titaStory.id,ambon – Perempuan dan anak di Indonesia boleh berbesar hati karena Undang-Undang penjamin Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), khusus fase seribu hari pertama kehidupan anak telah disahkan dan diteken Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, selasa (4/6/2024).
Sekalipun demikian, Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) untuk Kebijakan Adil Gender menilai bahwa UU ini memiliki sisi lemah dalam substansi dan berpotensi rancu dalam implementasi, sekalipun UU KIA mengatur pemberian hak-hak kepada ibu yang sedang hamil, melahirkan, masa persalinan, hingga melahirkan, waktu cukup bersama anak, hak cuti 6 bulan untuk ibu yang melahirkan.
Mike Verawati, Koalisi Perempuan Indonesia dalam keterangan pers via online justru, sabtu (29/06/2024) justru menyoroti bahwa UU KIA ini belum melindungi semua perempuan, baik pekerja di sektor informal, perempuan adat termasuk pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan. Padahal jumlah tenaga kerja di sektor informal telah mencapai 82, 67 juta orang (55,9%) dan didominasi oleh perempuan.
“Para pekerja informal atau mereka yang tidak punya kontrak kerja, mereka bingung mau mengakses hak cuti bagaimana dan seperti apa? Itu yang menjadi problem sehingga UU KIA yang diklaim memiliki inovatif dan menjadi terobosan sebenarnya tidak memiliki progres karena hak cuti melahirkan dan lain-lain itu sudah ada aturan lain,” kata Mike.
Juga menyoroti efektivitas pelaksanaan pemberian hak cuti kepada pekerja perempuan dalam peraturan yang sudah ada seperti UU Cipta Kerja. Dalam implementasinya masih sulit diberikan oleh pemberi kerja dan belum efektif pengawasan oleh pemerintah.
“Pada kenyataannya hak cuti melahirkan selama 3 bulan sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan sulit implementasikan dan belum maksimal. Lemahnya pengawasan sehingga banyak perusahaan yang tidak melaksanakannya atau hanya menjadi catatan di di atas kertas.” jelasnya.
Dia pun menyampaikan, dengan adanya aturan cuti melahirkan selama 6 bulan, ada kekhawatiran pihak perusahaan bakal dan tidak ingin mempekerjakan perempuan yang telah menikah dan berpotensi hamil, sehingga berpotensi pada banyaknya perempuan di usia produktif tidak memiliki lapangan pekerjaan. Termasuk berpotensi pada pemberhentian dari pekerjaan perempuan yang mengambil cuti hamil.
Nanda Dwinta dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) juga memberi sejumlah catatan terkait perlindungan hak maternitas ibu serta pengecualian kewajiban bagi ibu yang tidak bisa memberikan ASI eksklusif hanya diperkenankan untuk alasan medis.
Menurutnya, UU KIA ini tidak memperhitungkan bagaimana perempuan bisa memberikan keputusan terbaik untuk dirinya sesuai dengan kebutuhannya. Padahal seharusnya perlu mempertimbangkan alasan non-medis, semisal kondisi fisik atau kondisi psikologis yang membuat seorang perempuan tidak mampu memberikan ASI eksklusif.
“Sebagai contoh seorang perempuan korban KDRT atau korban perkosaan yang tidak bisa memberikan ASI eksklusif karena kondisi stress dan depresi maka alasan seperti mental dan psikis ini juga harus dipertimbangkan, ini juga menjadi problematik” bebernya.
Rekomendasi
Terhadap hal itu, JMS untuk Kebijakan Adil Gender merekomendasikan enam hal yang perlu dilakukan pemerintah yaitu, Pertama Melakukan harmonisasi UU KIA dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan kesejahteraan ibu dan anak, seperti, UU Kesehatan, UU Perkawinan, UU Administrasi Kependudukan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan perundang-undangan lainnya termasuk aturan turunannya agar tidak saling tumpang tindih satu sama lain.
Kedua, Membuat peraturan pelaksanaan UU KIA untuk menjamin terciptanya lingkungan yang ramah ibu dan anak secara transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Ketiga, Membuat Peraturan Presiden untuk membangun mekanisme koordinasi Kementerian/Lembaga Negara lintas sektor dan pemerintah daerah yang jelas dan terintegrasi.
Keempat, Kementerian Ketenagakerjaan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan fungsi pengawasan ke perusahaan-perusahaan agar patuh menjalankan kewajiban yang diatur dalam UU KIA dan tidak memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan, serta memastikan tersedianya fasilitas layanan ramah ibu dan anak di tempat kerja dan fasilitas publik, antara lain melalui penyediaan : (1) Ruang laktasi yang higienis dengan fasilitas yang layak dan mudah di akses; (2) Tempat penitipan anak (daycare) dengan fasilitas yang memadai serta tenaga yang kompeten dan berpengalaman, serta (3) Penyediaan ruang bermain ramah anak yang layak.
Selanjutnya Kelima, Membuat langkah tindak afirmasi lain untuk mendukung perlindungan dan pemenuhan hak maternitas perempuan sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 7/ 1984 tentang ratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) dengan menciptakan lingkungan yang kondusif, antara lain melalui penyediaan gizi seimbang gratis bagi ibu hamil atau ibu yang memiliki balita dari keluarga miskin dan pemberian insentif bagi perusahaan yang melaksanakan kewajibannya.
Dan yang ke Enam, Memastikan peran serta organisasi masyarakat sipil, khususnya organisasi/serikat buruh yang memiliki paralegal untuk melakukan pendampingan secara hukum bagi buruh perempuan terkait pemenuhan hak yang diatur dalam UU KIA. (TS- 04)
Discussion about this post