titastory, Aru – Pelaku usaha industri penggergajian kayu (Sawmill) di Dobo, Kepulauan Aru, terindikasi selama ini melakukan aktivitas pembalakan liar di wilayah hutan tanpa pengawasan.
Terlihat di kompleks Siwalima Pantai, Kecamatan Pulau-Pulau Aru, sejumlah kayu jenis merbau dan beberapa jenis lainnya diangkut menggunakan mobil pick-up. Kayu-kayu tersebut diangkut menuju sebuah tempat usaha sawmil yang berlokasi di komplek bambu kuning, jalan Ali Moertopo, Kelurahan Siwalima.
Dari informasi yang dihimpun oleh Titastory.id, rabu (26/3) dari masyarakat sekitar tempat bongkar-muat, kayu-kayu yang baru diangkut merupakan kayu milik Bob, pemilik UD Sinar Kasih dan Buce, pemilik UD Petra, yang baru dimuat dari desa-desa sekitar kepulauan Aru.

Selain itu, kayu-kayu yang diangkut tersebut di produksi oleh sejumlah tenaga pengrajin berdasarkan kesepakatan sewa lokasi hutan dengan masyarakat di desa yang menjadi tempat produksi kayu untuk beberapa bulan. Diduga proses sewa lahan juga melibatkan kedua pengusaha, hal ini berkaitan dengan izin yang dimiliki.
Salah satu sumber yang enggan menyebutkan namanya mengatakan, aktivitas penebangan yang dilakukan selama ini berada pada wilayah hutan, dan sudah berjalan sejak lama..
“Kayu-kayu yang diangkut itu terindikasi diproduksi dari wilayah hutan produksi. Dan itu yang selama ini dilakonkan pengusaha. Makanya hutan Aru sudah hampir gundul akibat aktivitas penebangan setiap saat tanpa henti” katanya.
Dikatakan, jenis kayu yang di tebang punya jenis yang berbeda-beda. Dari jenis merbau, ulin, dan juga jenis kayu lainnya.
Menurutnya, kalau sesuai sertifikasi, kayu-kayu tersebut harus dimuat dalam bentuk kayu bulat, bukan kayu potongan-potongan.
“Kalau mengacu pada sertifikasi berarti kayu-kayu tersebut diangkut ke lokasi sawmill dalam bentuk kayu bulat. Tetapi kalau yang dimuat kayu potongan berarti sudah salah. Dan walaupun kayu-kayu itu dijual-beli di Dobo saja tetapi kalau penebangan di wilayah hutan berarti melanggar,” ungkapnya.
Deny Dumgair, Kepala UPTD Kehutanan Kepulauan Aru, mengatakan, kalau secara aturan memang dokumen yang ada itu merupakan dokumen sah hasil hutan kayu bulat.
“Jadi begini, secara aturan, itu memang dokumen yang ada namanya dokumen surat keterangan sah hasil hutan kayu bulat. Dokumen itu keluar untuk kayu yang diangkut dari lokasi tebang ke industri. Tapi kan seng (tidak) mungkin di Dobo diberlakukan seperti itu karena perlu biaya sangat besar,” kata Deny.
Lanjutnya, sebab kalau izin satu periode sekitar 100-an kubik, tapi kalau proses dengan alat berat memang tidak mungkin. Sehingga dilakukan perubahan dalam bentuk swalap, papan, dan balok.
Kalau pajak, kata Deny, dibayar sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jadi untuk industri yang ada di bambu kuning, milik Buce dan industri muara tanjung, milik Junaidy tidak ada masalah. Sebab sudah ada izin industri dari Gubernur dan juga dengan lokasi PHAT (Penguasaan Hak Atas Tanah) di wilayah APL (Areal Penggunaan Lainnya), juga ada.
Dijelaskan, terkait dengan industi primer yang masih berjalan hanya dua industri tersebut. Dirinya selalu berkordinasi dengan kedua pemilik industri agar menyelesaikan kewajiban kepada negara.
“Beta selalu berkoordinasi dengan mereka untuk selesaikan kewajiban kepada negara. Sebab sampai saat ini, tidak ada kayu yang dikirim keluar. Produksinya hanya untuk konsumsi di dalam daerah.

Ketika ditemui, salah satu pengusaha kayu, Bob Gaspersz pemilik UD Sinar Kasih mengatakan, dirinya dan Buce pemilik UD Petra memiliki izin penebangan dari provinsi untuk aktivitas penebangan yang saat ini dilakukan di desa Lau-Lau.
Menurutnya, aktivitas yang saat ini dilakukan berada di wilayah APL, sementara yang dilepaskan oleh masyarakat, itu bukan wilayah hutan.
“Kalau saat mau dilakukan penebangan, biasanya dari provinsi yang turun langsung untuk mengukur, ini lahan APL,” ungkapnya.
Dijelaskan, dirinya bersama pemilik UD. Petra berada dalam satu industri. Jadi sudah ada pembayaran pajak kepada negara sekitar 70 jutaan. Terhitung untuk jenis kayu merbau dibayar sekitar Rp 600 ribu per kubik. Sedangkan untuk izin industri digunakan dari UD Petra.
Bob juga mengatakan, kalau terkait para pekerja penggergajian memang terlepas dari tanggung jawab mereka, dirinya hanya langsung membeli dari pekerja yang melakukan penggergajian dan mengangkut ke Dobo.
Bob menambahkan, kalau untuk biaya petuanan, per bulan dibayar 3 juta rupiah untuk satu mesin penggergajian.
“Karena dia punya petuanan jadi katong harus bayar petuanan, seng (tidak) mungkin tidak membayar. Kalau pemilik petuanan meminta dibayar per mesin senso (penggergaji) 3 juta berarti harus dibayar untuk 1 bulan, kalau 2 mesin 6 juta, dan 3 mesin 9 juta,” pungkasnya.
Selain itu, pengusaha kayu lainnya, Junaidy Hitimala pemilik TPT Industri, UD. Muara Tanjung mengatakan, dirinya melakukan kontrak dengan salah satu marga di desa Lutur, Kecamatan Aru Selatan, Kepulauan Aru untuk melakukan penebangan kayu pada rentang waktu kurang lebih 15 tahun. Saat ini baru berjalan 1 tahun.
Dia mengeluhkan bentuk pengawasan teradap aktivitas pengusahaan kayu yang dinilai ilegal. Sehingga dampaknya merugikan negara. Harapannya ada pengawasan dari berbagai pihak supaya tidak terkesan pihak yang punya izin resmi yang dibebankan. Tetapi yang tidak memiliki izin malah bisa bebas saja.
Penulis : Johan Djamanmona Editor : Rabul Sawal