titastory, Jakarta – Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 menargetkan kapasitas pembangkit energi sebesar 444 GW pada 2060. Dari jumlah tersebut, 73,6 persen (326 GW) berasal dari energi baru dan terbarukan, termasuk tenaga surya, angin, dan baterai, sebagai bagian dari upaya mencapai net zero emission (NZE).
Namun, kapasitas ketiga teknologi ini diprediksi terus meningkat dengan tambahan produksi hidrogen hijau, sehingga total kapasitas yang dapat dikembangkan menjadi 266 GW PLTS, 73,5 GW PLTB, dan 58 GW penyimpanan energi.

Dorongan IESR untuk Penguatan Industri Manufaktur Energi Terbarukan
Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah untuk mengembangkan industri manufaktur energi terbarukan dan rantai pasoknya. Langkah ini bertujuan meningkatkan nilai tambah ekonomi, mengurangi ketergantungan impor teknologi, serta mempercepat transisi energi yang lebih mandiri dan berkelanjutan.
Dalam kajian Market Assessment for Indonesia’s Manufacturing Industry for Renewable Energy yang dirilis pada Selasa (25/3/2025), IESR menyoroti potensi besar industri manufaktur energi surya, angin, dan baterai di Indonesia. Studi ini menyebutkan bahwa optimalisasi industri ini dapat menciptakan 9,7 juta job-years pada 2060 dan berkontribusi terhadap potensi ekonomi senilai USD 551,5 miliar (sekitar Rp 8.824 triliun).
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sangat rendah, meskipun potensinya mencapai 3.686 GW. Sebagai contoh, kapasitas PLTS yang terpasang saat ini baru mencapai 0,32 GW, jauh dari potensinya yang lebih dari 3.300 GW.
“Rendahnya adopsi energi terbarukan berdampak pada lambatnya perkembangan industri manufaktur di sektor ini. Kerangka regulasi yang terfragmentasi, kurangnya tenaga kerja terampil, serta lemahnya integrasi antara riset dan kebijakan energi menjadi tantangan utama dalam pengembangan industri manufaktur energi terbarukan di Indonesia,” jelas Fabby.
Ia menambahkan bahwa tanpa rantai pasokan domestik yang kuat, Indonesia akan terus bergantung pada impor teknologi. Ketergantungan ini dapat meningkatkan kerentanan terhadap gangguan pasokan global dan membatasi manfaat ekonomi dari transisi energi.
“Kajian ini bisa menjadi inspirasi bagi program hilirisasi yang menjadi prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran. Jika dikembangkan dengan baik, industri ini dapat menjadi bagian dari transformasi ekonomi jangka panjang Indonesia yang berorientasi pada nilai tambah dan teknologi,” tambahnya.
Potensi Industri Surya, Angin, dan Baterai
Dalam industri manufaktur energi surya, kapasitas produksi modul surya Indonesia saat ini mencapai 4,7 GW/tahun dan diproyeksikan meningkat menjadi 19 GW/tahun sebelum 2030. Pengembangan industri ini berpotensi menciptakan 5,7 juta job-years dan nilai ekonomi hingga USD 236,3 miliar pada 2060.
Untuk industri PLTB, IESR mencatat bahwa permintaan terhadap teknologi ini masih rendah. Indonesia baru memiliki dua PLTB dengan kapasitas terpasang 154,3 MW, jauh dari potensinya yang mencapai 155 GW. Padahal, pengembangan industri manufaktur dan rantai pasok PLTB berpotensi menyumbang USD 75,2 miliar bagi ekonomi dan menciptakan 1,8 juta job-years pada 2060.
Sementara itu, industri baterai menunjukkan peningkatan permintaan signifikan, terutama untuk kendaraan listrik, yang naik 25 kali lipat dibandingkan 2022. Pengembangan industri baterai untuk penyimpanan energi dan kendaraan listrik diperkirakan memiliki nilai ekonomi hingga USD 240 miliar dan menciptakan 2,2 juta pekerjaan pada 2060.
Rekomendasi IESR untuk Penguatan Industri Manufaktur Energi Terbarukan
Analis Data Energi IESR, Abyan Hilmy Yafi, menekankan bahwa penguatan industri manufaktur energi terbarukan dan rantai pasoknya sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan global. Selain manfaat ekonomi, langkah ini juga akan mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan ketahanan energi nasional.
“Untuk memastikan keuntungan dari pengembangan ini, pemerintah perlu memberikan dukungan melalui kebijakan, insentif, serta pendanaan yang jelas dan konsisten,” ujar Hilmy.
IESR memberikan empat rekomendasi utama untuk mendorong pengembangan industri manufaktur energi terbarukan di Indonesia:
1. Membangun Rantai Pasok Domestik
Indonesia perlu memastikan rantai pasok industri manufaktur, terutama untuk panel surya, turbin angin, dan baterai, serta mendukung proyek rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (EPC).
2. Merumuskan Peta Jalan Pengembangan
Pemerintah harus menyusun peta jalan untuk adopsi energi terbarukan yang selaras dengan strategi penguatan industri manufaktur energi terbarukan dan perencanaan energi nasional.
3. Dukungan Insentif dan Kebijakan
Transformasi industri manufaktur energi terbarukan memerlukan insentif, pendanaan, serta regulasi yang mendukung ekosistem industri dari hulu ke hilir.
4. Peningkatan Kapasitas SDM
Pemerintah perlu memastikan kesiapan tenaga kerja melalui kebijakan pendidikan dan pelatihan, agar SDM memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri energi terbarukan.
Tentang Institute for Essential Services Reform (IESR)
Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah organisasi think tank yang aktif dalam penelitian, advokasi kebijakan publik, serta kampanye energi berkelanjutan. IESR berfokus pada transisi energi yang adil, akses energi berkelanjutan, dan kebijakan yang berbasis bukti untuk mendukung pembangunan energi bersih di Indonesia.
Penulis: Sofyan Hatapayo Editor: Christ Belseran