titastory.id, ambon – Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan atau berlawanan dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Asal kata Paradoks adalah “paradoxon” (bahasa Yunani) yang berarti “contrary to expectations, existing belief or perceived opinion”. Salah satu sinonim dari kata paradoks adalah kontradiksi.
Kata kontradiksi menjadi “ruh” artikel ini, karena kehidupan masyarakat di Bula yang jauh dari sejahtera padahal mereka hidup di atas tanah leluhur mereka sendiri yang telah menjadi lahan eksplorasi minyak bumi bertahun-tahun sejak tahun 1913, setelah ditemukan pada tahun 1897.
Kemudian sejak tahun 1925 minyak bumi di Bula menjadi andalan kolonialisme Belanda, Jepang dan sekarang menjadi andalan Indonesia. Namun sekalipun menjadi andalan, eksplorasi dan pengelolaan minyak di Bula tidak seperti pengelolaan minyak di Balikpapan, Pangkalan Brandan, Plaju Sungai Gerong dan lainnya, karena pengelolaan minyak di Bula tidak memberikan dampak yang signifikan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur. Layaknya “ayam mati di lumbung padi”, sekali lagi kehidupan masyarakat di Bula sangat kontradiksi dengan keadaan alamnya yang kaya minyak bumi.
Faktor utama masyarakat Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) khususnya Bula tidak menikmati hasil kekayaan minyaknya sendiri karena ketentuan Participating Interest (PI) 10%. dari pengelolaan minyak bumi oleh pengelola sekian lama ini tidak diberikan kepada masyarakat Bula.
“Seharusnya mereka (pengelola) harus membayar semua hasil Participating Interset (PI) 10% itu selama mereka beroperasi kepada masyarakat di Bula dan Kabupaten Seram Bagian Timur seluruhnya” demikian dikemukakan Enggelina Pattiasina (putri JM. Pattiasina/tokoh pertamina).
Ditambahkan Enggelina, bahwa dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, pemerintah melibatkan peran serta daerah dan nasional sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest (PI)10% pada wilayah kerja minyak dan gas bumi (WK Migas).
Adapun Participating interest (PI) 10% adalah besaran maksimal 10% pada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang wajib ditawarkan oleh kontraktor pada BUMD atau BUMN. Keterlibatan daerah dalam pengelolaan WK Migas melalui Participating Interest (PI)10% memberikan banyak manfaat, antara lain memberikan keuntungan atau profit bagi BUMD yang akan menambah pendapatan daerah.
Selain itu, memberikan pengetahuan, pengalaman BUMD dalam pengelolaan blok migas sebagai kontraktor, juga menciptakan transparansi atau keterbukaan mengenai lifting, cadangan, cost dan lain-lain. Banyak BUMD yang sangat berminat mendapatkan Participating Interest (PI) 10% karena tidak diperlukan modal yang sangat besar. Manfaatnya juga sepenuhnya milik daerah dan dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat setempat.
Namun menurut Enggelina Pattiasina, selama ini Maluku sangat dirugikan karena tidak diberikan hak Participating Interest (PI) 10 % tetapi hanya diberikan dana bagi hasil Migas, yang nilainya kecil jika dibandingkan beban kerusakan lingkungan yang harus diterima masyarakat Bula dan kabupaten Seram Bagian Timur (SBT).
Sungguh miris keadaan ini, karena Participating interest (PI) 10% hanya janji yang tidak pernah diberikan bagi rakyat Maluku, khususnya masyarakat di kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Padahal Citic Seram energy & partners sebagai pengelola eksplorasi minyak di Bula dan non Bula saat ini, sudah mendapatkan perpanjangan kontrak selama 20 tahun pada tahun 2018 dan mulai efektif berlaku sejak bulan November 2019.
