PPMAN Desak Kementrian ATR/BPN Audit SK HGU PT. Krisrama di Wilayah Adat Soge Natarmage dan Goban Runut, Sikka

01/02/2025
Tim Hukum yang langsung dipimpin oleh Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus (Kemeja Hijau), didampingi advokat pembela masyarakat adat Gregorius B. Djako(Kemeja putih), serta Pengurus Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nasional Jhon Balla (Kemeja Batik mendatangi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 31 Januari 2025. Foto: PPMAN

titastory, Jakarta – Pengurus Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendatangi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 31 Januari 2025. Mereka menuntut audit terhadap penerbitan Surat Hak Guna Usaha (HGU) PT. Krisrama yang mencakup wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Nangahale, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Kedatangan PPMAN dipimpin langsung oleh Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus, didampingi advokat pembela masyarakat adat Gregorius B. Djako, serta Pengurus Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nasional Jhon Balla. Mereka menilai penerbitan SK HGU Nomor: 1/HGU/BPN.53/VII/2023 dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat setempat dan mengabaikan hak konstitusional mereka atas tanah adat.

Wilayah adat Soge Natarmage dan Goban Runut telah ditempati masyarakat adat secara turun-temurun dan memiliki nilai spiritual, budaya, serta ekonomi yang penting. Namun, HGU yang diberikan kepada PT. Krisrama memicu konflik agraria, ketegangan sosial, dan kerusakan lingkungan. PPMAN menegaskan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat, serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.

Tim Hukum yang langsung dipimpin oleh Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus (Kemeja Hijau), didampingi advokat pembela masyarakat adat Gregorius B. Djako(Kemeja putih), serta Pengurus Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nasional Jhon Balla (Kemeja Batik mendatangi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 31 Januari 2025. Foto: PPMAN

Selain itu, penerbitan SK HGU ini dinilai melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yang mengharuskan persetujuan masyarakat adat sebelum wilayah mereka digunakan untuk kepentingan lain. “Wilayah adat bukan sekadar lahan kosong, tetapi pusat kehidupan dan identitas masyarakat adat. Penerbitan SK HGU tanpa persetujuan mereka adalah bentuk pengabaian hak dan ketidakadilan,” kata Syamsul Alam Agus.

Di tengah polemik ini, delapan anggota masyarakat adat Soge Natarmage dan Goban Runut saat ini menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Sikka. Dua di antaranya adalah perempuan. Mereka dituduh melakukan pelanggaran hukum setelah mempertahankan tanah adat mereka dari klaim PT. Krisrama. PPMAN menyebut penahanan ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

Situasi semakin memburuk setelah PT. Krisrama menggusur rumah warga dan merusak tanaman produktif mereka pada 22 Januari 2025. Penggusuran ini menyebabkan hilangnya salah satu barang bukti yang sedang digunakan dalam persidangan di PN Maumere. Gregorius B. Djako, kuasa hukum para terdakwa, menilai tindakan ini memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 170 Ayat (1) dan Pasal 406 Ayat (1) KUHPidana. Ia menegaskan bahwa langkah hukum akan ditempuh terhadap pihak perusahaan.

Suasana penggusuran rumah masyarakat adat Nanghale, Sikka oleh PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), perusahaan milik Keuskupan Maumere, menggunakan ekskavator. (Foto tangkapan layar video warga Nanghale)

PPMAN mendesak Menteri ATR/BPN segera mengaudit penerbitan SK HGU PT. Krisrama. Mereka juga menuntut pencabutan HGU jika ditemukan pelanggaran hukum, penghentian aktivitas perusahaan di wilayah adat, serta perlindungan hukum bagi masyarakat adat.

Syamsul Alam Agus menegaskan bahwa pemerintah harus berpihak pada masyarakat adat, bukan korporasi. “Negara seharusnya hadir sebagai pelindung hak-hak masyarakat adat, bukan sebagai alat legitimasi perampasan tanah adat,” tegasnya.

