titaStory.id,ambon – Pasca pelaksanaan eksekusi putusan Mahkamah Agung RI nomor 3410 K/Pdt/2017 tanggal 31 Januari 2018, Jo Putusan Pengadilan tinggi Ambon nomor 10/PDT/2017/PT AMB tanggal 29 Mei 2017, Jo Putusan Pengadilan Negeri Ambon nomor 62/Pdt.G/2015/PN Ambon tanggal 27 juni 2016 dan Surat penetapan PN Ambon nomor 15/Pdt.Aanm.Eks/2019/PN Amb, pihak ahli waris Jacobus Abener Alfons meminta agar para pihak yang menerima hak dari pihak yang kalah, dan masih bercokol di lokasi eksekusi, yakni di bilangan Dusun Dati Katekate untuk sesegera mungkin mengosongkan dan meninggalkan objek.
Ketegasan ini disampaikan Evans Reynold Alfons saat di wawancarai di kediamannya,senin (23/10/2023), lantaran masih ada sejumlah pihak yang masih tidak paham dan menganggap masih memiliki hak atas lokasi yang bukan merupakan milik mereka. Dalam keterangannya, Alfons menerangkan, berdasarkan rencana tim kuasa hukum di Jakarta, tanggal 25 Oktober 2023 adalah waktu akhir untuk pihak yang kalah alias pihak yang meneri hak dari pihak Julianus Wattimena Cs dan Tisera untuk meninggalkan lokasi. Namun jika hal itu tidak dilakukan maka proses pidana akan ditempuh atas dugaan penyerobotan.
” Rencana kuasa hukum di Jakarta, diberikan kesempatan sampai tanggal 25 Oktober 2023 untuk membersihkan rumah dan mengangkat seluruh barang. Kalau tidak maka tanggal 26 Oktober kuasa hukum akan mengambil langkah hukum yaitu melakukan laporan pidana penyerbotan kepada oknum oknum yang masih tinggal di dalam objek ” tegas Evans.
Dikatakan lanjut, setelah tanggal 25 ambang waktu diberikan, dua hari selanjutnya, tanggal 27 Oktober 2023 tim ahliwaris kerluarga Alfons juga akan melakukan pembersihan di lokasi eksekusi atas perkara dengan objek sertifikat 354.
Tak hanya sampai disitu, dirinya pun menyampaikan proses eksekusi lanjutan pun akan dilakukan di atas Dusun Dati Katekate secara keseluruhan karena merupakan bagian dari dari 20 dusun dati. Sehingga dia meminta agar warga yang mendiami dusun dati Katekate dan sekitarnta untuk jangan dulu bersenang hati, kalau eksekusi hanya pada objek sertifikat 354 tersebut. Pasalnya, kata Alfons dengan berpatokan pada amar putusan dan pertimbangan hukum yang merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan, sehingga proses eksekusi 20 dusun dati itu sesuai amar akan dilakukan juga.
“Tentunya berpatokan pada pertimbangan hukum dan amar putusan itu tidak bisa dilepas pisahkan sehingga eksekusi terhadap 20 dusun dati akan dilakukan.” ucapnya.
Di saat yang sama, Evans juga menerangkan bahwa pihaknya juga akan melakukan eksekusi terhadap surat tanggal 28 Desember 1976 yang oleh pengadilan telah memutuskan keabasahannya.
” Pertimbangan hukum yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, yang saya duga surat tanggal 28 Desember 1976 palsu, dan sering digunakan untuk mendesak masyarajat, ” singkatnya.
Dikatakan, JT, okum yang menggunakan surat tanggal 28 Desember 1976 tentunya harus bertangung jawab, dan dalam waktu dekat atas pertimbangan hukum dan amarnya maka akan dilakukan eksekusi. Sehingga sesuai putusan nomor 62 /Pdt.G/2015/PN Ambon tanggal 27 juni 2016 para pihak yang menerima hak dari pihak pihak yang kalah pun akan dieksekusi.
” Saya tegaskan bunyi amar putusan dalam perkara 62 /Pdt.G/2015/PN Ambon tanggal 27 juni 2016 bahwa setiap orang yang mendapatkan hak dari pihak yang kalah harus mengosongkan tempat, “imbuhnya.
Dia pun membeberkan bahwa perkara nomor 62 /Pdt.G/2015/PN Ambon tanggal 27 juni 2016 adalah satu dari sekian banyak perkara yang telah digumuli oleh orang tuanya sejak tahun 1978 dimana di tahun tersebut orang tuanya digugat oleh Pemerintah Negeri Urimesing yaitu dalam perkara 386 tahun 1978, dan putusannya adalah bahwa pemerintah negeri dan saniri negeri Urimesing adalah pihak yang kalah.
