titastory.id, jakarta – Pemimpin organisasi kemasyarakatan, Pemuda Bravo Lima, Ali Fanser Marasabessy, menekan dua mahasiswa Maluku yang protes kerusakan alam dekat Teluk Weda, Pulau Halmahera, dalam aksi depan kantor PT Indonesia Weda Bay Industrial Park di Jakarta, Kamis 1 Agustus lalu.
Ali Fanser, lewat Tiktok, menuduh Christina Rumahlatu, salah satu demonstran, menghina Letjen (Purn) Suaidi Marasabessy, salah satu pendiri Bravo Lima, dalam aksi tersebut. Dia menekan Rumahlatu, sesama orang asal Maluku, agar minta maaf kepada Suaidi Marasabessy.
Protes tersebut dilakukan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional, dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur. Mereka minta IWIP memperbaiki kinerja penambangan nikel di Halmahera serta mengganti kerusakan lingkungan hidup, termasuk banjir dan polusi air, yang melanda daerah sekitar areal IWIP.
Dalam videonya dengan akun Tiktok @alipanser, Ali Marasabessy mengatakan, “Apabila dalam waktu 2×24 jam permintaan maaf itu tidak dilakukan maka resikonya ditanggung sendiri.”
Ali Fanser tak menerangkan apa yang dimaksud “resiko.” Dia juga belum menjelaskan hubungan kekerabatan dengan Suaidi Marasabessy di luar kesamaan marga mereka.
Ali Fanser adalah ketua Pemuda Bravo Lima, sebuah organisasi kepemudaan yang dimulai sejak pemilihan presiden tahun 2019. Ia berada di bawah naungan Pejuang Bravo Lima dengan tokoh lima jenderal, termasuk Suaidi Marasabessy maupun Menteri Koordinator Investasi dan Maritim Luhut Binsar Pandjaitan.
@alifanser kronologis dari video saya yang semalam, tentang para pendemo yang di pimpin oleh #thomasyapet #thomasmadilis bersama teman teman nya di PT. IWIP, yang berkantor pusat di Gedung SOPODEL kuningan jakarta. #thomasyapet #thomasmadilis #dpppejuangbravolima #dpppemudabravolima #akumaluku #alifanser #cybermabespolri #poldametrojaya
Suaidi Marasabessy kelahiran Pulau Haruku, dekat Ambon, terakhir menjabat sebagai Kepala Staf Umum TNI pada tahun 1999−2000. Ia juga pernah menjabat sebagai Panglima Kodam VII/Wirabuana di Makassar pada tahun 1998−1999. Sesudah pensiun dari militer, Suaidi Marasabessy memiliki saham dalam beberapa perusahaan tambang, menurut Jatam.
Dalam laporannya, Jatam mengungkap peranan para pensiunan jenderal militer dan polisi dalam berbagai perusahaan tambang di Indonesia. Keberadaan mereka, entah sebagai pemilik saham, komisaris atau direktur, membuat sengketa lahan dan ekologis, antara warga dan perusahaan, sulit dicarikan jalan keluar yang adil. Kebanyakan kebijakan pemerintah terkesan tebang pilih bila ada jenderal dalam jajaran perusahaan.
“Ada banyak aktor polisi dan tentara yang ternyata terhubung langsung dengan bisnis pertambangan dan memiliki posisi dan jabatan penting,” kata Muhammad Jamil dari Jatam kepada titastory.
Beberapa orang Bravo Lima masuk dalam laporan Jatam. Mereka termasuk mantan menteri agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi (komisaris PT Antam dan PT Toba Sejahtera), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan (komisaris PT Toba Bara Sejahtera). Sedang Suaidi Marasabessy disebut sebagai komisaris PT Kutai Energy.
Christina Rumahlatu mahasiswa asal Pulau Seram, kini kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta, dimana ada beberapa pengacara terkemuka mengajar, termasuk Haris Azhar, yang pernah digugat oleh Luhut Pandjaitan, soal potensi emas di Blok Wabu, Papua, maupun Bivitri Susanti, yang berperan dalam film dokumenter “Dirty Vote”, soal Pemilu 2024.
Christina Rumahlatu juga ketua umum Mahasiswa Saka Mese Seram Barat. Dia menaruh perhatian pada hak asasi manusia serta krisis iklim, termasuk hak masyarakat adat di Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur.
Pada Kamis tersebut, ketika protes berlangsung di Kantor IWIP, Sopo Del Tower, Kuningan, Suaidi Marasabessy terlihat menghampiri para demonstran sehingga terjadi dialog. Marasabessy menyatakan telah berkoordinasi dengan Bupati Halmahera Tengah Ikram Malan Sangadji untuk menyelesaikan persoalan.
“Saya sudah menghubungi Bupati Halmahera Tengah untuk menangani banjir tersebut,” kata Marasabessy.
Dia mengatakan banjir yang terjadi karena curah hujan yang tinggi sehingga tanggul yang ada jebol.
“Banjir itu karena tanggul jebol,” katanya di depan demonstran.
Argumentasi Suaidi Marasabessy memancing Christina Rumahlatu buat lantang membantah, “Dari sana tanggul jebol berulang kali. Sekarang terjadi karena ada tanggul yang jebol. Ya, karena apa? Hutan-hutan sudah di babat. Jadi airnya naik. Dari yang lain-lain sampai ini.”
“Bapak Jendral yang kami hormati silahkan bapak kemari. Bapak kan ini kita punya Ama to? Bapak kamari, Bapak lihat itu kasian masyarakat sudah menderita di sana. Bapak kan di IWIP to? Bapak tanggung jawab itu. Lima hari banjir bandang atau jangan-jangan bapak mau usir orang Halmahera dari gunung tanah?” katanya.
