titastory, Ambon – Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) XI tingkat Provinsi Maluku yang digelar di Gedung Siwalima, Kota Ambon, diwarnai protes dari kontingen Kabupaten Maluku Tenggara (Malra). Mereka menilai keputusan juri tidak objektif dan terkesan dipengaruhi faktor subjektif.
Acara yang berlangsung meriah ini mengusung tema “Bernyanyilah bagi Tuhan sebagai orang yang diselamatkan”(Kisah Para Rasul 16:25-29) serta subtema “Melalui Pesparawi XI Provinsi Maluku kita tingkatkan ketahanan iman menghadapi perubahan zaman”. Namun, euforia perayaan berubah menjadi kekecewaan setelah pengumuman juara.

Perwakilan kontingen Maluku Tenggara, Bernard Daud Putnarubun, menyatakan kekecewaannya atas hasil lomba yang dianggap tidak adil. Ia menyoroti bahwa tidak satu pun peserta dari Maluku Tenggara lolos ke tingkat nasional.
“Saat Musda, saya sudah melihat gejalanya. Anak-anak Maluku Tenggara sama sekali tidak diloloskan ke tingkat nasional,” ujarnya usai pengumuman hasil lomba, Rabu (19/2).
Bernard menegaskan bahwa kritik ini bukan sekadar ketidakpuasan atas kekalahan, melainkan soal transparansi dan akuntabilitas dalam penjurian. Ia juga menyinggung anggaran besar yang telah dikeluarkan daerahnya untuk mengikuti ajang ini.

“Kami datang dengan ekspektasi tinggi dan telah mengeluarkan anggaran miliaran rupiah untuk kegiatan ini. Jangan beralibi bahwa ini semua demi pekerjaan Tuhan, sementara keadilan dalam penjurian diabaikan,” katanya.
Menurutnya, satu-satunya kategori yang berhasil diraih Maluku Tenggara hanyalah juara tiga di PDSC. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mengingat kontingen mereka dilatih oleh seorang pelatih bersertifikasi internasional.
“Pelatih kami memang muslim, tetapi reputasinya sudah diakui di kancah internasional. Enam paduan suara terbaik dunia, salah satunya adalah binaan beliau,” ujarnya.
Ia juga membandingkan pengalaman dalam ajang Pesparani, lomba paduan suara Gereja Katolik tingkat nasional, di mana Maluku berhasil meraih juara umum.
“Yang melatih kontingen Pesparani Maluku di tingkat nasional adalah orang yang sama. Tapi saat Pesparawi di tingkat provinsi, justru kami kalah. Ini yang membingungkan,” tambahnya.
Bernard berharap ada kejelasan dari pihak juri terkait aspek penilaian, sehingga kontingen bisa memahami di mana letak kekurangannya.
“Kami ingin tahu aspek apa yang menjadi kelemahan kami. Supaya ke depan kami bisa memperbaiki,” katanya.
Ia menduga hasil ini lebih banyak dipengaruhi unsur subjektivitas daripada penilaian teknis yang sebenarnya.
“Saya merasa ini lebih pada perasaan suka dan tidak suka. Seolah-olah ada yang merasa tersaingi,” ungkapnya.
Menanggapi protes ini, Rony Loppies salah satu juri dalam perlombaan ini menyatakan bahwa dalam sebuah perlombaan selalu ada pihak yang puas dan tidak puas.
“Yang terpenting juri tidak melakukan kesalahan dalam menilai atau menyimpang dari aturan yang ada,” ujarnya singkat saat dikonfirmasi.
Penulis: Edison Waas Editor: Christ Belseran