Artinya sudah hampir lima tahun sejak perpanjangan kontrak, Citic Seram energy & partners belum melakukan kewajibannya sharing transfer Participating Interest (PI)10% yang sifatnya seharusnya imperatif dalam kontrak kerja sama. Belum lagi jika dihitung kewajiban Participating Interest (PI) 10 % yang juga belum dibayarkan pada rentang waktu pengelolaan periode sebelumnya.
Oleh karena itu sudah saatnya Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) berupaya menuntut hak kekayaan Sumber Daya Alam rakyat mereka dari hak sharing Participating Interest (PI) 10% tersebut. Upaya ini harus dilakukan karena pemerintah daerah kabupaten/kota juga memiliki wewenang dan tugas untuk mengembangkan daerahnya berdasarkan aturan otonomi daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya secara proporsional, demokratis, adil dan transparan sesuai potensi, kondisi dan kebutuhan daerahnya.
Apalagi peran dan kewajiban pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan otonomi daerah secara lenih luas melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, mengembangkan kehidupan demokrasi, mewujudkan keadilan dan pemerataan, serta mewujudkan pelayanan dasar bagi masyarakatnya.
Landasan hukum semua ini adalah UU No. 23 Tahun 2014 yang secara lebih spesifik mendefinisikan otonomi daerah sebagai wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat lokal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks ini, maka Bula memiliki kekhasan sebagai daerah sumber minyak yang telah memberikan sumbangsih bagi pendapatan keuangan negara namun masyarakatnya tidak menikmati hasil dari kekayaan minyak di wilayahnya, malah hidup seperti layaknya daerah-daerah lain yang tidak memiliki kekayaan alam apapun dan tidak berkontribusi bagi bangsa dan negara.
Semoga pergantian pimpinan nasional dan kehadiran anggota legislatif baru produk pemilu 2024-2029 dapat mengubah keadaan ini sehingga masyarakat di Bula dapat hidup sejahtera dengan menikmati hasil kekayaan alamnya dan lebih penting lagi “Paradoks Bula” tidak ada lagi.
Namun, semua ini sangat tergantung kepada elite di pusat maupun di daerah. Dengan fakta pengabaian hak masyarakat Seram Timur selama ini, hal ini membuktikan kalau para elite politik telah gagal mengartikulasikan kepentingan rakyat. Untuk itu, ketika momentum Pilkada seperti saat ini, sebenarnya masyarakat bisa mengajukan kontrak politik kepada setiap calon pemimpin di kabupaten dan provinsi untuk memastikan arah pengelolaan minyak di Seram Timur.
Sangat tidak elok, ketika para pemimpin hanya sekadar ingin berkuasa, tetapi melupakan kepentingan rakyat yang ada di depan mata. Harus ada kesadaran untuk menjadikan jabatan politik sebagai alat perjuangan, tetapi sangat disayangkan karena hal ini tidak ditemukan dari periode ke periode. Sudah saatnya, rakuat Seram Timur dan Maluku mengatakan “tidak” kepada semua calon yang hanya menawarkan janji kosong. Sebab, sangat sulit untuk mengharapkan adanya perubahan mendasar, jika para calon pemimpin hanya acuh dan malas tahu dengan persoalan rakyat.
Kalau mau jujur, selama puluhan tahun, praktis tidak ada elite politik baik di daerah maupun di pusat yang menyoroti persoalan minyak di Seram Timur, sebelum akhirnya Engelina Pattiasiana menyoroti cukup keras praktik ketidakadilan yang terjadi di Seram Timur. Lantas, ada dimana para wakil rakyat yang terhormat, ada dimana para kepala daerah? Seolah rakyat hanya dibutuhkan saat pemungutan suara, setelah semua larut dengan urusan masing-masing.
Untuk memutus masalah ini tidak ada cara lain, kecuali adanya keberpihakan kepada kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi dan golongan. Meski sudah berlarut-larut, situasi ini tidak boleh dibiarkan. Rakyat berhak menikmati kesejateraan berdasarkan sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Semoga! Penulis adalah akademisi/pengamat masalah di Maluku
Discussion about this post