Penelitinya Kena Doxing, ICW Lapor Bareskrim Polri

by
14/01/2025
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) sebagai kuasa hukum, saat melaporkan kasus doxing yang dialami salah satu peneliti ICW ke Direktorat Tindak Pidana Siber, Badan Reserse Kriminal Polri, Senin, (13/1).Foto : Ist

titastory, Jakarta – Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) sebagai kuasa hukum, melaporkan kasus doxing yang dialami oleh salah satu peneliti ICW ke Direktorat Tindak Pidana Siber, Badan Reserse Kriminal Polri, Senin, (13/1). Mereka melaporkan kasus tersebut untuk memastikan bahwa kritik dan gerakan antikorupsi sepatutnya bebas dari ancaman apapun.

Laporan tersebut teregistrasi melalui Sentra Pelayanan Terpadu Kepolisian Bareskrim sebagaimana tertuang dalam Laporan Polisi Nomor LP/B/17/I/2025/SPKT/BARESKRIM POLRI.

Badan Pekerja ICW, Tibiko Zabar mengatakan, salah seorang peneliti ICW mendapat serangan digital. Data pribadinya disebar tanpa persetujuan (doxing), sejak Jumat (3/1) lalu, sekitar pukul 10.30 WIB.

Data pribadi korban berupa nama, NIK, nomor telepon, alamat, bahkan titik lokasi terakhir dari korban diunggah tanpa izin oleh pelaku. tak sampai disitu, peneliti ICW itu juga mendapat banyak pesan masuk melalui Whatsapp pribadi bernada intimidasi dan ancaman fisik.

Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) , melaporkan kasus doxing yang dialami penelitnya di Bareskrim. Foto ; Ist

Peristiwa tersebut terjadi usai korban mewakili ICW memberikan pernyataan terkait masuknya nama mantan Presiden Joko Widodo sebagai finalis Tokoh Terkorup Tahun 2024 yang digagas oleh OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project).

“Hal ini merupakan tindak lanjut dari insiden yang dialami ICW sekaligus bentuk upaya kami menjaga demokrasi dan mendorong penegakan hukum,” kata Tibiko Zabar dalam pernyataan tertulis yang diterima titastory, Selasa (14/1).

Menurut dia, peristiwa ini menambah daftar panjang pemberangusan kritik masyarakat kepada negara, dan menjauhkan esensi negara demokrasi yang dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami kemunduran.

Serangan atau intimidasi juga akan berdampak pada semakin rendahnya partisipasi publik. Jika setiap kritik terhadap kebijakan negara maupun upaya menyuarakan pendapat berbasis riset dan kajian justru berbalas ancaman dan intimidasi hingga menyebarkan rasa takut.

“Negara tidak boleh membiarkan ancaman terhadap setiap warganya yang bersuara. Pelaporan yang ditempuh oleh ICW dan TAUD sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya pembungkaman suara kritis warga,” tegasnya.

Kasus serupa bukan yang pertama kalinya terjadi, serangan digital kerap muncul pasca warga menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Menurut catatan SAFEnet, setidaknya ada 13 kasus doxing terhadap jurnalis dalam kurun waktu 2017 hingga 2020 serta 10 kasus doxing lainnya yang menimpa aktivis dan warga.

Meski kasus serangan digital marak menimpa masyarakat, jurnalis dan aktivis sangat minim upaya hukum yang dilakukan oleh Kepolisian RI untuk menindaklanjuti informasi kasus tersebut.

Hal ini tidak boleh dipandang sebagai persoalan kecil, doxing dalam ranah siber juga menimbulkan risiko ancaman fisik yang dapat membahayakan keselamatan korban.

Berdasarkan catatan ICW, sepanjang 2015 hingga 2024 setidaknya terdapat 50 kasus upaya kriminalisasi yang dialami oleh 123 pegiat antikorupsi.

“Atas dasar kasus tersebut dan sejumlah fakta yang telah dikumpulkan, ICW dan TAUD mengajukan Laporan Polisi atas dugaan tindak pidana,” kata Fadhil Al Fathan, Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

Dia mengungkapkan, kritik warga terhadap pemerintah yang berbuah pembungkaman berupa doxing, peretasan dan serangan digital maupun fisik lainnya perlu disikapi secara serius dengan penanganan dari aparat penegak hukum.

Sebab, peristiwa semacam ini tidak dapat dipandang sebagai persoalan pribadi tetapi juga sebagai ancaman serius bagi demokrasi dan gerakan antikorupsi.
Penegak hukum harus memandang dan memahami kasus ini sebagai bagian dari serangan terhadap pembela Hak Asasi Manusia (HAM).

“Sehingga penanganannya juga harus dilakukan dengan mengutamakan keamanan dan keselamatan korban serta pemenuhan keadilan,” ungkapnya.

Perlindungan terhadap Pembela HAM merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan masyarakat secara luas dan kepolisian sebagai penegak hukum harus berkomitmen dalam mewujudkan perlindungan tersebut.

Oleh karena itu, ICW dan TAUD mendesak pihak kepolisian agar menindaklanjuti laporan secara serius. Sebab serangan ini bukan hanya serangan terhadap peneliti ICW, melainkan ancaman bagi gerakan demokrasi dan HAM.

Mereka juga meminta pihak kepolisian memproses laporan dengan mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta menginformasikan perkembangannya kepada publik, mengembangkan perkara ini dengan tidak hanya mengejar pelaku lapangan, tetapi juga aktor utama serangan doxing. Selain itu, mereka mendesak Polri lebih proaktif untuk menyelidiki pihak-pihak yang patut diduga terlibat dalam kasus ini.

Dalam kasus ini, dugaan tindak pidana pengumpulan atau pemerolehan data pribadi dan pengungkapan data pribadi yang bukan miliknya secara sah melawan hukum. Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), serta Pasal 95A Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).

Penulis : Redaksi
error: Content is protected !!