan yang saling bertentangan. Dalam sidang, Miljan menyebut melihat Husein menyiram solar dari jarak 40 meter di tengah kondisi gelap. Namun, keterangan itu berubah saat dikonfrontir. Ia kemudian mengatakan tidak tahu asal solar, bahkan menduga solar tersebut milik perusahaan.
Sebaliknya, saksi Tawakal Somalua mengaku melihat terdakwa memegang botol berisi cairan, tapi juga tidak tahu isinya. “Mungkin solar,” katanya dalam sidang, “karena di perusahaan memang ada drum dan jerigen berisi solar.”
Kuasa hukum menilai, keterangan seperti ini tidak dapat dianggap sebagai kesaksian fakta, karena disampaikan dengan keraguan, bersifat dugaan, bahkan menyerupai rekaan.
“Kesaksian kedua saksi ini kontradiktif, tidak konsisten, dan penuh dugaan. Fakta persidangan menunjukkan bahwa keterangan mereka dibangun di atas persepsi, bukan pengamatan langsung,” ujar Dandy Yulianto, kuasa hukum kedua terdakwa.
Kriminalisasi Pejuang Lingkungan
Kasus ini berawal dari aksi protes warga Negeri Haya terhadap aktivitas tambang PT Waragonda Mineral Pratama, perusahaan yang memproduksi pasir garnet di wilayah adat mereka. Warga menilai aktivitas perusahaan telah merusak sumber air dan tanah ulayat yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka.
Namun, dua pemuda yang vokal menolak tambang justru dikriminalisasi dengan tuduhan penghasutan dan pembakaran. Bagi masyarakat Haya dan jaringan solidaritas lingkungan, vonis ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan bersuara dan perlindungan terhadap pembela lingkungan.
Upaya Banding: Harapan Terakhir Mencari Keadilan
Kuasa hukum menyatakan telah menyiapkan langkah hukum lanjutan. “Husein secara tegas menyatakan banding atas putusan ini. Kami akan ajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Maluku,” ujar Dendi.
Sementara Ardi Tuahan masih mempertimbangkan langkah yang akan diambil. “Kami menghormati hak Ardi untuk pikir-pikir dulu. Tapi prinsipnya, kami akan terus mendampingi mereka sampai seluruh jalur hukum ditempuh,” tambahnya.
Fadly berharap Pengadilan Tinggi Maluku dapat melihat kembali fakta persidangan secara objektif dan tidak semata-mata mengutip asumsi dari pihak pelapor.
“Ini bukan sekadar perkara hukum. Ini ujian bagi negara: apakah hukum berpihak pada keadilan ekologis dan rakyat adat, atau pada korporasi yang merusak tanah?” pungkasnya.