TitaStory.id, Denhaag – Tak hanya di Negeri (Desa) Aboru, Maluku Tengah yang melakukan peringatan HUT Republik Maluku Selatan (RMS) ke-73, di Belanda hal yang sama dilakukan oleh warga Belanda berketurunan Maluku.
Sekitar tiga ribu warga keturunan Maluku yang menetap di Belanda, menghadiri perayaan HUT Republik Maluku Selatan (RMS) ke-73 yang berlangsung di Denhaag, Belanda, Selasa (25/4/2023).
Gerakan RMS dilarang oleh pemerintah Indonesia dan dilabeli sebagai separatis, karena ingin memisahkan diri dari NKRI.
Perayaan berlangsung secara terbuka diluar ruangan, dengan melaksanakan upacara bendera dan longmarch mengusung tema “Djangan Unduré dan ‘Berdjalan untuk kebebasan”.
Perayaan berpusat di jalan Reagan dan Gorbatsjov, berjarak sekitar 300 Meter dari stasiun Den Haag Central.
“Perayaan nasional tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bukan di teater, tapi di udara terbuka. Tidak terisolasi dan tersembunyi,” sebut Abe Sahetapy, salah satu warga keturunan Maluku.
Ribuan warga keturunan Maluku yang didominasi oleh generasi ke-2 dan 3 ini mengikuti upacara penaikan bendera, pembacaan teks proklamasi dan menyanyikan lagu kebangsaan.
“Kami juga berdiam satu menit untuk mereka yang telah gugur dalam perjuangan kebebasan RMS. Selanjutnya Mr. John Wattilete berpidato atas nama pemerintah RMS,” ucapnya.
Abe mengatakan, kegiatan longmarch dilakukan setelah Staf Urusan Pemuda, Regina Parinussa memberikan instruksi.
Para peserta menempuh perjalanan sepanjang kurang lebih 3 Km sambil membawa spanduk, dipimpin oleh tim aksi.
Aksi ini kata Abe, sebagai bentuk untuk melawan penindasan dan ancaman terhadap identitas dan kelangsungan hidup Bangsa Maluku.
Selama tujuh dekade terakhir, bangsa Maluku di Maluku dan di Belanda terus menerus mendapat tekanan.
Ia menyebutkan, tentang adanya pengambil alihan paksa tempat tinggal dan daerah pemukiman masyarakat adat, serta meningkatnya deforestasi hutan hujan di Maluku.
Maluku juga sengaja dibuat miskin dan Hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi politik masih diinjak-injak.
Sedangkan di Belanda, Perdana Menteri Mark Rutte tidak menganggap serius para pendukung RMS dan menolak untuk melakukan pembicaraan.
Padahal mereka adalah keturunan dari sekelompok militer yang dipindahkan ke Belanda bersama keluarganya pada tahun 1951, bukan atas kemauan sendiri, tetapi atas perintah dinas.
“Dengan manifestasi ‘Djangan Undure dan Berdjalan untuk kebebasan’ kami ingin menarik perhatian aspirasi hak kami dengan cara yang positif. Menarik perhatian sebanyak mungkin dari warga negara dan penduduk dan politik nasional dan internasional. Kita ingin menunjukan dan memberitahukan dunia, bahwa RMS masih hidup dan akan terus hidup, dari generasi ke generasi,” pungkasnya. (TS-01)
Discussion about this post