Penulis Instan dengan AI: Sebuah Paradoks yang Menggelikan

18/08/2025
Oleh: San Malona (Pegiat Literasi)

titastory, Jakarta – Tulisan ini berangkat dari kegelisahan atas munculnya penulis dadakan, penulis kaget yang riwayat menulisnya belum nampak, tapi tetiba muncul dengan ide-ide baru, tulisan rapi terstruktur layaknya penulis kawalan.

Satu fenomena yang mengemuka seiring hadirnya kecerdasan buatan melalui berbagai aplikasi, semisal chatGPT, Jasper AI, Copy.AI, SEO.ai, Sudowrite dan banyak lagi. Ada yang gratis, maupun berbayar, semua menjadi jalan pintas buat penulis dadakan.

Padahal, dulu menjadi penulis adalah perjalanan panjang—penuh keringat, tangisan, dan kopi dingin di meja kerja. Namun hari ini, semua berubah. Seseorang bisa mencitrakan dirinya “penulis” hanya dengan beberapa klik pada mesin cerdas bernama kecerdasan buatan (IA).

Artificial Inteligence (AI), teknologi komputer yang memiliki kemampuan menyaingi kogitif manusia. Foto : Web

Ironis sekaligus menggelikan: profesi yang dulu sakral kini bisa dicetak instan layaknya mie cup di warung pinggir jalan.

Pertanyaannya: apa jadinya karya tulis tanpa luka, tanpa pergulatan batin, tanpa riset melelahkan? Mesin bisa menghasilkan kalimat yang rapi, argumen yang terstruktur, bahkan bahasa yang puitis.

Namun di dalamnya—hampa. Tak ada aroma perjuangan, tak ada goresan jiwa. Seperti boneka yang cantik dipajang, tapi matanya kosong. Kelihatannya keren tapi nir ‘jiwa’ atau rasa dan kedalaman.

Pertanyaannya, ini demokratisasi atau degradasi?

Pendukung AI sering berteriak soal “demokratisasi menulis.” Semua orang bisa menulis! Tapi bukankah justru di situlah jebakannya? Saat semua bisa menulis dengan gaya seragam mesin, apa yang tersisa dari orisinalitas? Kita sedang menuju dunia di mana esai mahasiswa, opini politisi, sampai cerpen di majalah sastra terdengar sama: halus, sopan, logis, tapi menjenukan. Dunia penuh tulisan, tetapi miskin suar#Puna.

Sehingga yang terjadi adalah lahirnya para operator, bukan Penulis. Karena blla mau jujur: apakah menekan tombol generate lalu memposting hasilnya di media sosial bisa disebut menulis? Atau itu sekadar kerja operator? Seorang penulis sejati melahirkan karya dari refleksi hidupnya, dari konflik batin, dari pembacaan panjang atas dunia.

Sementara pengguna AI hanya bermain-main dengan perintah: “buatkan artikel terkait ini dengan gaya provokatif.” Kalau begitu siapa sebenarnya penulisnya—manusia atau mesin?

Kondisi ini bila terus berjalan, kita lambat laun akan masuk di era matinya penulis atau penulis yang mati dan mesin yang hdup.

Paradoks yang sangat jelas: manusia makin dimanjakan, mesin makin cerdas. Tapi di balik itu, penulis sejati justru perlahan mati.

Ini bukan karena tidak mampu menulis, melainkan karena pasar, pembaca, dan bahkan dirinya sendiri lebih memilih jalan pintas. Mesin menggantikan peluh, menggantikan pengalaman, menggantikan kesunyian panjang yang melahirkan ide.

Paradoks penulis instan dengan AI pada akhirnya menampar kesadaran kita: mungkin yang mati bukan hanya dunia kepenulisan, tapi juga kejujuran. Kita ingin disebut penulis, tapi malas menulis. Kita ingin disebut kreatif, tapi menyerahkan kreativitas pada mesin.

Mungkin pertanyaan sebenarnya bukan “bisakah AI menggantikan penulis?” Melainkan: “masih adakah penulis yang berani jujur, bersusah payah, dan tidak instan?” Kita masing-masing punya jawabannya.

(**)

error: Content is protected !!