Oleh Beny Alatubir Mahasiswa Studi akhir di PSDKU-UNPATTI
titaStory.id, ambon –Bentuk dugaan kejahatan kepada orang yang tidak berdaya dan harus ikut mengganti kerugian negara hingga puluhan juta rupiah. Walaupun korupsi adalah sebuah kejahatan yang sudah merajalela di seantero negeri, dari pusat sampai ke daerah; dari pegawai biasa hingga pejabat publik, bahkan orang-orang yang segala aktivitasnya berkaitan dengan tata kelola negara pun ikut berlaku koruptif.
Dan atas dasar hal yang terjadi dan berdampak kepada pengelolaan negara, peningkatan kesejahteraan rakyat, maupun kemiskinan maka korupsi masuk dalam daftar kejahatan luar biasa.
Dikutip dari laman hukumonline.com Artidjo Alkostar berpandangan bahwa kejahatan korupsi adalah salah satu kategori kejahatan luar biasa setelah diberlakukannya UU KPK pada tahun 2002. Karena korupsi di Indonesia sudah begitu (berlaku-red) sistematis dan [berdampak] meluas, untuk itu perlu memerlukan cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa, saking luar biasanya kejahatan tersebut, baru pernah terjadi dan mungkin baru pernah ada di Indonesia, dugaan korupsi dana hibah PILKADA tahun 2020 yang seiring berjalannya kasus dengan ditetapkannya 5 orang komisioner dan 1 orang sekretaris komisi pemilihan umum (KPU) kepulauan Aru mulai terbongkar fakta-fakta bahwa dalam kasus dugaan korupsi tersebut ada nama seorang penyandang disabilitas.
Publik bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang penyandang disabilitas yang tidak bisa baca-tulis bisa terlibat dalam dugaan kejahatan atau namanya bisa ada dalam SPPD padahal tidak mungkin karena Ia hanyalah seorang petugas kebersihan, bagaimana bisa itu terjadi? Beliau tidak mungkin berbuat hal itu karena untuk menjalankan tugas negara lewat perjalanan dinas maka orang tersebut dinilai mampu, bukan seorang penyandang disabilitas yang terbatas secara fisik maupun tidak bisa baca-tulis, dalam hal ini buta huruf. Sekilas dari respon publik setelah mendengar tentang informasi dugaan kejahatan yang melibatkan seorang penyandang disabilitas. Secara logis publik tidak percaya dengan apa yang menimpa seorang penyandang disabilitas dalam dugaan kejahatan tersebut.
Publik dibuat kaget dan sangat marah sekali pada KPU kepulauan Aru yang secara sewenang-wenang melibatkan seorang penyandang disabilitas yang dikenal oleh banyak orang, selain sebagai petugas kebersihan di kantor KPU kepulauan Aru tapi juga selalu mengumpul sampah botol dan gelas plastik untuk dijual. Tanpa tahu apa yang dilakukan dan siapa yang melakukannya tapi namanya bisa ada dalam daftar pengembalian kerugian negara, kini ia harus turut mengembalikan atau mengganti kerugian negara sebesar 20 juta rupiah atas dasar temuan kerugian negara oleh BPK.
Dari kasus yang terjadi publik memberi dukungan kepada aparat kepolisian resort kepulauan Aru untuk dapat bertindak cepat terkait penanganan kasus dugaan korupsi yang sudah bergulir sejak lama itu agar para tersangka segera ditahan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sebab apa yang dilakukan sudah melampaui batas kewajaran yang normal dari sisi manusiawi. Selain itu, karena kejahatan korupsi sudah bukan pidana biasa ataupun pidana ringan, melainkan sebuah tindak kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dampaknya sangat besar sekali. Sehingga ketika terjadi dugaan yang sudah cukup bukti formil untuk dilakukan penahanan untuk membatasi kebebasan seorang tersangka korupsi maka harus dilakukan, sebagaimana yang disampaikan oleh Hidayat Nur Wahid dalam artikel Lex Crime oleh Melky Essing bahwa corruption is the real teroris atau korupsi jauh lebih sadis dari tindakan teror maka tidak bisa lagi untuk harus ditunda proses hukumnya, baik dari tahapan penyidikan sampai pada proses penyelidikan menuju persidangan. Harus ada tindak tegas tanpa dalih apapun sebab ketika adanya pemberian ruang untuk tersangka korupsi melakukan aktivitas atau dalam hal ini masih bertugas maka hal yang pertama akan terancam adalah barang bukti. Sebab tidak ada yang bisa menjamin bahwa barang bukti tidak akan dihilangkan, apalagi kalau berbicara tentang tidak melakukan kejahatan yang sama. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa kewenangan akan digunakan sebaik-baiknya.
Sebab kita tahu bahwa tersangka korupsi tidak akan pernah ingin untuk dirinya ditahan begitu saja, pasti ada upaya untuk membenarkan apa yang dilakukan, baik lewat pembelaan diri maupun mencari backing orang berpengaruh, apalagi yang disangkakan melakukan kejahatan adalah penyelenggara Pemilu maka kuat dugaan bahwa akan ada sistem [tukar guling] kepentingan dengan orang-orang yang bisa berpengaruh menekan kasus korupsi dana hibah PILKADA tahun 2020. Sebab sejak 2021 kasus tersebut sudah bergulir dan baru di 2023 Polres kepulauan Aru menetapkan 5 orang Komisioner dan 1 orang Sekretaris KPU kepulauan yag sekarang sudah ditahan sebagai tersangka. Ketika 5 orang komisioner yang telah mendapatkan teguran kode etik oleh dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) masih bebas menjalankan tugas. Maka hal ini bukan hanya berdampak sebuah keputusan yang dikeluarkan tetapi akan sangat mungkin terjadi sistem politik transaksional menuju Pemilu 2024 yang akhirnya berpengaruh pada sistem demokrasi di Indonesia secara umum, dan terlebih khususnya di kepulauan Aru.(**)
Discussion about this post