titaStory.id,ambon – Semuel Waileruny, Kuasa Hukum (KH) terdakwa Antonius Latumutuany, masyarakat adat Negeri Piliana, Kabupaten Malteng yang didakwa melakukan makar karena mengibarkan bendera RMS. Pengibaran bendera ini diduga adalah protes terhadap kebijakan pemerintah yang tertuang dalam nota pembelaan di Pengadilan Negeri Masohi beberapa hari lalu. Nota pembelaan terdakwa pada perkara Nomor 32/Pid.B/2023/PN. Msh di Pengadilan Negeri Masohi.
Waileruny menyatakan ada ketidakadilan perlakuan hukum terhadap diri Anthonius yang sementara dipertontonkan.
Alasannya saat ini banyak bendera Negara asing atau organisasi asing yang dikibarkan pada berbagai tempat termasuk sampai di depan Istana Presiden. Diantaranya bendera Palestina yang dikibarkan oleh warga Indonesia, yang digunakan pada berbagai demonstran sebagai bentuk dukungan perjuangan Hamas terhadap Israel, dan sebagai protes terhadap penyerangan Israel terhadap Hamas – Palestina.
Sebaliknya banyak bendera Israel juga yang dikibarkan oleh warga Indonesia lainnya yang digunakan pada berbagai demonstran sebagai lambang dukungan Perjuangan Israel melawan Hamas, dan sebagai protes terhadap penyerangan Hamas terhadap Israel.
“Semuanya dilakukan di kota-kota dan secara terbuka. Mereka yang mengibarkan bendera-bendera tersebut dianggap sebagai jagoan pada kelompoknya, dan diberitakan pada berbagai media. Namun pertanyaannya adalah apakah di antara mereka ada yang dihukum? Apakah perlakuan mereka ada yang dihukum sebagaimana yang dialami oleh Terdakwa? Berbeda dengan mereka (pendukung Hamas dan pendukung Israel), ternyata Terdakwa mengibarkan bendera RMS di dalam hutan, hanya Terdakwa Lah yang memfoto dan mengirim gambarnya kepada temannya, setelah itu Terdakwa ditangkap. ” jelasnya.
Fakta persidangan, bahwa Terdakwa menyerahkan diri ke pihak Kepolisian. Setelah Terdakwa menyerahkan diri, atas pengakuan Terdakwa, Polisi dalam hal ini Kapolsek Tehoru melakukan penyiksaan terhadap diri Terdakwa, kemudian Terdakwa dijebloskan ke dalam penjara sampai pada saat ini Terdakwa dijadikan pesakitan di Pengadilan,”ungkap Waileruny tertulis.
Selama menghadapi penderitaan karena ditahan,”katanya” istri Terdakwa melahirkan anak mereka yang kedua, namun permohonan penangguhan penahanan kepada Majelis Hakim dengan alasan kemanusiaan, tidak diterima.
Padahal lanjut Waileruny, perbuatan terdakwa mengibarkan bendera RMS di dalam hutan petuanan Negeri Piliyana adalah dengan niat sebagai protes terhadap perlakuan Pemerintah.
“Terdakwa hanya mengibarkan 1 buah bendera RMS dan beberapa menit kemudian Terdakwa memfoto lalu menurunkan bendera dimaksud namun Terdakwa diperlakukan dengan sangat kejam, dibandingkan ribuan bendera Negara asing secara bebas, serta diliput oleh berbagai media. Dapat dipandang sebagai proses hukum yang sangat tidak adil terhadap diri Terdakwa,”kata Waileruny.
Ia juga menilai, pemasangan tanda batas Taman Nasional Manusela di kawasan petuanan Piliana, sebagai bentuk kejahatan Pemerintah Indonesia dalam upaya kemiskinkan masyarakat yang sumber penghasilannya dari tanah, karena pekerjaan utama sebagai petani.
