- “Memulihkan Hak Terdakwa (Mikael Ane) dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya. Memerintahkan agar barang bukti berupa satu unit rumah permanen dengan ukuran 6m x 6m, satu unit rumah semi permanen dengan ukuran 3m x 5,5m dikembalikan kepada terdakwa. Membebaskan biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan dan pada tingkat kasasi kepada Negara,” demikian bunyi putusan yang ditulis Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Pengadilan Tinggi Kupang Pengadilan Tinggi Negeri Ruteng, dalam surat nomor 611/PAN.02W20-U7/HK21/V/2024. Dalam surat itu, MA RI juga memerintahkan untuk membebaskan biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan dan pada tingkat kasasi kepada Negara.
titaStory.id, manggarai timur – Putusan MA RI ini merupakan angin segar bagi Mikael Ane. MA RI menyatakan terdakwa Mikael Ane yang sebelumnya dituduh melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana. Ini adalah jalan panjang advokasi kasus yang menimpa seorang petani, Masyarakat Adat Ingkiong, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, akhirnya membuahkan hasil. Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia pun memutuskan Mikael Ane tidak bersalah.
Sebab itu, Mikael Ane harus dilepaskan-dibebaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Dillansir dari laman berita ppman.org, Putusan Mahkamah: Judex Factie Mengkriminalisasi Mikael Ane, Harus Bebas dan Dipulihkan Haknya | ppman, putusan ini telah berkekuatan hukum tetap setelah mendapat putusan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada Senin, 6 Mei 2024 oleh Dr. Desnayeti M., S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. Achmad Setyo Pudjoharoyo, S.H., M. Hum., dan Yohanes Priyana, S.H., M.H, Hakim-Hakim Agung sebagai Hakim-Hakim Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari dan tanggal itu juga oleh Ketua Majelis yang dihadiri Hakim-Hakim Anggota serta Wiryatmo Lukito Totok, S.H., M.H., sebagai Pengganti dengan tidak dihadiri oleh Penuntut Umum dan terdakwa.
Sebelumnya, 11 tahun lalu, Mikael Ane menerima vonis 1 tahun 6 bulan penjara lantaran menebang pohon berkayu dalam kawasan yang oleh pemerintah diklaim tercakup dalam Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng. Kasus berikut juga menimpa Mikael, ia dipenjara Pada 28 Maret 2023. Hingga 5 September 2023, Dalam putusa sidang, hakim menyatakan Mikael bersalah lantaran membangun rumah di lokasi yang sama.
Mikael lalu terancam 3 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsidair 6 bulan penjara. Ancaman tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 31 Agustus 2023.
Mikael Ane dituduh melanggar Pasal 36 angka 19 dan Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Singkatnya, ia didakwa atas tindakan penyerobotan lahan Taman Wisata Alam Ruteng.
Mikael Ane juga dituntut—dirampas bangunan rumahnya untuk dihancurkan. Ia dikenakan tuntutan tidak hanya fisik namun juga mental karena terancam kehilangan semua yang ia miliki dari usaha sepanjang hidupnya.
Persoalan yang dihadapi oleh Mikael Ane bukanlah hal baru di republik ini. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengungkapkan bahwa selama Januari sampai Juni 2023, telah terjadi konflik yang terkait wilayah kelola adat dan sumber daya alam. Umumnya bermuara pada upaya kriminalisasi Masyarakat Adat.
Syamsul Alam Agus, S.H, Ketua Badan Pengurus PPMAN mengatakan, point penting dari putusan Mahkamah Agung atas Mikael Ane membuktikan bahwa perbuatan yang didakwakan bukan tindak pidana (kriminalisasi).
“Perintah pemulihan hak dan kedudukan, harkat dan martabat Mikael Ane adalah penegasan atas kriminalisasi pada masyarakat adat yang mempertahankan dan mengelola wilayah adatnya sendiri, untuk itu Mahkamah Agung memerintahkan Negara untuk melakukan kewajibannya yang patut dan segera melakukan pemulihan,” tegas Syamsul Alam.
Syamsul bilang, putusan ini membuktikan rentannya Masyarakat Adat dikriminalisasi oleh Hukum Negara, untuk itu penting untuk segera mengesahkan RUU Masyarkat adat untuk melindungi hak Konstitusional Masyarakat Adat dari penyelenggara negara maupun dari korporasi.
“Putusan itu juga membuktikan bahwa Dakwaan ditingkat judex factie menjadi instrumen kriminalisasi yang secara sengaja dengan salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,” tambahnya. (TS-01)
Discussion about this post