Protes Kerusakan Ekologis di Forum Internasional, Aktivis Greenpeace dan Anak Muda Papua Ditangkap

03/06/2025
Aktivis Greenpeace Indonesia membentangkan banner bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” (Tambang Nikel Menghancurkan Kehidupan) saat Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno memberikan sambutan di acara Indonesia Indonesia Critical Minerals Conference 2025 hari ini di Jakarta. Foto: Dhemas revianto Green Peace

 titastory, Jakarta – Aksi protes damai yang dilakukan aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat di forum Indonesia Critical Minerals Conference 2025 berujung pada penangkapan. Insiden terjadi saat Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, tengah menyampaikan pidato di hadapan peserta forum yang dihadiri pelaku industri nikel dari berbagai negara.

Dalam suasana yang semula tenang, tiba-tiba Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dan Paulina—seorang aktivis muda Papua—mengangkat poster dan berteriak menyuarakan penyelamatan ekologi Raja Ampat. “Save Raja Ampat, Papua bukan tanah kosong!” seru mereka, disusul pembentangan pamflet bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.

Aksi itu sontak menarik perhatian peserta konferensi dan aparat keamanan. Petugas segera mengamankan lima orang yang terlibat dalam aksi, yakni Iqbal Damanik, Paulina, serta dua relawan Greenpeace lainnya, Eka dan Ade Rully.

Menurut informasi yang dihimpun titastory.id, keempat aktivis tersebut hingga kini masih ditahan di lokasi acara dan tengah menjalani proses pemeriksaan. Pihak Greenpeace memastikan bahwa mereka telah didampingi tim hukum dan berharap proses pemeriksaan berjalan transparan dan cepat.

Aksi ini menjadi sorotan karena dilakukan di tengah berlangsungnya forum penting yang membahas arah masa depan industri mineral kritis Indonesia, termasuk nikel yang kini menjadi komoditas strategis nasional. Greenpeace menilai bahwa suara masyarakat terdampak dan isu kerusakan ekologi harus diberi ruang, terutama dalam forum-forum yang selama ini didominasi perspektif industri dan investasi.

Aktivis Greenpeace Indonesia membentangkan banner bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” (Tambang Nikel Menghancurkan Kehidupan) saat Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno memberikan sambutan di acara Indonesia Indonesia Critical Minerals Conference 2025 hari ini di Jakarta.
Foto: Dhemas revianto Green Peace

Protes Aktivis Lingkungan di Forum International

Sebelumnya, aksi damai mewarnai pelaksanaan Indonesia Critical Minerals Conference 2025 yang berlangsung di Jakarta pada Selasa, 3 Juni 2025. Di tengah pidato Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat membentangkan spanduk bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.

Aksi ini tidak hanya terjadi di ruang konferensi, tetapi juga di area pameran yang dikelilingi stan perusahaan tambang dan pengunjung. Pesan-pesan protes terpampang mencolok, menggugat narasi transisi energi yang selama ini dikaitkan dengan pertambangan nikel.

Menurut Greenpeace, pertambangan dan hilirisasi nikel di berbagai daerah tidak hanya meninggalkan jejak kerusakan ekologis, tetapi juga memperparah krisis sosial di masyarakat. Industri ini, kata Greenpeace, menebang hutan, mencemari sumber air, dan merusak laut, sementara proses pemurniannya masih menggunakan PLTU berbahan bakar batu bara (captive power), yang ironisnya bertentangan dengan semangat energi hijau.

“Saat pemerintah dan oligarki tambang sibuk bicara masa depan nikel, masyarakat di tapak industri justru membayar harga yang sangat mahal,” ujar Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam keterangan tertulis.

Iqbal menyebutkan, perluasan industri nikel telah berdampak serius di sejumlah wilayah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Pulau Obi. Kini, ancaman itu semakin mendekat ke Raja Ampat, wilayah yang selama ini dikenal sebagai “surga terakhir di Bumi”.

Dari hasil penelusuran lapangan yang dilakukan Greenpeace pada tahun lalu, terungkap bahwa aktivitas pertambangan telah berlangsung di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran—tiga pulau kecil di Raja Ampat yang seharusnya dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ketiga pulau itu masuk kategori pulau kecil yang secara hukum dilarang untuk dieksploitasi tambang.

Greenpeace mencatat, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami di tiga pulau tersebut telah dibabat. Dokumentasi lapangan menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir dan berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem laut.

Selain Gag, Kawe, dan Manuran, dua pulau kecil lain yang terancam tambang adalah Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau itu hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari gugusan karst Piaynemo yang gambarnya tercetak di uang pecahan Rp100.000.

Potret aktivitas tambang di Pulau Kawei yang berbatasan dengan areal konservasi. Foto: Melanesia Video Maker/Steven Saroi

Raja Ampat adalah rumah bagi 75 persen spesies karang dunia dan lebih dari 2.500 spesies ikan. Kawasan ini juga memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung, dan telah ditetapkan UNESCO sebagai geopark global.

“Tambang nikel sudah masuk kampung kami di Manyaifun dan Batang Pele,” kata Ronisel Mambrasar, anggota Aliansi Jaga Alam Raja Ampat. “Laut kami terancam, dan kehidupan sosial berubah. Dulu kami hidup harmonis, sekarang mulai ada konflik.”

Kondisi air laut yang berwarna merah kecokalatan di kawasan mangrove di pulau Kawei, diduga akibat aktivitas tambang nikel. Foto: Melanesia Video Maker/Steven Saroi

Greenpeace menyerukan agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan hilirisasi nikel yang selama ini diagungkan sebagai jalan transisi energi nasional. Menurut mereka, kebijakan itu justru menghasilkan paradoks: di balik narasi “transisi hijau”, terjadi kerusakan lingkungan masif, perampasan hak masyarakat adat, serta pelemahan ruang hidup rakyat.

“Transisi energi tidak bisa dibayar dengan hancurnya ekosistem dan hilangnya kedaulatan masyarakat,” kata Iqbal.

error: Content is protected !!