Kemudian, ” lanjut Alfons dalam perkara nomor 656 tahun 1980, jo perkara nomor 100 tahun 1981 dan perkara nomor 2025 Kasasi tahun 1983 yang dengan jelas menyatakan bahwa Hein Johanes Tisera melawan Jacobus Abener Alfons itu kalah.
Merujuk pada perkara nomor 62 /Pdt.G/2015/PN Ambon tanggal 27 juni 2016 gugatannya adalah Julianus Wattimena dan 11 orang keluarga Wattimena yang menggugat keluarga Tisera, dan pertanahan Kota Ambon dan Notaris Rostiaty Nahumarury dan Toni Kusdiantoro, dan kelima pihak ini kalah saat pihak Alfons bertindak sebagai pihak yang melakukan intervensi dalam perkara tersebut.
” Jadi saat itu ayah saya masih hidup, dan masuk dalam perkara 656 tahun 1980 selaku pemilik, yang kemudian dilanjutkan proses ke putusan pengadilan tinggi nomor 10 tahun 2017, hingga inkrah di putusan Mahkamah Agung dan prosesnya sudah final. ” ulasnya.
Dalam perkara ini jelas, ” katanya,” adalah hasil pergumulan kami, dan eksekusi dalam perkara 62 /Pdt.G/2015/PN Ambon tanggal 27 juni 2016 dan pihak yang kalah adalah Yohanes Tisera, Julianus Wattimena selaku penggugat pokok atau tergugat convensi, tergugat intervensi 3 yaitu Badan Pertanahan Kota Ambon, tergugat intevensi 4 Notaris Rostiaty Nahumarury, tergugat 5 intervensi adalah Thony Kusdiantoro.
Dalam kaitan dengan proses dipengadilan, dirinya menerangkan setelah ada putusan pengadilan melalui Pengadilan Negeri Ambon, yang belum berkekuatan hukum tetap saat itu sudah dilakukan pemberitahuan. Tujuannya adalah masyarakat di objek tidak melakukan kegiatan atau hal hal lain yang dapat merugikan. Sehingga bisa menghubungi pihak keluarga Alfons. Namun pemberitahuan pasca putusan di Pengadilan Tinggi Ambon pun tidak digubris bahkan kegiatan pun kian marak terjadi di lokasi eksekusi dan dudun dati Katekate dengan menjamurnya sejumlah bangunan.
” Tujuan kami memberitahukan adalah bisa diketahui masyarakat,” tegasnya.
Namun “tandasnya”, pemberitahuan yang dilakukan oleh pemilik dan diakui hukum itu pun dianggap lelucon dan tidak digubris.
Soal ketidak puasan, bahkan itu dilakukan dan viral seperti yang dilakukan oleh salah satu tkoh agama, Keluarga N. Saija, kan pemberitahuan sudah dilakukan sejak tahun 2016 saat membagun fondasi.
” Disaat itukan Pak Nus sementara akan membangun fondasi rumah, dan ketika dijelaskan Pak Nus pun menekankan bahwa lahan itu bukan milik Alfons, itu milik mereka bermarga Wattimena. Ok, itu kan pendapat beliu. ” jelasnya.
Kemudian, jedah Evans, karena saat itu putusannya belum ada kekuatan hukum tetap, jadi hal itu masih dimaklumi. Justru dirinya tetap membangun di tahun 2018 dan kembali lagi diingatkan melalui tim yang diutus.
” Saya lihat viral soal adanya doa jelang eksekusi. Ingat doa itu hak setiap orang namun eksekusi itu adaah produk hukum, produk pemerintah. Anehnya tim saya yang ke lokasi untuk membangun pos dan membawa gergaji, malah dibilang itu parang. Anehkan ke lokasi milik kita kok bawa bawa parang?, ini isu atau penyebaran informasi bohong,” jelasnya.
Padahal telah disampaikan bahwa tanah atau lahan itu milik Alfons dan diakui di mata hukum, seghingga adanya perkataan kalau eksekusi tanah ini maka tutup mata rumah.
” Nah ini kata kata seorang hamba yang tidak pantas. kok bisa begitu?, jadi saya minta untuk mari melihat pada fakta, dan pada aspek hukum. ” tandasnya.
Mestinya waktu peringatan sejak tahun 2016 hingga tahun 2018 itu mesti dicemati dengan baik, bukan ketika kami ingin mengambil hak justru di sudutkan dengan kata kata seolah pihak keluarag Alfons adalah keluarga tidak ber Tuhan, dan Tuhan kita sama.
“Inikan steatmen yang tidak sesuai dengan jabatan. Apalagi surat konstatering, termasuk penjelasan oleh polisi sudah diterima bapak. Tapi tidak ingin mengakui. Kan tinggal datang dan berbicara bukan tunggu 2 hari jelang eksekusi baru datang, sementara kuasa telah diberikan ke tim kuasa hukum,” tutupnya. (TS 02)
Discussion about this post