titastory, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto pada Senin (1/9/2025) menjenguk aparat kepolisian yang terluka saat mengamankan demonstrasi beberapa waktu terakhir. Namun, langkah ini menuai sorotan karena hingga kini belum ada perhatian langsung terhadap korban sipil, di mana tercatat sedikitnya tujuh orang meninggal dunia akibat eskalasi kekerasan.
Di saat aparat mulai melakukan penindakan keras, muncul pertanyaan besar tentang siapa sebenarnya aktor di balik kerusuhan yang meluas dari demonstrasi.
Menurut Made Supriatma, peneliti di ISEAS–Yusof Ishak Institute, Singapura, fenomena kekacauan ini tidak bisa dilihat semata sebagai aksi spontan masyarakat sipil.
“Harus dibedakan antara demonstrasi, kerusuhan, dan penjarahan. Demonstrasi bisa keras, bahkan bentrok, tapi jarang berujung pada penjarahan. Kerusuhan hampir pasti disertai penjarahan, dan itu biasanya digerakkan oleh apa yang disebut para ahli sebagai riot specialists atau ‘ahli rusuh’,” kata Made yang dikutip dari laman sosial media penulis @Made_Supriatma, Selasa (2/9/2025).
Analisis: Siapa “Ahli Rusuh”?
Made menjelaskan, para “ahli rusuh” adalah aktor-aktor yang paham cara memprovokasi massa, menyalakan api, melempar batu pada momen yang tepat, hingga mengarahkan kerumunan menuju penjarahan atau pembakaran. “Membakar sebuah gedung tidak bisa dilakukan sembarangan, ada keahlian tertentu. Dari pengalaman berbagai kerusuhan, aktor ini biasanya bukan mahasiswa atau aktivis pro-demokrasi, melainkan kalangan intelijen, baik yang aktif maupun yang pernah terlibat dalam struktur resmi,” ujarnya.
Karena itu, menurut Made, tuduhan bahwa mahasiswa atau aktivis sipil mampu membakar markas kepolisian hingga Mako Brimob sulit diterima akal sehat. “Menyerang Mako Brimob itu sama seperti menyerang markas Kopassus. Tidak mungkin dilakukan secara spontan oleh massa sipil biasa,” tegasnya.
Crackdown dan Kambing Hitam
Made menilai, periode crackdown atau tindakan keras oleh aparat sudah dimulai. Polisi yang sempat lumpuh akibat kantor-kantor mereka diserang kini menyusun kekuatan baru dengan dukungan militer. “Kehadiran kendaraan militer di jalan-jalan adalah upaya menimbulkan kesan seram agar massa tunduk,” jelasnya.
Selain itu, ia menyoroti framing para elite politik yang mulai mengaitkan gerakan rakyat dengan isu pendanaan asing, makar, hingga terorisme.
“Pola kambing hitam seperti ini selalu muncul. Jawabannya mudah ditebak: tuduhan ke pihak asing tanpa bukti konkret. Ini mengaburkan fakta sebenarnya bahwa dalam sejarah Indonesia, kerusuhan besar selalu melibatkan faksi elit sendiri,” kata Made.

Mengulang Sejarah
Dalam catatan Made, kerusuhan besar di Indonesia hampir selalu terkait faksionalisme militer. Ia mencontohkan Peristiwa Malari 1974 maupun tragedi 1998. “Pelaku-pelaku 1998 masih hidup, bahkan kini berkuasa. Polanya mirip, dan bukan kebetulan jika kita melihat pola serupa kembali terulang,” ungkapnya.
Menurutnya, alih-alih menyalahkan masyarakat sipil, pemerintah seharusnya melihat ke dalam tubuh aparat dan elite politik sendiri. “Rakyat biasa membakar kantor polisi atau markas Brimob? Sulit dipercaya. Naik motor lewat depan Brimob saja bikin deg-degan,” tutup Made.