Ambon, – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku berpotensi mengalami kerugian keuangan negara hingga belasan miliar rupiah, menyusul kisruh pembayaran ganti rugi lahan Kantor Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Maluku di kawasan Karang Panjang, Kota Ambon.
Dugaan “salah bayar” ini mencuat setelah Mahkamah Agung (MA) memenangkan pihak lain dalam sengketa kepemilikan lahan yang menjadi objek pembayaran tersebut.
Lahan seluas 20.000 meter persegi tempat berdirinya Kantor Dinkes Maluku diketahui menjadi objek sengketa antara Pemprov Maluku dengan dua pihak pengklaim, yakni Ahli Waris Izak Baltasar Soplanit dan Tan Ko Hang Hoat alias Fat.
Meski status hukum lahan masih bergulir di pengadilan, Pemprov Maluku disebut telah membayarkan ganti rugi tahap pertama senilai sekitar Rp14 miliar kepada pihak Ahli Waris Soplanit.
Pembayaran dilakukan saat putusan pengadilan belum inkrah (berkekuatan hukum tetap).

Putusan MA Jadi Bumerang
Keputusan Pemprov untuk membayar ganti rugi sebelum ada kepastian hukum kini berbalik arah.
Pada Maret 2024, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari pihak Ahli Waris Soplanit, dan secara tidak langsung menguatkan klaim kepemilikan Tan Ko Hang Hoat.
Akibatnya, uang negara senilai Rp14 miliar yang telah dibayarkan kepada pihak yang kalah secara hukum terancam “menguap”, sementara Pemprov Maluku harus menanggung risiko mengganti pembayaran kepada pemilik sah.
Dugaan Korupsi di Balik Pembayaran
Kuasa hukum Tan Ko Hang Hoat, Jhon Tuhumena, menduga terdapat unsur tindak pidana korupsi dalam pembayaran tersebut. Ia menilai Pemprov Maluku lalai dan tidak berhati-hati dengan tetap mencairkan dana tanpa menunggu putusan inkrah.
“Jika pihak Tan Ko Hang Hoat menang PK, Pemprov harus membayar ulang kepada pemilik sah, sementara uang Rp14 miliar yang sudah dibayarkan hampir mustahil ditarik kembali,” ujarnya kepada titastory.
Publik mendesak Polda Maluku segera mempercepat penyelidikan dugaan korupsi dalam pembayaran ganti rugi lahan tersebut.
Kasus ini telah menjadi perhatian sejak akhir 2024, meski hingga kini belum ada penetapan tersangka resmi.
Kuasa hukum Tan Ko Hang Hoat menilai keputusan pembayaran melibatkan sejumlah pejabat tinggi Pemprov Maluku, termasuk:
1. Gubernur Maluku Murad Ismail, sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam pengelolaan APBD.
2. Sekda Provinsi Maluku Sadali Ie, sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
3. Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, sebagai pengguna anggaran.
4. Biro Hukum Setda Provinsi Maluku, yang disebut mengabaikan surat penundaan pembayaran dari pemilik sah.
5. BPKAD Maluku, sebagai unit pencair dana dan pengelola aset daerah.
Pembayaran Dianggap Langgar Prosedur
Berdasarkan temuan pihak pelapor, surat resmi dari kuasa hukum Tan Ko Hang Hoat yang meminta penundaan pembayaran telah diabaikan.
Meski sengketa belum selesai, Pemprov tetap mengeksekusi pembayaran dengan alasan anggaran Rp14 miliar telah dialokasikan dalam APBD Perubahan 2021 dan harus dicairkan sebelum akhir tahun anggaran.
Langkah ini dinilai sebagai pelanggaran administratif sekaligus membuka potensi pidana korupsi karena dilakukan tanpa dasar hukum yang sah.
Desakan dari LSM LIRA Maluku
Ketua Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Maluku, Yan Sariwating, menegaskan bahwa tindakan Pemprov Maluku dalam kasus ini adalah bentuk perbuatan melawan hukum.
“Kami mendesak Polda Maluku menuntaskan kasus ini. Jangan berlarut-larut. Segera tetapkan tersangka karena jelas ada indikasi korupsi dan potensi kerugian negara,” tegasnya kepada titastory, Senin (10/11/2025).
Hingga berita ini diturunkan, pihak Polda Maluku yang dikonfirmasi melalui Kabid Humas belum memberikan tanggapan resmi.