PPMAN menegaskan akan terus mengawal kasus ini dan mengambil langkah hukum lebih lanjut jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

Puluhan perempuan adat Nanghale mencoba menghadang eksavator yang akan menggusur kebun dan rumah-rumah mereka. (Foto: Tangkapan layar video warga Nanghale)

Pj Bupati: Warga Diminta Segera Keluar dari Tanah HGU

Sementara itu, Penjabat (Pj) Bupati Sikka, Adrianus Firminus Parera, mengeluarkan pernyataan tegas terkait status Hak Guna Usaha (HGU) PT Krisrama dan program redistribusi tanah eks HGU Nangahale. Dalam rilis resminya pada 30 Januari 2025, ia menegaskan bahwa siapa pun yang masih berada di atas tanah HGU harus segera meninggalkan lokasi.

Pemerintah, melalui Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Nusa Tenggara Timur, telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 1/HGU/BPN.53/VII/2023 pada 20 Juli 2023, yang memberikan HGU kepada PT Krisrama. Tanah tersebut mencakup 3.258.620 meter persegi, terdiri atas 2.409.520 meter persegi di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, dan 849.000 meter persegi di Desa Runut, Kecamatan Waigete.

Sebagai dasar hukum atas kepemilikan ini, sepuluh sertifikat HGU dengan nomor HGU.0004 hingga HGU.0013diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sikka pada 28 Agustus 2023. Parera menegaskan bahwa PT Krisrama adalah pemegang hak sah atas tanah tersebut, sehingga tidak ada alasan bagi pihak mana pun untuk tetap menempati atau menguasai lahan tersebut secara ilegal.

Namun, pemerintah juga membuka peluang bagi warga yang terdampak untuk memperoleh hak atas tanah melalui program redistribusi tanah eks HGU, yang merupakan bagian dari kebijakan reforma agraria nasional.

Puluhan perempuan adat Nanghale mencoba menghadang eksavator yang akan menggusur kebun dan rumah-rumah mereka. (Foto: Tangkapan layar video warga Nanghale)

Reforma Agraria dan Redistribusi Tanah Eks HGU

Sebagai bagian dari reforma agraria, PT Krisrama telah melepaskan ±542,86 hektare tanah, yang kini berada di bawah pengawasan Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka. Reforma agraria ini dilakukan untuk menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara lebih berkeadilan, sekaligus memastikan bahwa Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dapat didistribusikan kepada warga yang memenuhi syarat.

Pemerintah membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Daerah untuk memastikan distribusi tanah berjalan sesuai aturan. Gugus tugas ini dipimpin oleh bupati sebagai ketua, dengan sekretaris daerah sebagai wakil ketua, serta kepala kantor pertanahan sebagai ketua pelaksana harian.

Warga yang ingin mengajukan hak atas tanah dalam skema redistribusi harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah, berdomisili di wilayah objek redistribusi tanah, dan memiliki mata pencaharian tetap. Kelompok prioritas penerima tanah ini mencakup petani gurem, buruh tani, nelayan kecil, guru honorer, dan pekerja sektor informal lainnya yang tidak memiliki tanah.

Pemerintah memastikan bahwa tanah yang didistribusikan harus digunakan secara produktif dan sesuai dengan tujuan reforma agraria. Dengan demikian, proses ini tidak hanya memberi kepastian hukum kepada penerima manfaat, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Dalam langkah konkret, Pj Bupati Sikka telah menerbitkan Surat Nomor Permukim.590/10/I/2025 tertanggal 23 Januari 2025, yang memerintahkan pendataan subjek dan objek tanah eks HGU Nangahale kepada Camat Waigete, Talibura, dan Waiblama.

Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah berupaya menyeimbangkan kepentingan hukum perusahaan dan hak masyarakat atas tanah, serta memastikan bahwa reforma agraria benar-benar menjadi solusi atas ketimpangan kepemilikan lahan di Kabupaten Sikka.

Penulis: Redaksi
error: Content is protected !!