Jayapura, — Aksi pemusnahan sejumlah mahkota berhiaskan bulu burung Cenderawasih oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua pada Selasa, 21 Oktober 2025, menuai kecaman luas. Banyak pihak menilai tindakan pembakaran mahkota itu sebagai bentuk penghinaan terhadap identitas dan budaya orang asli Papua (OAP).
Video yang memperlihatkan proses pemusnahan itu beredar di berbagai platform media sosial dan memicu kemarahan publik. Mahkota Cenderawasih selama ini bukan sekadar hiasan, tetapi simbol kehormatan dan jati diri masyarakat adat Papua.
“Mahkota Cenderawasih adalah lambang harga diri, kehormatan, dan jati diri orang Papua. Tindakan pemusnahan dengan cara dibakar menunjukkan ketidakpahaman terhadap kearifan lokal,” ujar Nathan Oku, warga suku Auwyu, Kabupaten Mappi, Papua Selatan, kepada titastory.

Kecaman dari Tokoh dan Warga Papua
Kritik keras juga datang dari Anggota DPR RI asal Papua, Yan Mandenas. Melalui akun Facebook-nya, ia menulis: “Hanya orang-orang tidak waras yang melakukan hal ini. Tidak menghargai budaya orang asli Papua.”
Menurut Yan, BKSDA memang memiliki kewenangan menegakkan hukum terhadap perdagangan satwa dilindungi, tetapi seharusnya menempuh cara yang lebih menghormati simbol budaya. “Mahkota Cenderawasih adalah simbol kebesaran orang Papua. Jika memang harus disita, perlakukan secara hukum, jangan dibakar,” ujarnya.
Aksi protes juga terjadi di wilayah Boven Digoel, Papua Selatan, di mana warga suku Koroway, Kombay, dan Wangom menggelar aksi damai menuntut penghormatan terhadap simbol budaya Papua. Mereka menilai tindakan BKSDA sebagai pelecehan terhadap identitas masyarakat adat.
“Gubernur Papua harus segera memecat pihak yang terlibat dalam pemusnahan itu,” tegas Nathan Oku mewakili komunitas Auwyu.

Sementara itu, Sementara itu, Roberthino Hanebora, warga Papua lainnya, turut mengkritik tindakan pembakaran simbol budaya Cenderawasih oleh BKSDA Papua.
Menurutnya, penjelasan Balai Besar KSDA Papua yang menyebut pembakaran itu sebagai bagian dari pemusnahan barang bukti hasil sitaan opset satwa dilindungi, termasuk burung Cenderawasih, memang terdengar prosedural.
“Mereka bilang, ini bentuk komitmen menegakkan hukum dan melindungi satwa liar dari perdagangan ilegal,” ujarnya.
Namun, bagi Roberthino, tindakan itu menunjukkan ketidakpekaan terhadap nilai-nilai kultural masyarakat adat Papua.
“Kita semua mendukung pelestarian alam, karena hutan dan satwa adalah napas kehidupan Papua. Tapi di tanah ini, Cenderawasih bukan sekadar hewan. Ia adalah roh budaya, lambang kemuliaan, doa yang tumbuh di antara kepala para tetua dan mahkota adat,” katanya.

Ia menilai, apa yang dianggap prosedural bagi aparat penegak hukum justru menjadi bentuk penghinaan bagi masyarakat adat.“Membakar opset itu mungkin terlihat administratif bagi mereka yang datang dengan logika hukum. Tapi bagi masyarakat adat, itu sama saja membakar makna yang diwariskan turun-temurun,” tegasnya.
“Hukum yang benar tidak menghina simbol. Perlindungan sejati tidak mencederai kehormatan,” lanjut Roberthino.
Ia menambahkan, jika niat pemerintah benar-benar ingin melindungi satwa, maka yang seharusnya dimusnahkan bukanlah bulu yang sudah mati, melainkan keserakahan, para pemburu, dan pasar gelap yang masih hidup.
“Keadilan ekologis tidak lahir dari api seremonial. Ia lahir dari keberanian menindak mereka yang merusak — bukan dari pertunjukan,” pungkasnya.

Klarifikasi dan Permintaan Maaf BKSDA Papua
Menanggapi gelombang kritik, Kepala BKSDA Papua Johny Santoso akhirnya menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf. Ia mengakui tindakan pembakaran mahkota Cenderawasih telah menimbulkan luka dan kekecewaan di hati masyarakat Papua.
“Kami menyadari tindakan yang dilakukan telah menyinggung masyarakat Papua. Langkah pemusnahan dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2017 tentang Penanganan Barang Bukti Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Johny dalam keterangan tertulisnya.
Ia menjelaskan, pemusnahan itu dilakukan untuk memutus rantai perdagangan ilegal satwa endemik yang dilindungi, termasuk burung Cenderawasih. “Tujuan kami semata-mata untuk melindungi kelestarian burung Cenderawasih sebagai simbol identitas Papua,” ujarnya.
Namun klarifikasi tersebut belum sepenuhnya meredakan kekecewaan publik. Banyak kalangan menilai, tindakan BKSDA menunjukkan lemahnya koordinasi antara penegakan hukum lingkungan dengan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal.
Bagi masyarakat Papua, mahkota Cenderawasih bukan sekadar barang sitaan, melainkan simbol hidup dari hubungan manusia, alam, dan spiritualitas yang telah diwariskan turun-temurun.
