TITASTORY. ID – Kasus kematian yang terjadi dalam praktik prostitusi daring berbasis kekerasan terhadap perempuan dan anak menggemparkan ruang publik kita.
Anak perempuan malang itu akhirnya merenggang nyawa setelah mengalami kekerasan pada alat reproduksi dan diperlakukan sangat tidak manusiawi.
Jasadnya ditemukan di gorong-gorong yang jaraknya cukup dekat dengan Pos Polisi di Kabupaten Maluku Tengah, Kecamatan Kota Masohi.
Kita haturkan doa semoga saudari kita, adik perempuan kita mendapatkan tempat terindah disisi Tuhan, keluarganya diberikan ketabahan dan pelakunya dihukum setimpal.
Jejak krimanal yang melibatkan dua pengguna jasa seks tersebut menjadi fokus perhatian sejumlah media mainstream, keduanya kini tengah menjalani proses hukum sebagai tersangka pelaku pembunuhan.
Namun, sisi lain yang luput dilacak oleh nalar publik ialah bagaimana aktivitas prostitusi itu bisa ada bahkan potensial berkembang masif?
Apakah hadirnya prostitusi sebagai dampak dari kecenderungan perilaku hedonis (hasrat pemenuhan gaya hidup), materialis (suka mencari kenikmatan ragawi) ataukah hasil dari kegagalan pemerintah dalam menjawab realitas sosial yang ada (public policy yang tidak tepat tujuan, sasaran dan jauh dari kebutuhan publik).
Tatkala ada perempuan dewasa atau dalam usia anak yang terdorong masuk ke dalam jurang prostitusi dan kita anggap itu sebagai kehendak mereka sendiri, maka paradigma seperti itu sebaiknya segera direvisi.
Sebab mengeksploitasi tubuh demi keberlangsungan bertahan hidup terkadang adalah satu-satunya jalan terakhir bagi mereka yang terdesak perekonomian.
Rata-rata mereka adalah perempuan yang situasi keluarganya tidak sejahtera, hidup dalam kemiskinan, ada pula perempuan dalam rantai mucikari (human trafficking), perempuan korban eksploitasi orang-orang terdekat, bahkan menjadi korban dari gratifikasi seks.
Kerentanan inilah yang harus jeli diurai oleh masyarakat yang memiliki kesadaran terutama pemangku kebijakan.
Sebelum kita berpikir untuk menghujat dan menghakimi mereka yang melakoni peran menjual jasa pemenuhan kebutuhan seks, sebaiknya energi itu dialihkan untuk menelaah kembali kebijakan pemerintah yang relevan menjawab tantangan hidup kaum rentan ini.
Sebab lagi dan lagi perempuan jualah yang selalu nestapa, menjadi korban secara sistemik dan struktural, hidupnya dirundung berbagai kerentanan, ketidakpastian dan penderitaan.
Semua realitas yang ada perlu dibedah dengan sejumlah tanya; Apakah sasaran pembangunan telah menyentuh aspek paling urgen dalam menjawab kebutuhan masyarakat?
Adakah diskriminasi pembangunan? Apakah produk kebijakan terindikasi bercorak nepotis yang mana manfaatnya hanya dirasa oleh sebagian kelompok yang memiliki akses dengan kekuasaan?
Apakah realisasi politik anggaran sudah tepat menyasar pada kepentingan rakyat?
Apa saja program pemberdayaan bagi masyarakat terkhusus bagi perempuan di daerah ini? Bagaimana hasilnya?
Apakah ada regulasi (Peraturan Daerah) yang dibuat untuk menjamin perlindungan terhadap perempuan dan anak? Apakah ada Perda yang mengatur penghapusan prostitusi?
Hingga, sejauh mana keseriusan pemerintah daerah dalam menciptakan lapangan kerja?
Jawaban dari pertanyaan diatas dapat menjadi tolak ukur apakah pemerintah sebagai pemeran utama telah membasmi prostitusi ataukah justru memberi cela eksisnya aktivitas prostitusi.
Bagi saya, fakta kematian anak akibat prostitusi adalah simbol atas buruknya kinerja pemerintah daerah kita hari ini.
Prostitusi jelas-jelas merupakan perbuatan asusila yang merusak moralitas generasi bangsa serta bertolak belakang dengan hukum yang ada. Mengapa bisa begitu eksis dan terkesan dibiarkan?
Padahal membiarkannya sama dengan menghendaki terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Pemerintah daerah (Bupati dan DPRD) ibarat koki yang meracik segala kebijakan untuk menjawab tantangan zaman. Lantas, bagaimana solusi Pemerintah Daerah?
Siklus prostitusi daring tak akan putus, jika pemerintah tidak responsif dan tidak ada upaya melahirkan adanya suatu publik policy anti prostitusi.
Meski memang tidak semua pemerintah daerah memiliki regulasi yang berpihak terhadap Perlindungan Perempuan dan Anak. Bahkan banyak kepala daerah yang tidak paham potensi kejahatan seksual di wilayahnya.
Seyogyanya pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tengah hadir menekan praktik asusila tersebut disertai skema atau mekanisme yang terkonsep dengan baik.
Penanganan masalah prostitusi harus menjadi skala prioritas pemerintah daerah agar tidak ada korban selanjutnya. Banyak yang bisa dilakukan sebagai langkah preventif.
Misal, terbitkan Peraturan Daerah yang menertibkan penyalahgunaan bangunan hotel, penginapan, indekos dan kontrakan, cabut izin operasi bangunan jika terdapat praktik prostitusi.
Bentuk Satgas khusus guna mengawasi aplikasi prostitusi daring berikutnya gencarkan razia yang melibatkan Satpol PP, Tim Penggerak PKK, Kades, Camat hingga Lurah untuk memantau tempat-tempat yang disinyalir potensial disalahgunakan sebagai aktivitas transaksi lendir.
Tingkatkan edukasi bahaya penyakit menular seksual (PMS) dan buka layanan tes direksi narkoba dan HIV gratis oleh dinas kesehatan kepada masyarakat luas dan lain sebagainya.
Pastikan, jangan lagi ada perempuan yang mengalami kematian gradual karena kerusakan alat reproduksi akibat prostitusi. Perempuan harus diperkuat dengan serangkaian kebijakan, tak boleh selamanya berada pada pihak yang dilemahkan.
Prostitusi adalah kekerasan bagi perempuan, maka hanya ada satu sikap lawan!.
#LawanProstitusi#DukungPengesahan RUUTPKS (**)
Discussion about this post