titaStory.id, halmahera timur – PULUHAN masyarakat adat suku Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin melakukan aksi demo memprotes keberadaan sejumlah perusahaan di wilayah mereka, Kamis (18/5/2023).
Aksi protes ini dilakukan secara spontan oleh warga masyarakat adat suku Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin karena wilayah lahan kebunnya diduga diserobot perusahaan PT MHM.
Menurut warga, aksi yang dilakukan karena mereka gerah melihat wilayah perkebunan dimasuki alat berat milik PT. MHM.
“Keluar dari sini, keluar, sapa yang suruh masuk di sini, pencuri, galojo (rakus),” teriak Yokbet Madam, perempuan adat suku Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin.
Dari video amatir milik warga terlihat puluhan warga ini berbondong-bondong ke lokasi kebun dan memerintahkan alat-alat tersebut dikeluarkan dari wilayah kebun mereka. Para operator perusahaan dipaksa meninggalkan lokasi kebun warga.
Sempat adu mulut antara warga pemilik lahan dengan petugas perusahaan di lokasi. Meski demikian warga meminta para petugas dan operator alat berat segera meninggalkan lokasi perkebunan milik mereka.
Sebuah spanduk dibentangkan warga di lokasi bertuliskan tolak aktivitas tambang PT WBN, PT IWIP, PT MHM, dan semua koorporasi tambang nikel di wilayah adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin.
“Tolak tambang sampai tumbang,”
Kejadian ini, menurut warga buntut dari penyerahan koridor jalan oleh PT WKS ke PT MHM.
Menurut Yokbet, pihak perusahaan PT MHM tidak menghargai masyarakat adat setempat selaku pemilik lahan. Bahkan masyarakat adat telah lebih dulu berada di wilayah ini dengan berkebun.
Selain itu, kata Yokbet masyarakat adat di Minamin tidak pernah menghibahkan lahan kebun mereka ke perusahaan manapun sehingga Dia bersama masyarakat adat lainnya dengan tegas menolak penggusuran dan pembersihan koridor jalan tersebut.
Dalam aksi itu juga warga meminta pertanggung jawaban dari pihak PT. WKS yang mengambil alih wilayah tersebut. Mereka juga melarang aktivitas apapun dari PT. MHM sebelum adanya kesepakatan dan persetujuan para pemilik lahan.
Para pemilik lahan ini juga menuntut keterbukaan informasi publik dan keterlibatan masyarakat mengenai AMDAL PT MHM. Mereka mempertanyakan proses perizinan dari PT MHM.
“Aktivitas mereka sudah masuk tahap izin produksi pun masyarakat tidak tahu soal AMDAL mereka, apakah ada izinnya atau tidak,” kata Yokbet.
Atas protes tentang dugaan penyerobotan di lahan perkebunan warga, pihak PT WKS, menyatakan bahwa mereka telah prosedur dan lokasi yang diprotes warga secara hukum adalah milik PT WKS.
“Malam juga pak penyerobotan sebelah mana ya, setahu saya areal WKS di atas pak bukan areal masyarakat atau tanah adat,” jawab Ali Arfa, salah satu staf PT WKS saat dikonfirmasi Mongabay Indonesia.
Saat ditanyakan soal izin Amdal dan juga berdasarkan surat Penyampaian Permohonan Pengumuman Hasil Resertifikasi Kinerja PHPL dan VLK IUPHHK-HA PT Wana Kencana Sejati, yang beberapa prosedurnya tidak memenuhi atau tidak berlaku, staf PT WKS ini pun bungkam dan menjawab agar melakukan konfirmasi di Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara.
“Oh, gitu pak ya. Atau kalau mau lebih jelasnya tahu lebih tentang WKS mungkin baik langsung bertanya ke dinas kehutanan propinsi,” balas Ali melalui pesan whatsapp.
Sementara untuk tuntutan warga kepada perusahaan, hingga berita ini diturunkan tidak mendapat respon lagi dari staf PT WKS ini.
Surat Izin
titastory melakukan penelusuran izin yang diterbitkan dalam keputusan Gubernur Maluku Utara nomor: 91 /KPTS/MU/2005 tentang Izin Penggunaan Koridor Atas Nama IUPHHK PT. Wana Kencana Sejati Unit II yang melewati hutan negara (Jl EX IUPHHK PT. Bina Lestari Samaktha).
Sesuai keputusan izin yang ditetapkan oleh Gubernur Maluku Utara memberikan izin kepada IUPHHK PT. Wana Kencana Sejati Unit II untuk menggunakan Koridor (jalan angkutan kayu) dari IUPHHK menuju ke tempat penimbunan Kayu/Logpond yang terletak di desa Minamin dengan melalui Hutan Negara (Jl EX IUPHHK PT. Bina Lestari Samaktha).
