Puisi Perlawanan: Suara Kritis terhadap Imperialisme Freeport di Papua

by
01/02/2025
Foto ini diedit oleh akun Facebook Krl Marx

titastory, Jayapura – Sebuah puisi bertajuk Melawan Imperialisme Freeport yang diunggah oleh akun Facebook Krl Marx memantik diskusi luas di media sosial. Puisi tersebut menggambarkan realitas eksploitasi sumber daya alam Papua oleh perusahaan tambang raksasa Freeport McMoRan, yang telah menancapkan bisnisnya di tanah Papua sejak 1936.

Dalam bait-baitnya, puisi ini menyoroti ketimpangan ekonomi yang terjadi di Papua. Meskipun wilayah ini kaya akan emas dan mineral, kesejahteraan masyarakat lokal justru jauh dari harapan.

Gunung-gunung menangis lirih, hutan rimba tak lagi teduh, sungai-sungai keruh berkeluh, sebab emas dijarah rakus dan gigih,” tulis pengunggah puisi, menggambarkan dampak tambang terhadap lingkungan.Tidak hanya soal lingkungan, puisi ini juga menyinggung dominasi ekonomi asing yang memperparah ketimpangan sosial di Papua.

“Freeport menancap kukunya, imperialisme berwajah besi, anak negeri menjadi tamu di tanahnya, kemakmuran jauh dari genggaman jari,” lanjut penggalan puisi itu. Kritik ini mengarah pada kenyataan bahwa sebagian besar keuntungan tambang tidak dinikmati oleh masyarakat Papua sendiri, melainkan mengalir ke perusahaan asing dan elite ekonomi di luar daerah.

Tambang PT Freeport Indonesia di Timika, Kabupaten Mimika, Papua – (Foto: Jubi:IST)

Melawan Imperialisme Freeport

Di tanah Papua, kaya raya,

Emas mengalir dari perut bumi,

Namun tangan asing datang meraba,

Sejak 1936 hingga kini.

Gunung-gunung menangis lirih,

Hutan rimba tak lagi teduh,

Sungai-sungai keruh berkeluh,

Sebab emas dijarah rakus dan gigih.

Freeport menancap kukunya,

Imperialisme berwajah besi,

Anak negeri menjadi tamu di tanahnya,

Kemakmuran jauh dari genggaman jari.

Oh Papua, tanah surgawi,

Sampai kapan kau terus dicabik?

Bangunlah, suara perlawanan nyaring,

Agar tanahmu kembali berdaulat dan asri.

Eko-vinsent 

#Jiwaumumnetral

Potret Kerusakan hutan di Papua. Foto: Ist

Unggahan ini kemudian mendapat banyak respons dari warganet yang mendukung isi puisi tersebut. Beberapa pengguna media sosial menganggap puisi ini sebagai bentuk ekspresi kegelisahan terhadap eksploitasi ekonomi dan lingkungan di Papua. Ada pula yang melihatnya sebagai panggilan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang isu keadilan sosial di tanah Papua.

Selain menggugah kesadaran, puisi ini menjadi refleksi atas berbagai perlawanan yang pernah dilakukan masyarakat Papua terhadap praktik imperialisme ekonomi di wilayah mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, seruan nasionalisasi Freeport semakin kuat, terutama setelah pemerintah Indonesia berhasil mengambil alih mayoritas saham perusahaan tersebut pada 2018. Namun, menurut berbagai pengamat, penguasaan saham mayoritas oleh Indonesia belum cukup untuk memastikan kesejahteraan masyarakat Papua yang masih menghadapi kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan, serta minimnya infrastruktur dasar.

Dalam penutup puisinya, Krl Marx menulis, “Oh Papua, tanah surgawi, sampai kapan kau terus dicabik? Bangunlah, suara perlawanan nyaring, agar tanahmu kembali berdaulat dan asri.” Ungkapan ini dianggap sebagai seruan moral agar rakyat Papua terus memperjuangkan hak mereka atas tanah kelahiran dan kekayaan alamnya.

Puisi ini bukan hanya sekadar karya sastra, tetapi juga menjadi refleksi atas dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang masih menyelimuti Papua hingga hari ini. Dengan semakin banyaknya suara yang menyerukan keadilan, harapan pun muncul bahwa masa depan Papua akan lebih baik, di mana masyarakat lokal bisa benar-benar merasakan manfaat dari kekayaan tanah mereka sendiri.

Penulis: redaksi
error: Content is protected !!