Waileruny juga membeberkan apa yang dialami masyarakat Piliyana sama seperti yang dialami orang Maluku, melalui Maklumat Sukarno tanggal 11 September 1945, yang menyerukan untuk membantai Orang Ambon (Maluku), makanan mereka harus diracuni dan tempat tinggal mereka harus dipagar duri. Hal ini menyebabkan banyak orang Maluku yang meninggal akibat perlakuan tersebut.
Selain itu, ada juga upaya penyebaran transmigrasi lanjut dengan pemusnahan lahan-lahan sagu menjadi lahan transmigran dan proyek-proyek nasional yang mengakibatkan masyarakat adat pemilik lahan sagu menjadi miskin dibandingkan dengan para transmigran. Disamping konspirasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui konflik Maluku dalam rangka genosida Orang Maluku, yang akibatnya masih terasa sampai saat ini.
“Pertanyaan yang mesti menjadi perenungan bersama adalah: Keadilan dan kebenaran yang bagaimanakah yang sementara dipertontonkan dalam pelaksanaan hukum di Indonesia pada era yang sudah sangat terbuka saat ini? Mereka-mereka yang memiliki moral sajalah yang memiliki kemampuan untuk menjawabnya secara objektif,”tegasnya.
Ia juga menyebutkan, melalui BAP Polisi dan fakta-fakta persidangan, tidak ada bukti maupun petunjuk apapun yang dapat mengarah bahwa Terdakwa berniat melakukan tindak pidana makar sebagaimana dimaksud pasal 106 KUHP.
Padahal masyarakat hukum adat selalu memperoleh perlindungan hukum. Sebagaimana disampaikan Ghazali Ohorella sebagai ahli hukum internasional dan Ketua Masyarakat Adat se Dinia Untuk PBB menjelaskan secara tertulis bahwa, posisi Masyarakat Adat dalam hukum internasional telah berkembang secara bertahap.
Hal ini mencerminkan semakin besarnya pengakuan atas hak dan kepentingan unik mereka. Ghazali Ohorella melakukan kajian komprehensif mengenai posisi Masyarakat Adat dalam lingkup hukum internasional, dengan mengacu pada instrumen hak asasi manusia internasional yang relevan.
Diantaranya, ada pengakuan dan hak yang terdapat pada Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples – UNDRIP): Diadopsi pada tahun 2007. UNDRIP merupakan instrumen mendasar yang menguraikan hak-hak Masyarakat Adat. Konvensi ini mengakui hak Masyarakat Adat atas penentuan nasib sendiri, warisan budaya, tanah dan sumber daya, dan persetujuan mengenai hal-hal yang berdampak pada mereka, serta hak-hak lainnya.
Selain itu, ada juga Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR): Pasal 27 ICCPR melindungi hak-hak kelompok minoritas, termasuk Masyarakat Adat, untuk menikmati budaya mereka sendiri, menganut dan mengamalkan agama mereka sendiri, dan menggunakan bahasa mereka sendiri. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR): Pasal 1 ICESCR mengakui hak semua orang untuk menentukan nasib sendiri, termasuk hak untuk secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas menjalankan ekonomi, sosial, dan budaya mereka.
Usman Hamid selaku Direktur Amnesty Internasional Indonesia yang dihadirkan sebagai ahli HAM juga menjelaskan, dalam Pasal 18 b ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati tiap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya.
Penguasaan masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber daya alamnya sebagai salah satu pilar identitas masyarakat hukum adat, diperkuat lagi dalam pasal 6 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan; ‘Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat (hak-hak atas wilayah adat) dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman’.
Menurut Usman Hamid, ‘Indonesia sebagai salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta anggota non-permanen Dewan Keamanan PBB memiliki mandat untuk memberikan contoh dalam pemenuhan komitmen untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang telah dijamin perlindungannya dalam instrumen hak asasi manusia internasional maupun nasional’. Untuk itu, Kuasa Hukum berpendapat bahwa patut bila Terdakwa diputus bebas oleh Majelis Hakim sebagaimana ditentukan pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). (TIM)
Discussion about this post