Dalam isi surat izin penerbitan poin kedua, juga dijelaskan Koridor (jalan angkutan kayu) melalui hutan negara (Jl EX IUPHHK PT. Bina Lestari Samaktha) sepanjang 5.431.53 Meter dengan potensi kayu NIHIL dan trayek jalan angkutan kayu menuju batas dari IUPHHK menuju PT. Wana Kencana Sejati Unit II sebagaimana terlampir dalam keputusan dengan skala peta 1:25.000.
Pada poin ketiga, menjelaskan juga PT. Wana Kencana Sejati Unit II dalam menggunakan Koridor wajib: mengamankan Kawasan hutan yang dilalui dalam koridor dan perambahan, penebangan liar, dan perbuatan melawan hukum lainnya serta membuat dan memasang rambu-rambu lalu lintas disepanjang Koridor atau pada tempat-tempat yang dianggap rawan.
Masyarakat adat Minamin menyebut, terhadap surat izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Maluku Utara pada 20 juni 2005 ini telah kadaluarsa. Menurut masyarakat adat setempat Izin yang diterbitkan pada tahun 2005 itu telah berakhir 2013 lalu diperpanjang dan berakhir 2022. Wilayah-wilayah tersebut meliputi Desa Yawal, Loleba, serta Desa Waijoi.
Sementara berdasarkan surat Penyampaian Permohonan Pengumuman Hasil Resertifikasi Kinerja PHPL dan VLK IUPHHK-HA PT Wana Kencana Sejati, Provinsi Maluku Utara, kepada Sekretaris Direktorat Jenderal PHPL u/p Kepala Bagian Program dan Pelaporan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Gd. Manggala Wanabhakti Blok I Lt. V, Jakarta melalui PT Sarbi Internasional Certification yang menjelaskan Resertifikasi Kinerja PHPL dan VLK PT Wana Kencana Sejati sebagai pemegang IUPHHK-HA Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. SK 95/Menhut-II/2005 Tanggal 12 April 2005, seluas ± 47.410 Ha, yang berlokasi di Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara.
Berdasarkan Resume Hasil Re-Sertifikasi Kinerja PHPL dan VLK IUPHHK-HA PT Wana Kencana Sejati Provinsi Maluku Utara bukti upaya PT Wana Kencana Sejati dalam mendapatkan pengakuan dari stakeholder terkait keberadaan kawasan lindung di areal kerjanya meliputi 3 pihak yaitu, dari pemerintah selaku pembuat kebijakan, dari masyarakat sekitar serta dari karyawannya melalui kegiatan sosialisasi. Beberapa persayaratan yang diajukan tidak memenuhi persyaratan atau “Tidak Berlaku”.
Namun belum terdapat bukti sosialisasi kepada masyarakat Desa Jikomoi, Tanure, Minamin dan Saolat. Sehingga persentase pengakuan keberadaan kawasan lindung dari para pihak di IUPHHK-HA PT Wana Kencana Sejati adalah sebesar 80,95%.
Kegiatan pengelolaan kawasan lindung yang dilakukan oleh PT Wana Kencana sejati belum seluruhnya dilakukan sesuai dengan tata ruang dalam RKUPHHK-HA berbasis IHMB periode 2013-2022 yang disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.51/BUHA-2/2013 tanggal 6 Desember 2013, diantaranya, kegiatan penandaan batas kawasan lindung belum seluruhnya ditandai di lapangan serta kegiatan sosialisasi terkait keberadaan kawasan lindung baru dilaksanakan kepada 3 dari 7 desa sekitar areal kerja.
Selain itu, pelaporan kegiatan pengelolaan kawasan lindung belum sepenuhnya sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.21/Menhut-II/2014 tentang Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Kegiatan kehutanan, dimana bukti pelaporan pelaksanaan RKL-RPL periode semester I tahun 2016 dan semester I tahun 2020 PT Wana Kencana Sejati hanya diserahkan kepada Badan Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara.
PT Wana Kencana Sejati telah memperoleh Izin Usaha Pemanfataan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 95/Menhut-II/2005 tanggal 12 April 2005 Tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam Seluas ± 47.410 Hektar.
Berdasarkan SK IUPHHK tersebut terlihat bahwa PT Wana Kencana Sejati tidak ada areal penyiapan lahan untuk pembangunan hutan tanaman industri dan Berdasarkan Dokumen RKT 2020 tidak ada areal penyiapan lahan untuk pembangunan hutan tanaman industri.
