titaStory, jakarta – Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan “menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya” dalam gugatan uji formil dari gabungan serikat buruh dan menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku memuat protes. Pasalnya Putusan dikhawatirkan dan menunjukkan pengkhianatan nyata para hakim MK (yang mempertahankan UU inkonstitusional ini) terhadap Demokrasi dan Konstitusi. Dimana Putusan ini adalah hal yang memalukan mengingat MK mengingkari sendiri putusan sebelumnya yang mengatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat.
Dalam putusan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Indonesia dalam rilisnya yang diterima media ini, selasa (03/09/2023) menerangkan, MK menilai bahwa dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum. MK membenarkan alasan “kegentingan yang memaksa” dalam pembentukan Perppu yang akhirnya menjadi undang-undang ini dengan pertimbangan bahwa terdapat krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi perang Rusia-Ukrania dan krisis ekonomi akibat adanya Covid-19.
Padahal dengan adanya UU Cipta Kerja, rakyatlah yang justru ditenggelamkan dalam situasi krisis. Peraturan mengenai pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel dan dihilangkannya hak-hak dasar semakin membuat buruh tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya. UU Cipta Kerja yang kurang lebih sudah berjalan dalam kurun 3 tahun ini juga telah memperparah krisis agraria dan ketimpangan penguasaan lahan.
Tak luput pula, UU Cipta Kerja telah terbukti menjadi instrumen hukum yang ampuh untuk melegitimasi praktik-praktik bisnis yang merusak lingkungan. Di saat yang bersamaan dengan adanya UU Cipta Kerja, kekayaan para oligarki politik dan bisnis meningkat drastis. Maka, dukungan MK terhadap alasan “kegentingan yang memaksa” secara langsung mendukung penindasan oligarki terhadap rakyat tertindas di negeri sendiri.
MK juga mengabaikan gugatan mengenai fakta diabaikannya prinsip “partisipasi bermakna” dalam pembentukan undang-undang atas alasan terminologi tersebut hanya berlaku pada pembentukan undang-undang bukan Perppu yang notabene membutuhkan waktu cepat. Pengabaian ini membenarkan praktik orkestra culas Pemerintah dan DPR menginjak-injak nilai-nilai demokratis yang seharusnya selalu dijunjung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Putusan ini menunjukkan sikap MK yang tidak konsisten dalam menjaga putusannya sendiri, yang tidak sejalan dengan putusan MK sebelumnya. MK bermain-main dengan pelanggaran konstitusi dan penghancuran negara hukum. Putusan UU Cipta Kerja tersebut menunjukkan kegagalan MK menjadi benteng terakhir penjaga demokrasi dan konstitusi. MK kini justru bertransformasi menjadi penjaga kepentingan kekuasaan dan oligarki.
Dalam putusan tersebut terlihat komposisi Hakim MK yang sama dengan perkara sebelumnya, yaitu 4 hakim MK yang menyampaikan dissenting opinion menolak putusan inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja. Mereka diduga adalah Anwar Usman (Ipar Presiden Jokowi), Arif Hidayat, Daniel Yusmic, Manahan MP Sitompul ditambah dengan Hakim Guntur Hamzah. Nama terakhir ini diangkat menggantikan Hakim Aswanto yang direcall secara ilegal oleh DPR dan memulai karir hakimnya dengan pelanggaran etik karena kasus pemalsuan frasa putusan. Kelima hakim tersebut unggul suara melawan 4 hakim MK yang sebelumnya mengabulkan permohonan uji formil dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Keempat orang hakim MK itu ialah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo. Nyatanya, keberpihakan 4 hakim MK terhadap UUD 1945 dan rakyat tersebut tak cukup kuat untuk membendung siasat licik para oligarki.
Berkaca dari situasi di atas YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Putusan MK yang mempertahankan UU Cipta Kerja adalah bukti nyata robohnya independensi Mahkamah Konstitusi dan bentuk kongkrit pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi dan konstitusi UUD 1945;
2. Putusan MK UU Cipta Kerja adalah hasil dari orkestrasi politik “campur tangan” rezim pemerintahan Jokowi terhadap independesi lembaga Yudikatif melalui upaya pelemahan independensi MK yang dilakukan dengan revisi UU MK, pemberian bintang jasa kepada para hakim MK aktif dan pemberhentian paksa Hakim Aswanto termasuk konflik kepentingan ketua MK yang kini menjadi ipar Presiden.
3. Menyerukan kepada masyarakat Indonesia untuk terus melakukan perlawanan konstitusional dan jalanan dengan aksi-aksi massa guna membatalkan UU Cipta Kerja maupun peraturan atau Kebijakan Negara yang bertentangan dengan prinsip demokrasi, HAM dan Negara Hukum. (TS-02)
Discussion about this post