Christina Rumahlatu berpendapat ia kesempatan berharga bisa berhadapan dengan Suaidi Marasabessy. Dia lantang mempertanyakan komitmen dan keprihatinan Marasabessy sebagai putra Maluku yang ada di lingkaran para penguasa dan juga PT IWIP. Ia menyesalkan tak ada niat untuk membantu masyarakat yang saat ini dililit bencana banjir setiap musim penghujan.
“Bapak pun jendral, itu untuk apa? Lalu bagaimana? Itu masyarakat seng (tidak) ada tanggung jawab. Yang tenggelam itu masyarakatnya, bukan Bupati, Pak. Setiap kali kami bertemu dengan Bapak jawabnya tidak pasti. Bapak punya tanggung jawab Itu di mana?”
“Sapa bale batu batu gepe dia, sapa langgar sumpah bale bunuh dia Bapa. Ini sumpah orang para Moyang dan leluhur bapa. Orang tua menderita, dan Bapak orang Maluku. Bapak Jendral, tapi Bapa seng bisa bantu.”
“Kami malu punya Bapak. Jendral Marasabessy penjual tanah. Penghianat rakyat Maluku. Tidak ada gunanya jendral untuk bunuh orang. Sapa bale batu batu gepe dia. Sapa langgar sumpah, sumpah bunuh dia.”
“Saya sudah ngomong dengan Bupati,” kata Suaidi, lagi.
Protes terhadap IWIP adalah luapan kekecewaan masyarakat atas bencana banjir di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, Maluku Utara pada 21 hingga 24 Juli lalu.
Tak hanya Christina Rumahlatu, akun Tik-tok atas nama @Direktur_Facebook milik mahasiswa Thomas Madilis, juga disebutkan Ali Fanser Marasabessy dalam videonya. Dia juga menuduh Thomas Madilis menyebarkan video aksi guna “menghina” Suaidi Marasabessy. Ali Fanser membantah bahwa Suaidi Marasabessy punya saham atau bekerja buat IWIP. Dia menekankan bahwa protes terhadap IWIP boleh saja namun menghina “pemimpin” dia tak bisa dia terima. Thomas Mandilis, juga mahasiswa di Jakarta, adalah koordinator lapangan dalam demonstrasi terhadap IWIP.
Pembangunan IWIP dimulai pada tahun 2018. Ia sebuah kawasan industri bernilai miliaran dolar AS seluas 5.000 hektar yang berlokasi di Desa Lelilef, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Dalam sebuah laporan Climate Rights International dari California, dinyatakan bahwa pembangunan kawasan IWIP dengan cepat merusak hutan, mengambil lahan pertanian, degradasi sumber air, dan kerusakan sumber perikanan. Pembangunan dan operasi IWIP mempersulit, jika bukan mustahil, buat warga Lelilef untuk meneruskan cara hidup tradisional mereka.
Penebangan hutan, pencemaran udara serta air, dan perusakan habitat akibat kegiatan pertambangan dan peleburan nikel telah merusak lingkungan. Kegiatan penambangan dan peleburan nikel mengancam hak penduduk setempat untuk mendapatkan air bersih, karena kegiatan industri dan deforestasi mencemari saluran air yang menjadi tumpuan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Masyarakat juga khawatir bencana banjir yang semakin sering terjadi akibat deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan nikel, menurut Climate Rights International.
Demikian juga peta deforestasi yang dikeluarkan oleh Forest Watch Indonesia di sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS), superti DAS Gemaf, DAS Sadea, DAS Waleh, dan Sub DAS KObe di Kawasan Weda Tengah, Weda Utara dan Timur, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Teilhat jelas penggundulan hutan terjadi akibet aktifitas pertambangan nikel.
Vigel Faubun dari Aksi Kalesang Lingkungan mengatakan ujaran “membunuh orang Maluku” seharusnya dipahami sebagai pembunuhan dalam konteks ruang hidup, konteks hak asasi, konteks hak adat. “Apa yang diteriakan oleh pemuda Maluku ada benarnya, soal ruang hidup dan hak orang Maluku dan Maluku Utara.”
Alfarhat Kasman dari Jatam menyampaikan dalam demonstrasi bahwa banjir setinggi hingga tiga meter itu melumpuhkan Desa Lelilef Woebulan, Lukulamo, hingga area transmigran yang meliputi Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya di Kecamatan Weda Tengah.
“Banjir terus meluas ke Sagea hingga area Transmigran Waleh di Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara yang menyebabkan sedikitnya 1.670 jiwa terpaksa mengungsi,” kata Kasman.
Sementara di Halmahera Timur, lanjut dia, banjir juga merendam setidaknya 12 desa. Selain banjir, longsor terjadi di beberapa ruas jalan lintas Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan di sepanjang Jalan Uni-Uni, Halmahera Timur. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Kelurahan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
Alfarhat Kasman menyampaikan, bencana banjir berulang ini dipicu oleh penggusuran hutan besar-besaran di Halmahera. Global Forest Watch mencatat, sejak 2021 hingga 2023, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektar tutupan pohon, setara dengan penurunan 13% tutupan pohon sejak tahun 2000, dan melepaskan emisi gas rumah kaca sebesar 22.4 Mt CO₂e.
“Kehilangan tutupan pohon yang dominan terjadi pada kawasan konsesi penambangan nikel tersebut, menyebabkan berbagai degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi,” katanya.
Para demonstran menuntut PT IWIP bertanggung jawab atas terjadinya banjir bandang di Halmahera, maupun praktik-praktik pelanggaran aturan keselamatan kerja yang membuat kematian beberapa pekerja.
Edison Waas dan Hijrah
Discussion about this post