Selama periode Maret 2020 s/d Desember 2020, PT Wana Kencana Sejati belum ada penerbitan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK) dari TPK Hutan maupun dari TPK Antara ke tujuan lainnya.
Berdasarkan rekapitulasi LHP periode Maret s/d Desember 2020 jumlah produksi kayu yang telah di LHP kan sebesar 1.316,57 m3, yang berasal dari LHP No.24 Bulan Desember 2020, LHP tersebut belum ada penerbitan Surat perintah Pembayaran PSDH dan DR.
PT Wana Kencana Sejati belum melakukan penerbitan dan pemabayaran PSDH dan DR atas LHP No. 24 di Bulan Desember 2020 sebesar 1.316,57 m3 dan posisi kayu berada di TPK Hutan, Periode Maret 2020 s/d Desember 2020 belum ada SPP dan pembayaran DR dan PSDH atas LHP No. 24 di Bulan Desember 2020 sebesar 1.316,57 m 3, sehingga untuk kesesuiaan tarif belum dapat diverifikasi.
Selama periode Maret 2020 sampai dengan Desember 2020, PT Wana Kencana Sejati belum melakukan pemiliran kayu ke tujuan industri, sehingga mengenai dokumen yang menunjukan identitas kapal belum dapat diverifikasi.
Terhadap hasil surat-surat inilah, masyarakat adat Minamin beranggapan PT WKS tidak memiliki hak untuk menguasai lahan adat milik mereka, ditambah izin Amdal tidak pernah diketahui warga setempat. Apalagi sosialisasi masuknya PT WKS dan MHM.
“PT. WKS dan PT. MHM?” Masyarakat tara (tidak) pernah tau Dong, (mereka) punya AMDAL karena tara pernah libatkan masyarakat,” ungkap Novenia Ambeua, salah satu perempuan adat adat suku Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin.
Sosialisasi Perusahaan
Sebelumnya kericuhan juga terjadi saat rapat sosialisasi kehadiran oleh sejumlah perusahaan pertambangan di Balai Desa Minamin, Kecamatan Wasile Selatan berlangsung ricuh, sabtu (29/4/2023) pagi. Warga pada rapat tersebut dengan tegas menolak aktivitas perusahaan di Desa mereka.
Menurut warga kehadiran perusahaan tambang ini akan mengancam ekosistem alam di sana termasuk hutan adat.
Sosialisasi ini dimulai sekitar pukul 10.00WIT dibuka oleh salah satu kaur Desa lantaran kepala desa tidak berada di tempat. Sosialisasi ini kemudian dilanjutkan paparan oleh humas perusahaan PT FMI.
Novenia Ambeua seorang warga yang terlibat dalam rapat sosialisasi itu mengatakan, pihak perusahaan memaparkan maksud dan tujuan kedatangan mereka untuk melakukan aktivitas eksplorasi.
Dari penjelasan mereka, kata Nove, tahapan eksplorasi rencananya dilakukan di lokasi Desa Minamin. Lokasi eksplorasinya sendiri sesuai IUP berjarak 8 km dari pemukiman penduduk.
“Masyarakat diberikan waktu untuk menanggapi dan di sesi inilah keadaan menjadi panas setelah salah satu warga masyarakat Desa Minamin yang juga Humas PT.MHM Viktor Nakoda merasa tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dan tanggapan warga masyarakat,” kata Novenia.
Dari sejumlah informasi masyarakat, Victor sendiri selama ini telah menjadi mediator agar perusahaan PT MHM membebaskan tanah-tanah milik warga Desa Minamin. Dia juga diduga otak dibalik konflik antar sesama warga ini, akibat tanah-tanah warga yang telah diukur.
“Di Minamin dan kampung-kampung sekitar di sini warganya sementara berkonflik masalah tapal batas tanah gara-gara ada dugaan mavia tanah perusahaan PT MHM secara diam-diam beli tanah dari beberapa warga dan mereka ukur, namun itu semua tanah milik orang lain,” tukasnya.
Dikatakan Dewan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara ini, masyarakat sempat menyinggung atas kehadiran beberapa perusahaan termasuk PT.MHM yang tanpa melakukan sosialisasi ataupun FPIC secara diam-diam sudah melakukan pembebasan lahan masyarakat.
“Masyarakat marah, masakan mereka belum sosialisasi lagi sudah melakukan pembebasan lahan dengan harga Rp3500-Rp4000 per meter,” pungkasnya.
Pembebasan dilakukan, menurut Nove dilakukan oleh Yeti, yang merupakan salah satu pimpinan perusahaan tersebut.
