TITASTORY.ID, – Persoalan berkepanjangan terkait nasib petani di Kecamatan Galela, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara sejak tahun 1991 tak kunjung tuntas. Bahkan diduga Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Kabupaten Halmahera Utara serta DPRD diduga terlibat bersama sejumlah perusahaan untuk merampas hak hidup masyarakat petani di Kecamatan Galela yang tersebar di 10 desa
Terhadap sikap Pemerintah dan dugaan kongkalikong dengan sejumlah Perusahaan yang begitu leluasa dengan mengandalkan produk Hak Guna Usaha (HGU) yang mengkebiri hak masyarakat adat di Kecamatan Galela.
Lantaran kondisi yang ada, ratusan petani Kecamatan Galela pun membanjiri kantor DPRD Provinsi Maluku Utara.
Dalam tuntutan tersebut, para petani meminta Pemerintah Provinsi Maluku Utara, DPRD Maluku Utara dan pihak BPN untuk menerima tuntutan yang disajikan oleh para petani.
Koordinator Aksi, Fandy Ode Mane kepada Titastory.Id disela sela aksi unjuk rasa menyampaikan aksi yang dilakukan petani asal Galela ini bertujuan agar Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan DPRD Maluku Utara dapat memahami dan mengerti apa yang menjadi keluhan para petani yang selama ini dikorbankan akibat produk HGU yang berdampak pada hilangnya usaha para petani dan digantikan oleh perusahaan berkedok investasi.
Ode Menerangkan ada sejumlah point tuntutan yang disampaikan. Tuntutan tersebut adalah, mendesak Gubernur Provinsi Maluku Utara bersama DPRD Maluku Utara segera mencabut HGU 01 PT Yabes Plantation International, mendesak Gubernur dan DPRD Provinsi Maluku Utara segera membatalkan perpanjangan HGU 02 PT Global Agronusa Indoensia PT.GAI oleh BPN Maluku Utara atas permintaan PT Yabes Plantation Internasional.
Saat yang sama, Ode meminta janji dari Pemerintah terkait dengan penyediaan lahan cadangan seluas 200 hektare.
“Sesuai catatan Petani Galela, tahun 2014 terjadi perselisihan antara petani dengan PT.BWLM, di mana masalah itu di awali dengan penggusuran beberapa lahan perkebunan petani dengan alasan mereka pemegang HGU yang sah, dan para petani pada dasarnya mempertahankan tanah dan tanaman perkebunan untuk memenuhi kebutuhan hidup lewat lahan yang ditempatti,´jelas Ode.
Sebelumnya Ode menerangkan, permasalahan sepanjang waktu sejak tahun 1991, salah satunya adalah persoalan Agraria antara petani Galela dan PT Global Agronusa Indonesia (GAI) sampai sekarang, ketika peralihan HGU ke PT Buana Wira Lestari Musa (BWLM).
“Jika di lihat dari permasalahan yang dialami maka sangat jauh dari semangat UU 1945, pasal 33 kemudian sesuai UUPA No 5 tahun 1960. Pasal 34 diperkuat dengan pasal 30 ayat 1 yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah, huruf a : warga negara Indonesia : huruf b : badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Ayat 2 orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat -syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1,” urainya.
Dikatakan, sesuai pasal ini menjelaskan bahwa dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengendalikan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi sarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Usaha, jika ia tidak memenuhi sarat tersebut.
“Jika hak guna usaha, yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut -maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak – hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan -ketentuan yang ditetapkan segan peraturan pemerintah,” terangnya.
Sehingga kata dia, pemerintah berhak mencabut atau membatalkan HGU, berdasarkan perintah pasal 31 hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah. Junto pasal 34 tentang ; hak guna usaha hapus karena huruf d ; di cabut untuk kepentingan umum. Itu artinya pemerintah Provinsi Maluku Utara berhak mencabut dan membatalkan hak guna usaha.
Dia juga mengungkapkan, awalnya petani di janjikan untuk disediakan lahan cadangan sebesar 2000 hektare sesuai kesepakatan perjanjian persetujuan prinsip Gubernur Provinsi Maluku, BPN Maluku Utara dan PT GAI.
Kesepakatannya adalah, akan disediakan lahan cadangan seluas 200 hektare, dan mewajibkan PT GAI melakukan Land Cleaning lahan petani seluas 200 Ha. Akan tetapi sampai sekarang tidak dilakukan , atas alasan itulah petani kembali mengambil alih lahan yang sebelumnya di miliki,” jelasnya.
Kepada media ini pula, Ode pun mengungkapkan tentang persoalan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 250 pekerja. Dimana tindakan PHK yang dilakukan oleh PT.KSO tanpa keterangan yang jelas. Dia juga membeberkan, awalnya PT KSO mengalihkan status pekerja dan pekerja tetap menjadi pekerja borongan. Pengalihan ini pun dilakukan tanpa ada alasan yang jelas.
“ Sebagai bentuk solidaritas Petani dan Galela dan pekerja yang di PHK sepihak akan tetap melakukan upaya sehingga apa yang menjadi hak mereka dapat di selesaikan secara baik sehingga tidak ada yang dirugikan,” tegas Ode.
Ketegasan mereka yang berikut adalah pihak BPN Maluku Utara untuk segera menjelaskan terkait surat balasan Komnas HAM Tahun 1991 setelah dilakukan Ploting tahap pertama dan sudah diberikan kepada petani berupa pelepasan lahan seluas 250 hektare. Mereka juga mendesak agar Gubernur dan DPRD Provinsi Maluku Utara memanggil kepada Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Pertanian dan Kepala BPN Maluku Utara karena diduga dalam perpanjangan HGU dinilai melanggar ketentuan UU Pokok Agraria. (TS 02)
Discussion about this post