Ternate, —Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional bersama Simpul JATAM Maluku Utara merilis laporan investigatif bertajuk “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara” yang menyoroti konsentrasi kekuasaan dan jaringan bisnis ekstraktif keluarga Sherly Tjoanda, Gubernur Maluku Utara.
Laporan yang dirilis pada Rabu (29/10) itu mengungkap bagaimana posisi politik dan kepemilikan bisnis keluarga Laos–Tjoanda terkonsolidasi dalam industri tambang nikel, emas, dan pasir besi di berbagai wilayah Maluku Utara. JATAM menilai praktik ini mengarah pada benturan kepentingan serius antara kekuasaan publik dan kepentingan ekonomi pribadi, serta berdampak langsung pada warga yang mengalami perampasan ruang hidup dan kriminalisasi.

Keluarga Politik, Keluarga Tambang
Menurut laporan tersebut, jaringan bisnis keluarga Sherly terbentang luas melalui sejumlah perusahaan, di antaranya PT Karya Wijaya (tambang nikel di Gebe dan Halmahera), PT Bela Sarana Permai (pasir besi di Pulau Obi), PT Amazing Tabara dan PT Indonesia Mas Mulia (emas), serta PT Bela Kencana (nikel).
“Gubernur bukan hanya aktor politik, tetapi juga pebisnis tambang yang terafiliasi langsung dengan perusahaan-perusahaan ekstraktif di wilayah yang seharusnya ia awasi,” kata Melky Nahar, Koordinator JATAM Nasional, dalam keterangan pers yang diterima titastory.id.
Data JATAM menunjukkan, Sherly Tjoanda kini menjadi pemegang saham mayoritas PT Karya Wijaya (71%) setelah menggantikan posisi mendiang suaminya Benny Laos pada akhir 2024. Tiga anak mereka masing-masing memiliki 8% saham. Pergeseran kepemilikan ini bertepatan dengan masa pencalonan Sherly sebagai Gubernur.
Selain itu, Sherly juga tercatat sebagai Direktur dan pemegang saham 25,5% di PT Bela Group, induk bisnis keluarga Laos–Tjoanda yang memiliki kendali di sejumlah anak usaha, termasuk PT Bela Sarana Permai (98%) dan PT Amazing Tabara (90%).
“Pola kepemilikan ini menunjukkan konsentrasi kekuasaan yang berbahaya. Keluarga pejabat publik mengendalikan industri tambang besar di provinsi yang sama. Ini bentuk conflict of interest yang nyata,” tambah Melky.
Tambang di Atas Luka Sosial
JATAM Maluku Utara mencatat bahwa perusahaan-perusahaan di bawah kendali keluarga Laos–Tjoanda beroperasi di wilayah dengan tingkat kerentanan sosial dan ekologis tinggi.
“Di Gebe, Halmahera Selatan, dan Obi, warga menghadapi pencemaran air, abrasi pantai, dan konflik lahan. Tapi alih-alih melindungi, pemerintah justru memuluskan izin baru,” kata Julfikar Sangaji, Dinamisator JATAM Maluku Utara.
Ia menegaskan, pemberian izin operasi kepada PT Karya Wijaya pada Januari 2025—tepat di masa transisi Pilgub—tidak melalui prosedur yang sah. “Masuk ke sistem MODI tanpa lelang, tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (PPKH), dan tanpa jaminan reklamasi,” ujar Julfikar.

Dugaan pelanggaran tersebut diperparah oleh lemahnya pengawasan dari instansi pemerintah, yang disebut JATAM sebagai bentuk pembiaran sistemik terhadap oligarki politik di daerah.
JATAM mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, dan Kementerian Dalam Negeri untuk menyelidiki potensi pelanggaran etik dan hukum yang melibatkan pejabat publik dalam struktur perusahaan tambang.
“UU Pemerintahan Daerah dan Peraturan KPK dengan tegas melarang pejabat publik merangkap jabatan di perusahaan swasta. Jika dibiarkan, ini bisa mencederai prinsip integritas dan akuntabilitas pemerintahan daerah,” tegas Melky Nahar.
Selain itu, JATAM juga menyerukan moratorium izin tambang baru di Maluku Utara hingga semua konflik agraria, pelanggaran lingkungan, dan indikasi benturan kepentingan diselesaikan secara terbuka.

Dalam peta sebaran izin yang dirilis JATAM (gambar terlampir), Maluku Utara memiliki 127 izin tambang aktif dengan luas konsesi 655.581 hektare dan 12 smelter, mayoritas berada di Halmahera. Sebagian besar izin ini tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat, hutan lindung, dan pesisir produktif.
Di tengah euforia hilirisasi nikel yang digadang-gadang sebagai masa depan ekonomi nasional, JATAM mengingatkan bahwa pembangunan yang dikendalikan oleh oligarki lokal justru berpotensi memperdalam ketimpangan dan memperluas krisis ekologis.
“Yang diuntungkan bukan rakyat, tapi segelintir elite yang memegang kekuasaan dan izin tambang,” tutup Julfikar Sangaji.
Sumber: Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional & JATAM Maluku Utara