“PT. MHM melalui ibu Yeti, salah satu petinggi MHM membebaskan lahan-lahan warga yang notabene wilayah itu bukan ijin konsesi PT. MHM melainkan PT. WHBP sesuai ijin kementrian ESDM,” tukasnya
Masyarakat pun marah. Mereka melampiaskan kekecewaan dalam rapat tersebut kepada sejumlah perusahaan ini. Mereka memandang ini adalah bentuk pembodohan. Selain itu masyarakat desa Minamin selama ini, kata Nove, merasa telah dirugikan atas ekspansi PT.WBN/ PT. IWIP yang sudah membongkar hutan tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga.
Sehingga bertolak dari semua itu warga menolak juga kehadiran PT. FMI untuk melakukan eksplorasi di wilayah Desa Minamin.
Sementara itu, informasi yang berhasil dihimpun media ini dari media sosial warga, terlihat proses pembayaran lahan telah dilakukan oleh perusahaan tambang PT Weda Bay Nickel (WBN) kepada warga Desa Waijoy dan Warga Desa Jikomoy pada tanggal 9 mei 2022 lalu.
Sejumlah foto atas nama akun Yosia Dabo memperlihatkan proses sejumlah uang yang nantinya dibagikan kepada para pemilik lahan di dua Desa. Masyarakat dalam foto-foto ini juga telah siap mengantri di salah satu Gedung Balai Desa.
Informasi yang dihimpun melalui foto-foto pada akun facebook milik Yosia Dabo menyebutkan uang tersebut merupakan biaya pembayaran pembebasan lahan milik O Hongana Manyawa, Turaji dan Hairani yang saat ini diambil alih oleh pihak Desa Waijoy Jikomoi seluas kurang lebih 400 Ha. Lahan yang dibebaskan sendiri dijual dengan harga Rp2500/meter.
Uang tersebut, dari informasi, disebutkan berjumlah Rp25 Miliar, namun saat ini baru sekitar 6,8 miliar yang baru diserahkan kepada kedua desa ini.
Padahal secara nyata-nyata kedua O Hongana Manyawa, Turaji dan Hairani telah bersikeras untuk menyerahkan tanah mereka. pernyataan ini dibuktikan dengan pernyataan langsung, kepada cucunya Musa saat berkunjung ke rumahnya yang berada di belakang perkampungan Desa Loleba.
Nasib O Hongana Manyawa
Dalam pernyataan itu kedua orang Tobelo Dalam ini menegaskan tidak akan pernah menyerahkan bahkan menjual hutan mereka karena merupakan peninggalan leluhur mereka untuk dijaga, bukan untuk dirusaki.
“To ngohi, ahi datomo,madutu nohi tailako, ma kiaka, nako to ngohi ua ahi datomo? Ho ga dina ahi tau mangi. Tohi gonoa ya pake ahi datomo, ho na oko na hetongo, ho ga ami raki ahi ayo tofotofo mato uha ko nia pake. Mohi behehongo.
Inilah ungkapan Hairani (Martana) seorang perempuan Tobelo Dalam (O Hongana Manyawa) saat ditanyakan soal hutan tempat mereka tinggal saat ini. Dalam percakapan antara Hairani bersama Musa, cucunya di O Tau, rumah tempat tinggal mereka, September 2022.
Percakapan antara Hairani dan Musa ini, Ia bilang tempat dan hutan yang saat ini mereka diami, mereka adalah pemiliknya. Dimana, disana ada bekas rumah dan tanaman yang ditanam.
“Saya punya, saya pemiliknya. Coba Perhatikan saja kalau bukan saya yang tanam, sedangkan di sana ada bekas tempat rumah saya. Saya tidak izinkan mereka mengambilnya. Jadi silahkan kamu pergi dan jelaskan ke mereka bahwa harta, mama asuh saya jangan kalian ambil. Ini pesan beliau,” kata Hairani saat dalam percakapan dengan Yoram.
Bersama Turaji suaminya, saat ini mereka tinggal di belakang perkampungan desa Loleba. Mereka terpaksa bergeser ke hutan tersebut, lantaran lokasi sebelumnya yang mereka tinggal yakni Moleo Ma Bohuku (Tofu), tidak lagi dianggap nyaman karena air sungai dan hutan telah rusak.
Sebagai penjaga hutan, atau O Hongana Manyawa Hairani bersama suaminya Turaji terus mempertahankan tanah yang telah dititipkan oleh leluhur mereka ribuan tahun lalu. Meski begitu, mereka tak dapat berbuat banyak. Mereka lebih menghindar dan mencari lokasi baru yang dianggap nyaman. (TS-01)
Foto Utama: PULUHAN masyarakat adat suku Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin melakukan aksi demo memprotes keberadaan sejumlah perusahaan di wilayah mereka
Discussion about this post