titastory, Ambon – Penetapan kawasan Air Louw sebagai hutan lindung oleh pemerintah pusat dinilai sebagai bentuk pengambilan paksa atas hak-hak masyarakat adat Negeri Nusaniwe, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon. Keputusan yang melibatkan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) dan TNI Angkatan Udara ini menimbulkan gelombang penolakan dari warga yang mengklaim kawasan tersebut sebagai tanah adat.
Langkah pemerintah yang mulai terlihat sejak 11 Juni 2025 lalu, ditandai dengan pemasangan patok-patok batas kawasan, disebut berlangsung tanpa sosialisasi, tanpa keterbukaan informasi, dan tanpa dasar hukum yang jelas kepada masyarakat pemilik ulayat.
“Kalau regulasi dibuat hanya untuk menyusahkan rakyat, saya menolak! Dan saya bersedia berjuang bersama masyarakat Negeri Nusaniwe untuk mengembalikan hak atas tanah mereka,” kata Anggota Komisi II DPRD Maluku, Ari Sahertian, kepada wartawan di kantor DPRD Maluku, Senin (23/6/2025).

Warga setempat telah mencabut seluruh patok yang ditanam oleh aparat TNI AU sebagai bentuk penolakan atas klaim sepihak tersebut. Mereka juga tengah mempersiapkan upaya hukum untuk menentang keputusan yang dinilai melanggar konstitusi dan mengancam eksistensi masyarakat adat.
Menurut Sahertian, keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menetapkan Air Louw sebagai kawasan hutan lindung sejak 2024, bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945, yang menjamin pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-haknya atas tanah ulayat.
“Negara memang berhak atas penguasaan sumber daya alam, tapi itu harus memberi manfaat sebesar-besarnya untuk rakyat, bukan merampas hak hidup mereka,” tegas politisi PKB itu.

Ia mendesak masyarakat untuk segera mengirimkan surat resmi kepada DPRD Maluku agar pihaknya dapat segera memanggil instansi terkait, seperti BPKH, TNI AU, dan kepala desa, untuk memberikan penjelasan menyeluruh terkait status tanah dan klaim yang diajukan.
“Meski soal tanah adat merupakan domain Komisi I, Komisi II tetap memberi perhatian serius karena persoalan ini bersinggungan langsung dengan kebijakan kehutanan dan lingkungan hidup,” kata Sahertian.
Penetapan kawasan hutan lindung tanpa keterlibatan masyarakat adat, menurut berbagai pihak, bukan hanya bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan ekologis, tapi juga mencerminkan praktik pemerintahan yang abai terhadap partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut ruang hidup mereka.
Penulis: Christian S