titaStory.id, ternate – Buntut laporan PT Mega Haltim Mineral (MHM) terhadap dua masyarakat adat Desa Minamin, Halmahera Timur mendapat reaksi kecaman oleh berbagai organisasi dan juga pegiat HAM. Laporan terhadap dua warga ini dianggap sebagai bentuk kriminaliasi kepada warga Negara yang berjuang mempertahankan lingkungan dan juga tanah leluhur mereka.
Novenia Ambeua dan Julius Dagai, adalah dua warga asal desa Minamin yang baru-baru ini mendapat panggilan polisi karena dilaporkan oleh pihak PT MHM sebagai otak dibalik aksi demo yang berujung pengusiran alat-alat berat.
Hal ini ditegaskan Arbi Mashal Nahdan, seorang pegiat HAM di Ternate Maluku Utara. Menurutnya, pemanggilan secara resmi oleh pihak Polsek Wasile Selatan kepada mereka merupakan bentuk kriminalisasi.
Dikatakan, keduanya menurut Arbi, merupakan pejuang masyarakat adat Tobelo Dalam, yang mempertahankan hak ulayat atas gempuran oligarki. Sekarang mendapatkan 2 kali surat panggilan kepolisian atau Kapolsek Wasile Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara.
Jauh sebelum itu, Novenia Ambeua, pernah mendapatkan perlakuan kriminalisasi dari tempat kerjanya. Ia beberapa kali dimutasi karena persoalan aktivitas politik menolak penggusuran lahan oleh perusahan. Dan, pembelaan yang ia berikan terhadap masyarakat adat Tobelo Dalam.
“Beberapa bulan terakhir, kami sempat bertemu. Berdiskusi tentang masalah ijin pertambangan, penggusuran tanah adat, dan bentuk-bentuk perlawan warga. Tak hanya itu, ia pun secara detail membuat penjelasan tambahan untuk menggambarkan situasi pembelahan warga sejak adanya perusahan,” jelasnya.
Menurut Arbi, selain Julius, Novenia merupakan perempuan adat yang cukup berani. Bahkan kata alumni Unkhair ternate ini Novenia selalu bertanya tentang situasi gerakan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di Komunitas Tobelo Dalam.
“Dia begitu kuat dan tegar, begitu juga selalu bertanya dengan perkembangan internal kawan-kawan aktivis Gerakan,” jelas Mahasiswa yang pernah mendapat sanksi Drop Out dari Universitas Unkhair ini.
Novenia, kata Arbi berharap agar ada solidaritas gerakan turut mendampingi perjuangan mereka maupun masyarakat adat yang ada di sana.
Dia selalu menyakinkan, Urusan makan dan tempat tinggal, tidak perlu dikawatirkan,” bebernya.
Selain vokal dalam membela hak ulayat mereka, namun perempuan adat ini kata Arbi juga tak pernah takut kehilangan jabatannya selaku Aparat Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemkab Halmahera Timur.
“Di sela-sela diskusi yang hangat itu, untuk mencairkan suasana, saya bertanya, “Kaka, dengan ngoni pe aktivitas yang seperti sekarang ini, tanggapan ngoni pe laki bagaimana? ngoni dapa marah ka trada?” Ia tertawa, dengan nada dan suara yang datar ia jelaskan, ” Kita pe laki pernah bilang pe kita, lebe bae dia barenti kerja sudah. Biar tong dua sama-sama berjuang. Barang dia juga so tra mampu iko aturan yang suka kase foya-foya orang. Terus tra ada larangan atau dapa marah dari dia deng kita pe aktivitas sekarang, malahan mendukung,” kata Arbi sambil menirukan percakapan mereka saat itu.
Dia, menurut lulusan FKIP Unkhair ini, tidak hanya menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Namun lebih dari itu, Novenia adalah seorang pejuang.
“Pejuang atas apa? Atas keselamatan ummat dan alam dari gempuran oligarki dan kekuasaan yang tiran,” tegasnya.
Bahkan, satu dari empat mahasiswa Unkhair yang memenangkan gugatan drop out, terhadap Rektor ini mengatakan kriminalisasi bukan saja kepada Novenia Ambeua, namun kepada kerabatnya Yulius Dagali, yang mendapatkan surat pemanggilan dari kepolisian.
Untuk itu, berharap aparat kepolisian segera menghentikan proses hukum yang dapat mengkriminalisasi kedua masyarakat adat di Halmahera Timur ini. Dia juga mengecam dugaan tindakan kriminalisasi kepada keduanya.
“Novenia Ambeu dan Julius Dagali, mereka adalah korban dari kekuasan yang tak berpihak pada masyarakat adat Tobelo Dalam dan masyarakat adat suku Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin,” pungkasnya. (TS-01)
Discussion about this post